Anggota Komisi IX DPR RI Arzeti Bilbina menilai pemerintah perlu memberikan edukasi yang masif kepada masyarakat, terutama generasi muda mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas yang aman.
“Komisi IX DPR mendorong pemerintah dan masyarakat untuk terus meningkatkan edukasi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas yang aman," kata Arzeti dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
Menurutnya, hal tersebut bernilai penting untuk dilakukan karena remaja, terutama perempuan usia 15–19 tahun lebih rentan terkena risiko penyakit dan konsekuensi jika melakukan hubungan seksual di usia dini.
Lebih lanjut, dia menilai pendidikan kesehatan reproduksi bisa diberikan oleh pemerintah di lingkungan pendidikan formal. Tentunya, materi yang diberikan harus disesuaikan dengan usia dan jenjang pendidikan siswa.
Bahkan, dia menambahkan apabila diperlukan, pendidikan reproduksi semakin dioptimalkan di lingkungan pendidikan formal, seperti sekolah. Hal itu dapat membuat remaja Indonesia lebih memahami risiko jika melakukan hubungan seksual di usia dini.
“Sebaiknya tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. Selain bertentangan dengan norma dan agama, dampak kesehatannya juga sangat signifikan, terutama bagi perempuan," kata dia.
Arzeti juga menyoroti data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tentang pernikahan dini.
Ia menyampaikan bahwa tren pernikahan dini di Tanah Air sejauh ini mengalami penurunan, dari 40 dari 1.000 remaja perempuan, menjadi 26 dari 1.000 remaja perempuan.
Namun, kata dia, angka tersebut berbanding terbalik dengan tren hubungan seksual remaja di Indonesia.
"Menurut data terbaru dari BKKBN, itu meningkat tajam. Tercatat lebih dari 50 persen remaja perempuan yang melakukan hubungan seksual di usia 15 hingga 19 tahun. Sementara itu, pada laki-laki angkanya lebih tinggi, yakni di atas 70 persen," kata Arzeti.
Dia memandang hal tersebut menjadi tantangan baru yang perlu segera diatasi oleh pemerintah dan para pihak terkait lainnya.
Ia menilai kampanye no sex sebelum menikah harus semakin digalakkan. "Selain itu, peran sekolah dan orang tua dalam memberikan pendidikan seksual kepada anak-anak juga harus dimaksimalkan," ujarnya.
Menurutnya, hal tersebut bernilai penting untuk dilakukan karena remaja, terutama perempuan usia 15–19 tahun lebih rentan terkena risiko penyakit dan konsekuensi jika melakukan hubungan seksual di usia dini.
Lebih lanjut, dia menilai pendidikan kesehatan reproduksi bisa diberikan oleh pemerintah di lingkungan pendidikan formal. Tentunya, materi yang diberikan harus disesuaikan dengan usia dan jenjang pendidikan siswa.
Bahkan, dia menambahkan apabila diperlukan, pendidikan reproduksi semakin dioptimalkan di lingkungan pendidikan formal, seperti sekolah. Hal itu dapat membuat remaja Indonesia lebih memahami risiko jika melakukan hubungan seksual di usia dini.
“Sebaiknya tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. Selain bertentangan dengan norma dan agama, dampak kesehatannya juga sangat signifikan, terutama bagi perempuan," kata dia.
Arzeti juga menyoroti data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tentang pernikahan dini.
Ia menyampaikan bahwa tren pernikahan dini di Tanah Air sejauh ini mengalami penurunan, dari 40 dari 1.000 remaja perempuan, menjadi 26 dari 1.000 remaja perempuan.
Namun, kata dia, angka tersebut berbanding terbalik dengan tren hubungan seksual remaja di Indonesia.
"Menurut data terbaru dari BKKBN, itu meningkat tajam. Tercatat lebih dari 50 persen remaja perempuan yang melakukan hubungan seksual di usia 15 hingga 19 tahun. Sementara itu, pada laki-laki angkanya lebih tinggi, yakni di atas 70 persen," kata Arzeti.
Dia memandang hal tersebut menjadi tantangan baru yang perlu segera diatasi oleh pemerintah dan para pihak terkait lainnya.
Ia menilai kampanye no sex sebelum menikah harus semakin digalakkan. "Selain itu, peran sekolah dan orang tua dalam memberikan pendidikan seksual kepada anak-anak juga harus dimaksimalkan," ujarnya.