Serangan 'ransomware' global meningkat 49 persen selama 2022-2023

id serangan ransomware, Palo Alto Networks, Steven Scheurmann,keamanan data siber

Serangan 'ransomware' global meningkat 49 persen selama 2022-2023

Regional Vice President ASEAN Palo Alto Networks Steven Scheurmann. (ANTARA/Devi Nindy).

Jakarta (ANTARA) - Serangan ransomware multi-pemerasan secara global meningkat sebesar 49 persen dari tahun 2022 ke 2023, menurut laporan Unit 42 dari Palo Alto Networks, penyedia layanan keamanan data siber yang dirilis pada Rabu (8/5) malam.

Ransomware merupakan jenis virus maupun perangkat jahat yang dirancang menghalangi akses sistem komputer atau data dengan enkripsi data, untuk mendapatkan tebusan.

Pada laporan Unit 42 Ransomware Retrospective, dijelaskan bahwa terdapat 3.998 korban yang dilaporkan dari situs bocoran ransomware pada  2023, yaitu bertambah dari 2.679 korban pada 2022.

Unit 42 juga menemukan 25 situs bocoran baru yang muncul pada 2023. Temuan itu menunjukkan betapa ransomware  terus menjadi daya tarik sebagai aktivitas kriminal yang menguntungkan.

LockBit ransomware masih menjadi pemain aktif nomor satu baik secara global, ASEAN, dan Indonesia.

Regional Vice President ASEAN Palo Alto Networks Steven Scheurmann kepada ANTARA menjelaskan bahwa secara global ada tiga industri yang terdampak serangan ransomware, yakni manufaktur, layanan profesional dan hukum, serta teknologi tinggi.

Sementara di ASEAN, tiga teratas industri terdampak ransomware ialah manufaktur, retail, dan konstruksi.

Secara global, Amerika Serikat menjadi target utama serangan ransomware pada 2023 hingga meraup korban sebesar 47,6 persen, diikuti Inggris, Kanada, dan Jerman.

Sedangkan di ASEAN, Thailand adalah negara yang paling sering mendapat serangan ransomware, diikuti Singapura, Malaysia, dan Indonesia.

Indonesia

Terutama di Indonesia, serangan ransomware pada 2023 berdampak pada tiga industri teratas, yakni retail, transportasi dan logistik, serta utilitas dan energi.

Steven mengatakan terdapat faktor seperti maraknya digitalisasi pada perusahaan pasca COVID-19, serta para pembajak (hacker) yang semakin canggih.

"Mereka pakai AI (kecerdasan artifisial), mereka pakai machine learning (mesin pembelajaran), mereka itu sangat-sangat organisasi," ujarnya.

"Mereka itu bagi informasi bersama, bilang, 'hey target ini rada gampang kita serang bersama sekarang'. Jadi mereka sangat terorganisasi, kecepatan super canggih," katanya, menambahkan.

Steven mencatat serangan ransomware di AS dapat memengaruhi reputasi perusahaan. Jika ransomware menargetkan negara, biasanya serangan mengarah pada infrastruktur vital.

"Jadi menyerang sistem bank, menyerang pasar stok, menyerang sumber daya, karena itu dampaknya besar sekali, semua rakyat bisa kena juga," kata dia.

Steven menilai tantangan terbesar untuk menciptakan keamanan data di ASEAN adalah sumber daya manusianya.

Menurut dia, jalan untuk menjaga keamanan data tersebut adalah dengan mengadakan pelatihan, kerja sama, dan bekerja dengan berbagai vendor penyedia keamanan data.

Selain itu, ia menilai adanya kerangka kerja negara-negara ASEAN untuk menegaskan hukum pada perlindungan data merupakan langkah awal tepat untuk pencegahan serangan ransomware