Solo (ANTARA) - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan ruwatan Sukerto yang dilaksanakan setiap bulan Sura merupakan langkah untuk menjaga budaya spiritual yang ada di tengah masyarakat.
“Dalam menyambut Sura ini kita bersama-sama membangun introspeksi dan mengevaluasi diri,” kata Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA) Kemendikbudristek, Sjamsul Hadi di Solo, Jawa Tengah, Kamis.
Sjamsul mengatakan untuk ruwatan pihaknya sudah sering menyelenggarakan di berbagai kota, seperti Yogyakarta, Jakarta hingga Solo.
Menurut Kemendikbudristek, ruwat dalam bahasa jawa berarti membuang sial atau menyelamatkan orang dari gangguan tertentu agar mendapat berkah berupa keselamatan, kesehatan, kedamaian, ketentraman jiwa, kesejahteraan, dan kebahagiaan.
Untuk memperingati 1 Suro Jimawal 1957 atau 1 Muharam 1445 Hijriah kali ini, Kemendikbudristek menyelenggarakan ruwat Sukerto di Balai Kota Surakarta, Jawa Tengah yang bisa diikuti dan disaksikan oleh masyarakat umum.
Sjamsul menyebutkan ruwatan di Balai Kota Surakarta tersebut diikuti oleh 72 orang, baik dari masyarakat umum maupun beberapa Penghayat Kepercayaan yang merupakan peserta dari Festival Budaya Spiritual Kemendikbudristek.
“Harapan dengan peserta mengikuti ruwatan Sukerto ini kiranya mendapat berkah, keselamatan, kesehatan dan dijauhkan dari marabahaya,” ujar Sjamsul.
Dalam ruwatan Sukerto kali ini, Ki Dalang Purbo Asmoro menjadi dalang pertunjukan wayang kulit selepas ruwat Sukerto dilaksanakan dengan cerita mengenai Bimo Rahayu.
Sjamsul menjelaskan cerita Bimo Rahayu dibuat oleh Ki Dalang Purbo khusus untuk kegiatan ruwat Sukerto oleh Kemendikbudristek di Balai Kota Surakarta.
“Tema Bima Rahayu merupakan tema baru. Ki Purbo menyiapkan khusus untuk acara ini. Tentang budaya spiritual yang ada. Bimo Rahayu akan memberi petuah-petuah leluhur bahwa kita harus mengurus dan menjaga budaya spiritual,” katanya.
Salah satu peserta ruwatan Sukerto oleh Kemendikbudristek adalah Slamet, Abdi Dalem Keraton Surakarta.
Pria berusia 60 tahun tersebut membawa istrinya, yaitu Yatim dan anaknya Niken yang masih berusia sembilan tahun untuk turut mengikuti proses ruwatan ini.
“Agenda ini merupakan momen yang betul-betul kami harapkan, karena kami sekeluarga sebagai orang Jawa meyakini orang hidup itu ada halangan,” kata Slamet.
Slamet mengaku sudah sering melakukan ruwatan ini berharap keluarganya dijauhkan dari berbagai halangan dan marabahaya dalam menjalani kehidupan serta dilimpahkan rasa ketentraman.
“Semua itu tidak lepas dari Gusti Allah. Tuhan itu menitipkan takdir, tapi kita sebagai manusia bisa berusaha,” ujarnya.