Sejumlah staf Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) sibuk mengisi
formulir di depan loket Bidang Penindakan dan Penyidikan (P2) Bea Cukai
Tanjung Priok di gedung Kantor Pelayanan Utama kelas A Tanjung Priok.
PPJK adalah perusahaan yang mengurus berbagai dokumen kelengkapan ekspor impor. Eksportir atau importir memberikan kuasa kepada PPJK untuk menyelesaikan seluruh tahapan ekspor maupun impor barang di pelabuhan.
Pada pertengahan November 2014, para staf PPJK berada di depan loket P2 untuk mengurus kontainer yang masuk dalam jalur merah, jalur yang menurut hasil penelitian dokumen impor memerlukan pemeriksaan secara fisik untuk mencocokan data dalam dokumen dengan kenyataannya secara fisik.
Pemeriksaan fisik tersebut dilakukan di sejumlah tempat penampungan sementara yang telah mendapat izin dari kantor Bea dan Cukai Tanjung Priok, salah satunya fasilitas pemeriksaan fisik milik PT Graha Segara.
Perusahaan tersebut adalah penyedia fasilitas pemeriksaan fisik peti kemas khusus impor baik jalur merah maupun jalur hijau.
Sebelum masuk ke gudang, staf PPJK harus menyerahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang diganti dengan ID Visitor dan pada pos selanjutnya ID Visitor itu diganti dengan rompi jingga lusuh dengan nomor dan tulisan "visitor" putih di bagian punggung.
Tempat pemeriksaan itu berupa ruang berukuran 20 x 50 meter yang beratap tapi tak berdinding. Ada spanduk besar dengan huruf merah bertuliskan "Dilarang memberikan dan menerima imbalan dalam bentuk apapun kepada Karyawan PT Graha Segara TKBM dan Security" di sana.
Di ruangan itu sudah berjejer kontainer-kontainer panjang (40 kaki) dan pendek (20 kaki) yang menanti untuk diperiksa oleh petugas pemeriksa bea cukai.
Barang yang dikawal staf PPJK itu masuk dalam kategori merah karena merupakan barang pindahan. Barang pindahan itu terdiri dari beragam jenis barang padahal dalam satu kontainer seharusnya memuat satu jenis barang saja.
Setelah menunggu sekitar 30 menit, sang pemeriksa dari bea cukai pun datang mengendarai motor dinas berpelat merah. Ia mengenakan rompi hitam tebal bertulisan "Custom" dan menutup wajah dengan masker.
Sang pemeriksa mulai memerintahkan pembongkaran barang dalam kontainer. Namun pemeriksa dan staf PPJK masuk lebih dulu ke dalam kontainer yang sudah agak lowong.
Sebelumnya staf PPJK itu sudah lebih dulu merogoh dompet untuk mengeluarkan lembaran uang kertas berwarna kemerahan dan disodorkan ke petugas pemeriksa bea cukai.
"Yah total untuk bayar buruh, alat dan petugas itu sekitar Rp1 juta lah," kata staf PPJK tersebut.
Tapi ia membantah memberikan uang pelicin kepada sang petugas.
"Yah Rp200 ribu lah (untuk petugas). Ini mah bukan uang pelicin, tapi katakanlah uang terima kasih karena sudah dibantu," ungkap staf PPJK itu.
Semua barang pindahan mulai dari baju, sepatu, marmer, piring, panci, sendok, gelas, televisi layar datar, otopet, kasur, dan beragam barang rumah tangga lain dikeluarkan dari kertas, kardus dan peti pembungkus, diperiksa dengan teliti oleh petugas.
Namun barang yang mencapai lebih dari 120 item tersebut tidak semuanya diperiksa, hanya ada 30 kardus yang dibongkar, difoto dan ditempeli stiker "Inspected By Customs" oleh staf PPJK dan dicatat dalam laporan petugas bea cukai.
Selanjutnya sang petugas kembali ke kantor untuk menyerahkan laporan dan Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB) dapat keluar pada sore harinya.
