Lombok Tengah (ANTARA) - "Woooiii..Marioooo....Mariooo....." teriak puluhan orang penonton di Bukit Rangkap saat pebalap Moto3 asal Indonesia, Mario Aji, melintas usai balapan sambil membawa bendera Merah Putih di Sirkuit Pertamina Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Minggu.
Mereka juga bertepuk tangan saat pebalap asal Magetan, Jawa Timur, tersebut melambaikan tangan sembari memacu kendaraannya dengan pelan.
Kendati tidak tahu berada di urutan berapa Mario Aji saat finish karena pandangannya terhalang tribun dan pohon, namun sambutan luar biasa tetap diberikan penonton, meski hanya dari atas bukit.
Pada ajang Moto3 yang berlangsung mulai pukul 11.00 WITA, Mario Aji sempat start di posisi tiga, namun hasil akhir menempatkannya di posisi 14.
Pebalap Indonesia dari Honda Team Asia tersebut hanya mendapat dua poin dan akan kembali berjuang pada seri ketiga di Argentina, 3 April mendatang.
Bukit Rangkap berada paling dekat dengan dinding sirkuit. Jaraknya tidak lebih dari 50 meter, hanya terpisahkan oleh dua jalur jalan satu arah tak jauh dari pintu masuk penonton kelas premiere.
Di bawah bukit ada beberapa warung pedagang kaki lima (PKL) yang menjual makanan dan minuman. Terdapat juga jalan selebar lima meter yang kanan kirinya digunakan untuk parkir kendaraan roda dua.
Menonton di atas bukit memang memiliki sensasi sendiri, bahkan sejak berusaha mencapai punggung bukit. Ada yang menanjak lewat jalanan dengan permukaan relatif halus, sebagian lainnya harus menerobos semak belukar.
Balita, anak-anak, remaja, dewasa dan penonton lanjut usia bercampur jadi satu. Mereka ada yang berdiri, duduk, bahkan menggelar tikar untuk sekadar meluruskan kakinya.
Terlihat pula seorang warga yang mendirikan tenda dom di samping tebing demi menyaksikan balap motor kelas internasional tersebut.
"Cilok..cilok..cilok...!! Air..air.. es..es..!!," suara pedagang keliling bersahutan. Mereka meletakkan tas berisi air di satu titik, lalu menawarkannya kepada orang-orang sekitar.
Ada juga perempuan-perempuan muda yang menawarkan produk minuman kopi dalam kemasan botol.
Sejak sesi pemanasan Moto3, Moto2 hingga MotoGP, warga berbondong-bondong berdatangan. Tepat pukul 12.00 WITA, semua mata tertuju ke sirkuit. Balapan Moto3 dimulai.
Cuacanya panas menyengat, tak ada angin, dan tidak sedikit yang berlindung dengan menarik jaketnya ke atas. Ada juga yang mencari ranting pohon dengan daun lebat, lalu diletakkannya di atas kepala.
Duduknya juga seadanya. Ada warga yang duduk di aspal, di bebatuan, daun, potongan kardus, tanah, dan lain-lain.
Suasana juga kerap meriah saat melihat pebalap saling salip-menyalip di tikungan. Terlihat sangat jelas, hanya ada satu pohon besar yang sedikit menghalangi.
Moto3 berakhir, penonton sedikit berkurang. Jeda waktu sekitar 30 menit dimanfaatkannya untuk makan dan minum di warung-warung PKL.
Saat Moto2 siap digelar, kembali penonton membeludak. Tak hanya puluhan, tapi ratusan orang rela naik dan berdiri di perbukitan.
Panas memang, tapi terbayar saat melihat pebalap-pebalap memacu keras gas motornya dan saling meliuk-liuk di tikungan.
Tepat ajang Moto2 berakhir, cuaca berubah drastis. Dari yang panas menyengat, mulai turun gerimis hingga deras. Hujan turun sekitar pukul 14.00 WITA, dan hingga pukul 15.30 WITA belum ada tanda-tanda reda.
Awalnya tak terlalu deras, tapi cukup membuat warga berhamburan dan menuruni bukit. Ada yang bertahan menggunakan jas hujan, ada juga yang beranjak dan membiarkan tubuhnya basah kuyup.
