Orang Rimba tolak eksploitasi lewat "Melawan Setan Bermata Runcing"
Setan bermata runcing' adalah istilah Orang Rimba untuk menyebut pensil atau pena
Sleman (ANTARA) - Orang Rimba atau masyarakat adat yang tinggal dan menggantungkan hidupnya dari hutan Bukit Duabelas, Jambi menolak eksploitasi kekayaan hutan alam mereka melalui buku "Melawan Setan Mata Runcing".
"'Setan bermata runcing' adalah istilah Orang Rimba untuk menyebut pensil atau pena," kata Butet Manurung, penulis buku "Melawan Setan Bermata Runcung", dalam acara bedah buku di Sleman, Yogyakarta, Selasa malam.
Ia mengatakan saat pertama kali melakukan pendampingan terhadap anak-anak Orang Rimba, ada ketakutan dari anak-anak ketika relawan mengeluarkan pena atau pensil.
"Mereka kabur melarikan diri dan berkata masukkan 'setan runcing' dalam tas," katanya.
Ia mengatakan ketakutan anak rimba itu karena mereka memiliki anggapan bahwa orang-orang dari luar memanfaatkan kemampuan membaca dan menulis untuk menguasai hutan mereka.
"Mereka hanya mau belajar baca dan tulis dengan menggunakan arang," katanya.
Kisah perlawanan Orang Rimba itu mendorong Sokola Institute menuliskannya dalam buku berjudul "Melawan Setan Bermata Runcing".
Butet Manurung yang juga Direktur Sokola Institute itu, mengatakan pertama kali memperkenalkan baca-tulis kepada mereka pada 1999.
"Ada pertanyaan dari anak-anak ini, yakni setelah kami bisa baca tulis, apakah kami bisa mengusir pembalak yang mengambil pohon-pohon di hutan kami?" katanya.
Ia mengatakan adanya semacam pemahaman bahwa sekolah mengajarkan ilmu pergi, meninggalkan kampung halaman.
"Sehingga untuk mengajak mereka belajar, model pembelajaran yang digunakan banyak diskusi, kekaguman terhadap mereka, mengenal kebiasaan mereka, kepandaian mereka di alam dan peralatan yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari, ada panah, tombak, dan lainnya," katanya.
Menurut dia, baca tulis dan hitung saja tidak cukup bagi Orang Rimba untuk menjaga hutan adat dan kelangsungan hidup mereka.
"Buku ini merupakan kumpulan pengalaman Sokola dalam mengembangkan program pendidikan sebagai upaya untuk membantu masyarakat adat menghadapi persoalan sembari tetap mempertahankan adat," katanya.
Butet mengatakan hidup bersama dalam masyarakat adat dan beradaptasi dengan budaya setempat, serta murid-murid yang kritis, justru menjadi sekolah bagi para relawan Sokola hingga akhirnya membentuk metode dan pendekatan pendidikan yang ramah budaya, dan dapat merespons persoalan kontekstual.
Dalam bedah buku tersebut juga hadir para penulis lainnya, yakni Aditya Dipta Anindita, Dodi Rokhdian, Fadilla M. Apristawijaya, Fawaz Al Batawy, dan Saleh Abdulah.
Aditya Dipta Anindita mengatakan dalam pendampingan pendidikan anak-anak Orang Rimba, relawan harus "life in", membumi, dan membuka dialog dengan komunitas.
"Sehingga program yang dilakukan hasil dari dialog yang dilakukan dengan komunitas, dengan demikian akan tahu apa yang paling mereka butuhkan," katanya.
Menurut dia, tidak semua bantuan yang diberikan, termasuk dari pemerintah, benar-benar mereka butuhkan untuk kehidupannya.
Salah satu contoh adalah pernah ada bantuan untuk suku dalam bagian luar berupa semacam mainan untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), berupa semacam wahana memanjat tali atau sejenisnya.
"Anak-anak di sana tidak butuh itu, mereka sudah mahir memanjat. Bahkan, sampai memanjat dan bergelantungan di pohon yang sangat tinggi," katanya.