Setelah itu, barang dibungkus ulang sebisanya oleh para buruh. Staf PPJK mengeluarkan Rp250 ribu untuk upah para buruh yang membantunya.
Staf tersebut kembali harus merogoh kocek. Saat mengembalikan rompi lusuh yang tadi dia kenakan dia menyodorkan Rp5.000 kepada petugas loket, dan menyorongkan Rp5.000 lagi saat menukarkan ID Visitor dengan KTP di gerbang terluar.
"Ya semuanya di sini memang pakai uang," kata staf PPJK.
Staf PPJK itu khawatir bila ia tidak memberikan insentif kepada petugas akan mendapat kesulitan dalam pemeriksaan fisik barang.
Setidaknya ada biaya tambahan Rp1 juta sampai Rp2 juta dari biaya operasional biasa bila peti kemas masuk ke jalur merah atau ada kekurangan dokumen.
Misalnya, bila ada surat rekomendasi yang kurang dari kementerian tertentu, staf PPJK, dengan uang dari importir, harus membayar untuk mendapatkan surat rekomendasi tersebut.
Padahal biaya operasional biasa yang dikenakan oleh PPJK kepada importir untuk peti kemas panjang (40 kaki) "hanya" Rp1,5 juta sedangkan peti kemas pendek (20 kaki) Rp1,3 juta.
Artinya biaya tanpa kuitansi itu dapat lebih besar dibanding biaya pengurusan resmi.
Berdasarkan statistik resmi KPU Tanjung Priok, pada 2014, setiap bulan ada 5.221 kontainer yang masuk ke jalur merah.
Jumlah tersebut memang menurun drastis dibanding pada tahun-tahun sebelumnya yaitu 14.060 kontainer/bulan (2013) dan 15.298 kontainer/bulan (2012).
Namun, bila sebagian besar petugas pemeriksa di lapangan masih menerima uang antara Rp100 ribu sampai Rp200 ribu maka setidaknya ada Rp1 miliar uang keluar untuk gerakan di jalur merah pelabuhan.
Tak Perlu Uang
Meski dalam praktek di lapangan pertemuan antara petugas bea cukai dan pengguna jasa rawan pemberian uang, namun sejumlah pihak menegaskan hal tersebut tidak terjadi. Salah satunya Direktur PT Menara Jasa Samudra Dirgantara Zulfahmi. Perusahaan itu adalah salah satu PPJK.
"Sebenarnya barang masuk jalur merah itu tidak masalah karena dia hanya dicek pasti kebenaran akan dokumen dan fisik, misalnya kita di online bilang mau impor jeruk terus diperiksa bener enggak 10? Jadi bagi orang yang bener-bener ya enggak masalah, kelihatannya aja kan ribet padahal banyak yang masuk jalur merah," kata Zulfahmi.
Menurut Zulfahmi, tidak perlu memberikan uang kepada petugas pemeriksa.
"Asal dokumen yang kita serahkan cocok dengan fisik enggak ada kita mengeluarkan pengeluaran lagi. Paling keluar untuk biaya buruh, sama nurunin (kontainer), itu dibebankan ke kita," ungkap Zulfahmi.
Namun ia cukup senang bila ada barang yang masuk jalur merah karena menambah pendapatan perusahaannya.
"Bagi kita pengurus malah ada tambahan mengurus jalur merah itu kan? Kalau tadinya perjalanan satu hari, jadi tiga hari, jadinya ada tambahan bagi si pelaksana," tambah Zulfahmi.
Zulfahmi juga mengaku belum pernah diperas oleh oknum petugas bea cukai agar barang yang dikawal perusahaannya dapat keluar dari pelabuhan.
"Mereka sendiri tahu kita ini pekerjanya, yang jadi sasaran biasanya pemilik barang, kita hanya bantu prosesnya, enggak mungkin juga bea cukainya, pasti ujungnya adalah pemilik barangnya," ungkap Zulfahmi.
Ia malah mengeluhkan pungutan tidak resmi di titik lain yang tidak dilakukan oleh bea cukai tapi operator di pelabuhan, misalnya untuk berlomba menaikkan kontainer ke kapal kargo bagi barang ekspor.
Akan Disikat
Kepala Kantor Pelayanan Utama Tipe A Bea Cukai Tanjung Priok B Wijayanta dengan tegas mengatakan akan menindak bawahannya yang terbukti mendapatkan insentif dari penyedia jasa.
"Jangankan diberi Rp100 ribu sampai Rp200 ribu atau Rp50 ribu. Dikasih Rp10 ribu kita sikat! Jangankan segitu, saya pernah ada pegawai yang perform nangkap narkoba tapi dia terima Rp50 ribu, saya kasih hukuman. Meski bisa tangkap shabu tapi keterlibatan (mendapat insentif) itu enggak ada cerita," katanya.
Saat memenuhi permintaan wawancara dengan Antara pada 8 Januari 2015, Wijayanta meminta dengan sungguh-sungguh untuk membuktikan apakah benar ada anak buahnya yang mendapatkan uang atau pihak lain yang di luar kewenangan bea cukai.
"Tapi hati-hati ya kalau hanya mengambil contoh satu tapi akhirnya meruntuhkan (upaya pembersihan internal) benar-benar berbahaya karena kami sangat serius sekali misalnya mengonfirmasi ke GINSI (Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia) apakah benar ada uang bulanan dan sebagainya. Bahwa Bea Cukai belum bersih memang, tapi kami benar-benar serius," ungkap Wijayanta.
Besarnya biaya yang menyebabkan kemahalan ongkos logistik, menurut Wijayanta, juga menjadi tanggung jawab operator pelabuhan.
"Ongkos logistik mahal bukan karena bea cukai tapi demorage-nya itu menyebabkan tingginya biaya besar sekali bisa 500 persen dari tarif standar, tapi (pembayaran demorage) itu masalah di PPJK, bukan di kami," tambah dia.
Wijayanta menjelaskan pula bahwa pembongkaran barang di jalur merah sepenuhnya gratis.
"Pemeriksaan fisik itu hanya lima sampai enam persen dari total kontainer, sisanya mendapat jalur hijau atau MITA (Mitra Utama), dalam pemeriksaan kami juga ada tingkatannya, tapi tidak ada biaya," jelas Wijayanta.
Wijayanta kembali mengulang bahwa biaya yang dikeluarkan adalah untuk menggerakkan kontainer dari lokasi penimbunan ke tempat pemeriksaan, membayar kuli bongkar muat, atau biaya lain.
"Yang salah tafsir oleh importir adalah karena (mereka) tidak mengurus sendiri, begitu ada biaya-biaya seolah-olah itu dari Bea Cukai. Biaya yang dibayar itu bukan pungutan tapi untuk biaya bisnis, saya bisa mengatakan itu bukan dari Bea Cukai," katanya.
Kepala Bidang Kepatuhan Internal (KI) Tanjung Priok Dwi Teguh Wibowo mengatakan divisinya melakukan pengawasan termasuk kepada pemeriksa fisik.
"Di KI pendampingan pengawasan jalur merah kepada para pemeriksa fisik. Kami dari kepatuhan internal punya alat ukur sendiri, dilengkapi juga dengan foto sendiri, sehingga peralatan cukup. Kita kawal agar tidak ada biaya untuk pegawai, dan pegawai yang tertangkap kita proses, dan pelanggaran semakin kecil," kata Teguh.
Berdasarkan data Bidang Kepatuhan Internal Tanjung Priok, sepanjang 2013 hanya empat orang yang mendapat penalti karena menerima tip. Keempatnya adalah petugas di gerbang pelabuhan.
Sementara pada 2014 hanya ada dua orang, satu orang pemeriksa fisik yang memeriksa barang yang masuk di jalur merah dan satu orang petugas di tempat penimbunan pabeanan.
"Kalau setahun itu, paling sekali-dua kali (yang tertangkap), sekali ini yang kita proses artinya dari jarak setahun kami di sini baru satu yang tertangkap. Jadi di pemeriksaan fisik itu hampir enggak ada lagi (penerimaan uang)," tambah Teguh.