Warga berlarian mencari tempat berlindung dari hujan. Warung-warung PKL yang awalnya hanya ditempati beberapa pembeli, mendadak penuh, bahkan sampai ada yang rela berdiri.
Ada yang memesan kopi, teh panas, lalu mi instan dan gorengan yang ada di meja. Sambil menunggu hujan reda dan balapan kembali digelar, mereka memanfaatkannya untuk mengisi perut.
Warga sambut positif
Bagi warga lokal, mendapat izin menonton dari atas bukit membuatnya senang. Salah satunya Sarinete, warga setempat yang mengaku tak bisa membeli tiket karena harganya yang tidak bisa dijangkaunya.
Pria berusia 60 tahun itu senang karena tak ada larangan dari petugas untuk menyaksikan dari bukit.
"Awalnya saya khawatir tidak boleh naik, tapi ternyata tidak apa-apa. Ada Pak Polisi dan Tentara yang jaga juga di bawah maupun di atas," ucapnya.
Pantauan di lokasi, memang terlihat beberapa personel Brimob dan TNI AD lengkap dengan senjata laras panjang berjaga-jaga. Mereka tak ragu melempar senyum kepada warga yang menyapa, bahkan sesekali mengingatkan jika ada yang berdiri terlalu pinggir.
Hal senada disampaikan Yenni, warga Lombok Barat yang sengaja datang bersama suami dan anaknya menyaksikan MotoGP dari atas bukit.
"Saya ke sini untuk melihat Marquez. Tapi katanya Marquez jatuh ya?," katanya.
Meski urung menyaksikan pebalap idolanya beradu balap motor di sirkuit, namun tak membuatnya patah arang.
Saat hujan turun, ia bersama keluarganya ikut berteduh. Lalu saat ada tanda-tanda balapan akan dimulai, ia kembali segera naik ke bukit.
Menjelang pukul 16.00 WITA, warga yang menyaksikan dari atas bukit semakin banyak. Gerimis dan jalanan yang becek tak dipedulikannya. Sebagian memakai payung, lalu pakai jas hujan plastik, ada juga yang sengaja hujan-hujan.
Jalanan dan pijakan yang becek, membuat sebagian warga melepas alas kakinya. Celana kotor tak dipedulikan demi bisa melihat aksi pebalap-pebalap dunia saling beradu cepat mengendarai motor balap.
Aplaus
Mendengar kabar insiden Marc Marquez sampai harus dilarikan ke rumah sakit, para penonton kaget. Mereka langsung mencari ponsel untuk mencari tahu dari media daring.
Salah seorang yang mengenakan jersey bernomor "93" bertuliskan "Marquez" sempat tak percaya dan mengira kecelakaan terjadi tidak terlalu parah atau seperti pada hari-hari sebelumnya. Namun, setelah membaca berita bahwa Marquez mengalami gegar otak, ia terdiam dan menunjukkan raut wajah kecewa.
"Mau bagaimana lagi, Marquez tidak main. Semoga segera pulih dan balapan lagi," katanya.
"Tapi saya mau tetap lihat MotoGP," tambah pria yang tak bersedia menyebut namanya tersebut.
Pukul 16.15 WITA, saat start dimulai, warga yang hanya mendengar kerasnya suara gas sepeda motor pembalap spontanitas bertepuk tangan.
Mereka menandai saat helikopter yang terbang di atas dengan membawa kamera siaran langsung berhenti sejenak, kemudian berjalan mengitari sirkuit.
"Nah, helikopternya sudah jalan dan berputar. Berarti sudah start," tutur Rian, salah seorang penonton kepada temannya.
Tepat saat pebalap-pebalap melintas di tikungan yang bebas dari pandangan di atas bukit, aplaus penonton bergemuruh.
Cuaca gerimis agak deras dan jalan berbecek pun diindahkan. Hanya hitungan detik melintas, deretan motor pebalap sudah tak tampak.
Tak lama berselang, kembali datang deretan pebalap meliuk-liuk melintasi jalanan sirkuit yang basah. Pemandangan yang menegangkan karena seolah ikut khawatir jika pebalap terjatuh.