Selain itu, bantuan berupa sepatu, yang juga tidak mereka dibutuhkan karena justru akan melemahkan kaki-kaki mereka saat harus beradaptasi dengan kondisi hutan belantara yang masih alami.
"Lalu kemudian jika sepatu tersebut rusak, siapa yang akan memberi sepatu lagi," katanya.
"'Setan bermata runcing' adalah istilah Orang Rimba untuk menyebut pensil atau pena," kata Butet Manurung, penulis buku "Melawan Setan Bermata Runcung", dalam acara bedah buku di Sleman, Yogyakarta, Selasa malam.
Ia mengatakan saat pertama kali melakukan pendampingan terhadap anak-anak Orang Rimba, ada ketakutan dari anak-anak ketika relawan mengeluarkan pena atau pensil.
"Mereka kabur melarikan diri dan berkata masukkan 'setan runcing' dalam tas," katanya.
Ia mengatakan ketakutan anak rimba itu karena mereka memiliki anggapan bahwa orang-orang dari luar memanfaatkan kemampuan membaca dan menulis untuk menguasai hutan mereka.
"Mereka hanya mau belajar baca dan tulis dengan menggunakan arang," katanya.
Kisah perlawanan Orang Rimba itu mendorong Sokola Institute menuliskannya dalam buku berjudul "Melawan Setan Bermata Runcing".
Butet Manurung yang juga Direktur Sokola Institute itu, mengatakan pertama kali memperkenalkan baca-tulis kepada mereka pada 1999.
"Ada pertanyaan dari anak-anak ini, yakni setelah kami bisa baca tulis, apakah kami bisa mengusir pembalak yang mengambil pohon-pohon di hutan kami?" katanya.
Ia mengatakan adanya semacam pemahaman bahwa sekolah mengajarkan ilmu pergi, meninggalkan kampung halaman.
"Sehingga untuk mengajak mereka belajar, model pembelajaran yang digunakan banyak diskusi, kekaguman terhadap mereka, mengenal kebiasaan mereka, kepandaian mereka di alam dan peralatan yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari, ada panah, tombak, dan lainnya," katanya.
Menurut dia, baca tulis dan hitung saja tidak cukup bagi Orang Rimba untuk menjaga hutan adat dan kelangsungan hidup mereka.
"Buku ini merupakan kumpulan pengalaman Sokola dalam mengembangkan program pendidikan sebagai upaya untuk membantu masyarakat adat menghadapi persoalan sembari tetap mempertahankan adat," katanya.
Butet mengatakan hidup bersama dalam masyarakat adat dan beradaptasi dengan budaya setempat, serta murid-murid yang kritis, justru menjadi sekolah bagi para relawan Sokola hingga akhirnya membentuk metode dan pendekatan pendidikan yang ramah budaya, dan dapat merespons persoalan kontekstual.
Dalam bedah buku tersebut juga hadir para penulis lainnya, yakni Aditya Dipta Anindita, Dodi Rokhdian, Fadilla M. Apristawijaya, Fawaz Al Batawy, dan Saleh Abdulah.
Aditya Dipta Anindita mengatakan dalam pendampingan pendidikan anak-anak Orang Rimba, relawan harus "life in", membumi, dan membuka dialog dengan komunitas.
"Sehingga program yang dilakukan hasil dari dialog yang dilakukan dengan komunitas, dengan demikian akan tahu apa yang paling mereka butuhkan," katanya.
Menurut dia, tidak semua bantuan yang diberikan, termasuk dari pemerintah, benar-benar mereka butuhkan untuk kehidupannya.
Salah satu contoh adalah pernah ada bantuan untuk suku dalam bagian luar berupa semacam mainan untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), berupa semacam wahana memanjat tali atau sejenisnya.
"Anak-anak di sana tidak butuh itu, mereka sudah mahir memanjat. Bahkan, sampai memanjat dan bergelantungan di pohon yang sangat tinggi," katanya.
Selain itu, bantuan berupa sepatu, yang juga tidak mereka dibutuhkan karena justru akan melemahkan kaki-kaki mereka saat harus beradaptasi dengan kondisi hutan belantara yang masih alami.
"Lalu kemudian jika sepatu tersebut rusak, siapa yang akan memberi sepatu lagi," katanya.