Teguh semakin yakin karena kantornya tersebut sudah dilengkapi dengan CCTV maupun kamera tersembunyi di berbagai titik di pelabuhan. Kamera tersebut punya resolusi tinggi dan dapat menyorot sampai nama petugas yang tercantum di seragam.
Saat Antara berkunjung ke ruang kontrol Bea Cukai Tanjung Priok di Gedung Induk lantai tiga pekan lalu, ada 128 monitor berukuran 14 inchi yang terpasang di ruangan tersebut.
Layar-layar monitor itu memperlihatkan kegiatan di pelabuhan mulai dari kapal bersandar, bongkar muat barang, perpindahan barang ke gudang penimbunan, pemeriksaan barang bila barang tersebut masuk ke jalur merah, termasuk di PT Graha Segara, hingga saat keluar dari pintu gerbang.
Pembangunan ruang kontrol utama (Main Control Room/MCR) tersebut menurut Kepala Bidang Bimbingan Kepatuhan dan Layanan Informasi Susila Brata sudah direncanakan sejak 2012 namun baru terealisasi 2014.
Meski dilengkapi dengan layar monitor, server mandiri dan sejumlah perangkat komputer untuk mengontrol kamera tersembunyi dan CCTV, namun petugas yang berjaga di ruangan tersebut minim sehingga aktivitas pelabuhan yang ditangkap kamera, baik yang seusai aturan maupun tidak, bisa terlewat dari pengawasan.(skd)
PPJK adalah perusahaan yang mengurus berbagai dokumen kelengkapan ekspor impor. Eksportir atau importir memberikan kuasa kepada PPJK untuk menyelesaikan seluruh tahapan ekspor maupun impor barang di pelabuhan.
Pada pertengahan November 2014, para staf PPJK berada di depan loket P2 untuk mengurus kontainer yang masuk dalam jalur merah, jalur yang menurut hasil penelitian dokumen impor memerlukan pemeriksaan secara fisik untuk mencocokan data dalam dokumen dengan kenyataannya secara fisik.
Pemeriksaan fisik tersebut dilakukan di sejumlah tempat penampungan sementara yang telah mendapat izin dari kantor Bea dan Cukai Tanjung Priok, salah satunya fasilitas pemeriksaan fisik milik PT Graha Segara.
Perusahaan tersebut adalah penyedia fasilitas pemeriksaan fisik peti kemas khusus impor baik jalur merah maupun jalur hijau.
Sebelum masuk ke gudang, staf PPJK harus menyerahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang diganti dengan ID Visitor dan pada pos selanjutnya ID Visitor itu diganti dengan rompi jingga lusuh dengan nomor dan tulisan "visitor" putih di bagian punggung.
Tempat pemeriksaan itu berupa ruang berukuran 20 x 50 meter yang beratap tapi tak berdinding. Ada spanduk besar dengan huruf merah bertuliskan "Dilarang memberikan dan menerima imbalan dalam bentuk apapun kepada Karyawan PT Graha Segara TKBM dan Security" di sana.
Di ruangan itu sudah berjejer kontainer-kontainer panjang (40 kaki) dan pendek (20 kaki) yang menanti untuk diperiksa oleh petugas pemeriksa bea cukai.
Barang yang dikawal staf PPJK itu masuk dalam kategori merah karena merupakan barang pindahan. Barang pindahan itu terdiri dari beragam jenis barang padahal dalam satu kontainer seharusnya memuat satu jenis barang saja.
Setelah menunggu sekitar 30 menit, sang pemeriksa dari bea cukai pun datang mengendarai motor dinas berpelat merah. Ia mengenakan rompi hitam tebal bertulisan "Custom" dan menutup wajah dengan masker.
Sang pemeriksa mulai memerintahkan pembongkaran barang dalam kontainer. Namun pemeriksa dan staf PPJK masuk lebih dulu ke dalam kontainer yang sudah agak lowong.
Sebelumnya staf PPJK itu sudah lebih dulu merogoh dompet untuk mengeluarkan lembaran uang kertas berwarna kemerahan dan disodorkan ke petugas pemeriksa bea cukai.
