Yogyakarta (ANTARA) - Guru Besar Ilmu Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Prof Arief Nurrochmad mengatakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) bersama dengan big data berpotensi mempercepat pengembangan obat baru.
"Penggunaan big data dan AI berkembang begitu cepat sehingga meningkatkan penemuan target obat dalam kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata Arief dalam keterangan resmi UGM di Yogyakarta, Sabtu.
Pandemi COVID-19, menurut dia, telah memaksa semua pihak memikirkan kembali cara mempercepat waktu penemuan dan pengembangan obat dan vaksin sehingga metode yang baru, efektif, dan lebih murah menjadi penting.
Arief mengatakan, produksi obat berbasis riset dibutuhkan untuk menjamin keberlangsungan ketersediaan obat.
Sementara, dia mengakui pengembangan obat baru membutuhkan proses panjang dan waktu yang lama mulai dari ide awal hingga peluncuran produk jadi.
"Memakan waktu 12 sampai 15 tahun dan menghabiskan biaya lebih dari 1 miliar dolar Amerika Serikat," katanya.
Dia menjelaskan pada awalnya, target obat terapeutik harus diidentifikasi dengan metode eksperimental secara tradisional, kemudian ahli biologi struktural muncul untuk menguraikan struktur tiga dimensi serta karakteristik pengikatan ligand untuk mengungkapkan apakah hal ini memungkinkan sebagai target obat baru.
Selanjutnya, ahli kimia obat dan farmakologi menggunakan "high-throughput screening" untuk menemukan beberapa senyawa timbal yang sangat efektif untuk penilaian keamanan lebih lanjut serta uji klinis.
Selain mahal, menurut dia, prosedur tersebut juga membosankan.
Arief mengatakan, diperlukan metode untuk mengatasi keterbatasan prosedur penemuan obat konvensional dengan memperkenalkan metode yang lebih efisien, berbiaya rendah, dan berbasis komputasi.
"Dibandingkan dengan metode penemuan obat secara tradisional, desain obat yang rasional, penggunaan metode desain obat yang dibantu komputer, terbukti lebih efisien dan ekonomis," katanya.
Kecerdasan buatan bersama dengan big data, kata Arief, mempunyai potensi menyediakannya sumber dan metode yang mampu menganalisis data dalam jumlah besar serta dalam waktu yang relatif singkat.
Arief menilai etersediaan produk farmasi, termasuk obat-obatan baru dan inovatif di Indonesia masih terbatas, bahkan obat baru di tanah air saat ini masih didomoinasi produk impor.
Salah satunya dikarenakan masih terbatasanya industri farmasi yang menghasilkan obat berbasis riset meski pemerintah telah melakukan intervensi regulasi.
"Industri farmasi di Indonesia lebih banyak melakukan formulasi dan atau pengemasan obat dibandingkan memproduksi obat berbasis riset," katanya.