Jakarta (ANTARA) - Sutradara Jason Iskandar mengatakan bahwa insan film tanah air kini lebih berani mengeksplorasi berbagai peluang selama pandemi COVID-19 sehingga khasanah perfilman Indonesia semakin beragam.
Memaknai Hari Film Nasional, sutradara "Quarantine Tales" itu menilai bahwa satu tahun pandemi memberikan banyak tantangan dan pelajaran bagi para sineas.
Alih-alih terpuruk, para sineas justru mendapat semangat baru untuk mencoba berbagai hal yang sebelumnya tidak pernah dilakukan sehingga membuat perfilman tanah air tetap bergerak.
"Tahun lalu pandemi membuat tren baru di kalangan film maker, yang awalnya agak ragu memasukkan filmnya ke digital streaming sekarang jadi pada berani," kata Jason dalam bincang-bincang virtual, Senin (29/3).
Salah satu yang paling menonjol adalah kehadiran film pendek. Menurut Jason, kini masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan akses untuk menyaksikan film pendek dari berbagai genre.
"Kita jadi banyak bisa nonton film pendek, padahal tadinya langka hanya ada di acara tertentu aja," ujar sutradara "Akhirat: A Love Story" itu.
Jason sendiri baru saja merilis sebuah film dengan format vertikal. Meski bukan yang pertama, film jenis ini masih cukup jarang digarap oleh sineas tanah air.
Baca juga: TikTok rilis film format vertikal pertama berjudul "X&Y"
Di Hari Film Nasional ini, Jason juga berharap banyak bermunculan sineas dengan ide dan inovasi baru, khususnya dalam membuat film dengan format vertikal. Sebab, saat ini masyarakat lebih banyak menyaksikan film melalui ponsel pintar dan film menjadi sesuatu yang lebih personal bagi yang menyaksikannya.
"Di Hari Film ini semoga banyak filmmaker yang membuat film vertikal karena ini menciptakan sensasi sendiri," kata Jason.
Peringatan Hari Film Nasional yang jatuh setiap 30 Maret merupakan penghargaan bagi para sineas dan seluruh pekerja di industri tersebut.
Penetapan 30 Maret sebagai hari bersejarah diambil dari peristiwa pengambilan gambar film "Darah dan Doa" sebagai penanda sejarah bangkitnya industri perfilman Indonesia.
Film "Darah dan Doa" yang disutradarai oleh Usmar Ismail diambil pada 30 Maret 1950. Film disebut sebagai karya film pertama yang dibuat oleh orang Indonesia asli.
Dalam proses produksinya, film "Darah dan Doa" mengisahkan gambaran masyarakat Indonesia pada zaman penjajahan Belanda.
Film berkisah tentang perjalanan sang tokoh utama yakni Kapten Sudarto sebagai sosok prajurit Indonesia yang melakukan perjalanan dari Yogyakarta menuju pangkalan utama di Jawa Barat bersama keluarganya. Selain berperan sebagai pemimpin, Kapten Sudarto juga menampilkan sisi seorang manusia biasa yang rentan membuat kesalahan.
Dalam perjalanannya, dia bertemu seorang pengungsi wanita berdarah Indo-Belanda. Dia lantas jatuh hati pada wanita tersebut meskipun ia telah mempunyai seorang istri.
Selain cerita yang menyajikan sisi romansa, film ini dinilai sukses menggambarkan ideologi orang Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan.