Jakarta (ANTARA) - Kepala Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo Dr dr Sukamto Koesnoe, SpPD-KAI, FINASIM menuturkan penyakit autoimun tidak mungkin dicegah karena genetik tetapi ada cara mengurangi risiko seperti pola makan.
"Dengan makan makanan sehat, seimbang dan teratur, kaya antioksidan dan nutrisi itu bisa mengurangi kemungkinan autoimun," kata dia dalam diskusi daring yang digelar RSCM, Kamis.
Sukamto mengatakan walau penyakit autoimun sepenuhnya karena ada faktor genetik, namun merujuk sejumlah teori menyatakan beberapa makanan tertentu memiliki sifat merusak tubuh seperti radikal bebas bisa mengubah perilaku sistem kekebalan tubuh seseorang.
Oleh karena itu, dia menyarankan orang-orang menerapkan pola makan sehat, termasuk konsumsi probiotik seperti yogurt dan kefir untuk mendukung sistem kekebalan tubuh. Probiotik juga diketahui bermanfaat untuk kesehatan sistem pencernaan serta tubuh secara keseluruhan.
Selain pola makan sehat, Sukamto menyarankan olahraga teratur untuk dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan membantu menjaga agar tubuh tetap ideal.
"Berat badan meningkat chance mendapatkan autoimun tinggi," kata dia.
Cara lainnya untuk mengurangi risiko terkena penyakit autoimun, yakni menghindari merokok, tidur malam cukup dan mengelola stres karena stres kronik sangat memengaruhi sistem kekebalan tubuh.
"Lalu jika memiliki riwayat keluarga dengan penyakit autoimun segera konsultasi ke dokter untuk pemeriksaan dan diagnosis dini," saran Sukamto.
Dia juga menyarankan orang-orang tidak lupa mendapatkan vaksinasi. Beberapa keadaan seperti infeksi COVID-19 menyebabkan penyakit baru salah satunya autoimun, sehingga vaksinasi bagi yang sehat tidak hanya mencegah infeksi tetapi juga mencegah terpicu reaksi autoimun gara-gara infeksi tadi.
Autoimun merupakan kondisi sistem kekebalan tubuh seseorang keliru menyerang sel-sel dan jaringan sehat dalam tubuhnya sendiri berakibat sistem kekebalan yang seharusnya melindungi tubuh dari infeksi atau sesuatu yang asing tetapi justru merusak organ, jaringan atau sistem organ tubuh lainnya dan menyebabkan berbagai gejala.
Sukamto mengatakan kumpulan gejala khas dinamakan sebagai satu penyakit autoimun tertentu, misalnya lupus dan rheumatoid arthritis. Gejala penyakit tergantung organ yang terkena, tingkat keparahan dan perjalanan penyakitnya.
"Jadi, penyakit autoimun bisanya fluktuatif, bisa membaik yang disebut remisi, atau justru memburuk. Ini dapat membuat diagnosis dan manajemen penyakitnya jadi lebih kompleks," kata dia.