Pemerintah serap masukan masyarakat sipil terkait RUU TPKS
Jakarta (ANTARA) - Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani mengatakan pemerintah masih menyerap berbagai aspirasi dari koalisi masyarakat sipil dan akademisi mengenai Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
"Masukan kelompok masyarakat sipil dan akademisi merupakan bagian tidak terpisahkan dalam proses penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pemerintah. Kami ingin semua pihak turut serta dan aktif menyempurnakan substansi RUU TPKS," kata Jaleswari melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta pada Kamis.
Jaleswari memastikan perspektif yang digali dari koalisi masyarakat sipil dan akademisi melalui konsultasi publik RUU TPKS mendapatkan perhatian serius dan dikaji secara mendalam sebagai bagian dari proses penyusunan DIM pemerintah.
Sedangkan kementerian dan lembaga juga menyiapkan skema tindak lanjut untuk mendukung pengimplementasian RUU TPKS ke depan nanti.
"Skema tersebut antara lain kajian pembentukan direktorat khusus untuk penanganan kasus kekerasan seksual di Kejaksaan Agung dan Polri serta Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai 'one-stop service' bagi korban kekerasan seksual," ungkap Jaleswari.
Menurut Jaleswari, proses penyusunan DIM pemerintah dikoordinasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dengan melibatkan berbagai kementerian/lembaga serta perwakilan kelompok masyarakat sipil dan akademisi.
Dalam konsultasi publik tersebut, Joni Yulianto dari Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (Formasi Disabilitas) menyampaikan korban kekerasan seksual disabilitas membutuhkan bentuk-bentuk penanganan dan pendekatan yang berbeda sehingga RUU TPKS perlu menjamin inklusivitas ini.
"Difabel sering tidak menyadari dan tidak memahami tentang alat kontrasepsi bahkan tidak memahami pelecehan dan kekerasan seksual sehingga pendekatannya menjadi cukup berbeda dari situlah saksi ahli dan 'profile assessment' menjadi penting untuk menjelaskan hal hal seperti ini,” kata Joni.
Isu lainnya adalah kewajiban restitusi bagi pelaku, kehadiran lembaga pelayanan di kawasan terpelosok dan terpencil, serta perlindungan yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual di bawah umur juga menjadi hal yang menjadi perhatian utama koalisi masyarakat sipil.
"Kami mengapresiasi kerja keras tim pemerintah, yang tidak berlama-lama menyiapkan DIM pemerintah. Kami berharap untuk terus dilibatkan lebih jauh dalam diskusi-diskusi penting seperti ini dalam tim pemerintah dan mengawal bersama RUU TPKS saat pembahasan nanti di DPR,” kata Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Ratna Batara Munti.
Pada 4 Januari 2022 lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan pernyataan resmi mengenai RUU TPKS yaitu memerintahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati untuk segera melakukan koordinasi konsultasi dengan DPR RI dalam pembahasan RUU TPKS agar ada langkah-langkah percepatan.
Presiden Jokowi juga meminta pada gugus tugas pemerintah yang menangani RUU TPKS untuk segera menyiapkan DIM terhadap draf RUU yang sedang disiapkan DPR RI. Tujuannya agar dapat memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual secara maksimal.
Seperti diketahui, Rapat Paripurna DPR RI Ke-13 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022 pada 18 Januari 2022 menyetujui RUU TPKS menjadi RUU Inisiatif DPR.
RUU TPKS kemudian akan dibahas dalam dua tingkat pembicaraan. Pembicaraan tingkat pertama dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus.
Selanjutnya, pembicaraan tingkat II dilakukan di rapat paripurna yang berisi penyampaian laporan tentang proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I.
Indonesia disebut mengalami darurat kekerasan seksual karena berdasarkan pengumpulan data milik KemenPPPA, kekerasan pada anak di 2019 terjadi sebanyak 11.057 kasus, 11.279 kasus pada 2020, dan 12.566 kasus hingga data November 2021.
Sementara pada kasus kekerasan yang dialami perempuan, KemenPPPA mencatat juga turut mengalami kenaikan. Dalam tiga tahun terakhir ada 26.200 kasus kekerasan pada perempuan.
"Masukan kelompok masyarakat sipil dan akademisi merupakan bagian tidak terpisahkan dalam proses penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pemerintah. Kami ingin semua pihak turut serta dan aktif menyempurnakan substansi RUU TPKS," kata Jaleswari melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta pada Kamis.
Jaleswari memastikan perspektif yang digali dari koalisi masyarakat sipil dan akademisi melalui konsultasi publik RUU TPKS mendapatkan perhatian serius dan dikaji secara mendalam sebagai bagian dari proses penyusunan DIM pemerintah.
Sedangkan kementerian dan lembaga juga menyiapkan skema tindak lanjut untuk mendukung pengimplementasian RUU TPKS ke depan nanti.
"Skema tersebut antara lain kajian pembentukan direktorat khusus untuk penanganan kasus kekerasan seksual di Kejaksaan Agung dan Polri serta Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai 'one-stop service' bagi korban kekerasan seksual," ungkap Jaleswari.
Menurut Jaleswari, proses penyusunan DIM pemerintah dikoordinasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dengan melibatkan berbagai kementerian/lembaga serta perwakilan kelompok masyarakat sipil dan akademisi.
Dalam konsultasi publik tersebut, Joni Yulianto dari Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (Formasi Disabilitas) menyampaikan korban kekerasan seksual disabilitas membutuhkan bentuk-bentuk penanganan dan pendekatan yang berbeda sehingga RUU TPKS perlu menjamin inklusivitas ini.
"Difabel sering tidak menyadari dan tidak memahami tentang alat kontrasepsi bahkan tidak memahami pelecehan dan kekerasan seksual sehingga pendekatannya menjadi cukup berbeda dari situlah saksi ahli dan 'profile assessment' menjadi penting untuk menjelaskan hal hal seperti ini,” kata Joni.
Isu lainnya adalah kewajiban restitusi bagi pelaku, kehadiran lembaga pelayanan di kawasan terpelosok dan terpencil, serta perlindungan yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual di bawah umur juga menjadi hal yang menjadi perhatian utama koalisi masyarakat sipil.
"Kami mengapresiasi kerja keras tim pemerintah, yang tidak berlama-lama menyiapkan DIM pemerintah. Kami berharap untuk terus dilibatkan lebih jauh dalam diskusi-diskusi penting seperti ini dalam tim pemerintah dan mengawal bersama RUU TPKS saat pembahasan nanti di DPR,” kata Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Ratna Batara Munti.
Pada 4 Januari 2022 lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan pernyataan resmi mengenai RUU TPKS yaitu memerintahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati untuk segera melakukan koordinasi konsultasi dengan DPR RI dalam pembahasan RUU TPKS agar ada langkah-langkah percepatan.
Presiden Jokowi juga meminta pada gugus tugas pemerintah yang menangani RUU TPKS untuk segera menyiapkan DIM terhadap draf RUU yang sedang disiapkan DPR RI. Tujuannya agar dapat memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual secara maksimal.
Seperti diketahui, Rapat Paripurna DPR RI Ke-13 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022 pada 18 Januari 2022 menyetujui RUU TPKS menjadi RUU Inisiatif DPR.
RUU TPKS kemudian akan dibahas dalam dua tingkat pembicaraan. Pembicaraan tingkat pertama dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus.
Selanjutnya, pembicaraan tingkat II dilakukan di rapat paripurna yang berisi penyampaian laporan tentang proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I.
Indonesia disebut mengalami darurat kekerasan seksual karena berdasarkan pengumpulan data milik KemenPPPA, kekerasan pada anak di 2019 terjadi sebanyak 11.057 kasus, 11.279 kasus pada 2020, dan 12.566 kasus hingga data November 2021.
Sementara pada kasus kekerasan yang dialami perempuan, KemenPPPA mencatat juga turut mengalami kenaikan. Dalam tiga tahun terakhir ada 26.200 kasus kekerasan pada perempuan.