"Yah total untuk bayar buruh, alat dan petugas itu sekitar Rp1 juta lah," kata staf PPJK tersebut.
Tapi ia membantah memberikan uang pelicin kepada sang petugas.
"Yah Rp200 ribu lah (untuk petugas). Ini mah bukan uang pelicin, tapi katakanlah uang terima kasih karena sudah dibantu," ungkap staf PPJK itu.
Semua barang pindahan mulai dari baju, sepatu, marmer, piring, panci, sendok, gelas, televisi layar datar, otopet, kasur, dan beragam barang rumah tangga lain dikeluarkan dari kertas, kardus dan peti pembungkus, diperiksa dengan teliti oleh petugas.
Namun barang yang mencapai lebih dari 120 item tersebut tidak semuanya diperiksa, hanya ada 30 kardus yang dibongkar, difoto dan ditempeli stiker "Inspected By Customs" oleh staf PPJK dan dicatat dalam laporan petugas bea cukai.
Selanjutnya sang petugas kembali ke kantor untuk menyerahkan laporan dan Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB) dapat keluar pada sore harinya.
Setelah itu, barang dibungkus ulang sebisanya oleh para buruh. Staf PPJK mengeluarkan Rp250 ribu untuk upah para buruh yang membantunya.
Staf tersebut kembali harus merogoh kocek. Saat mengembalikan rompi lusuh yang tadi dia kenakan dia menyodorkan Rp5.000 kepada petugas loket, dan menyorongkan Rp5.000 lagi saat menukarkan ID Visitor dengan KTP di gerbang terluar.
"Ya semuanya di sini memang pakai uang," kata staf PPJK.
Staf PPJK itu khawatir bila ia tidak memberikan insentif kepada petugas akan mendapat kesulitan dalam pemeriksaan fisik barang.
Setidaknya ada biaya tambahan Rp1 juta sampai Rp2 juta dari biaya operasional biasa bila peti kemas masuk ke jalur merah atau ada kekurangan dokumen.
Misalnya, bila ada surat rekomendasi yang kurang dari kementerian tertentu, staf PPJK, dengan uang dari importir, harus membayar untuk mendapatkan surat rekomendasi tersebut.
Padahal biaya operasional biasa yang dikenakan oleh PPJK kepada importir untuk peti kemas panjang (40 kaki) "hanya" Rp1,5 juta sedangkan peti kemas pendek (20 kaki) Rp1,3 juta.
Artinya biaya tanpa kuitansi itu dapat lebih besar dibanding biaya pengurusan resmi.
Berdasarkan statistik resmi KPU Tanjung Priok, pada 2014, setiap bulan ada 5.221 kontainer yang masuk ke jalur merah.
Jumlah tersebut memang menurun drastis dibanding pada tahun-tahun sebelumnya yaitu 14.060 kontainer/bulan (2013) dan 15.298 kontainer/bulan (2012).
Namun, bila sebagian besar petugas pemeriksa di lapangan masih menerima uang antara Rp100 ribu sampai Rp200 ribu maka setidaknya ada Rp1 miliar uang keluar untuk gerakan di jalur merah pelabuhan.
Tak Perlu Uang
Meski dalam praktek di lapangan pertemuan antara petugas bea cukai dan pengguna jasa rawan pemberian uang, namun sejumlah pihak menegaskan hal tersebut tidak terjadi. Salah satunya Direktur PT Menara Jasa Samudra Dirgantara Zulfahmi. Perusahaan itu adalah salah satu PPJK.
"Sebenarnya barang masuk jalur merah itu tidak masalah karena dia hanya dicek pasti kebenaran akan dokumen dan fisik, misalnya kita di online bilang mau impor jeruk terus diperiksa bener enggak 10? Jadi bagi orang yang bener-bener ya enggak masalah, kelihatannya aja kan ribet padahal banyak yang masuk jalur merah," kata Zulfahmi.
Menurut Zulfahmi, tidak perlu memberikan uang kepada petugas pemeriksa.
"Asal dokumen yang kita serahkan cocok dengan fisik enggak ada kita mengeluarkan pengeluaran lagi. Paling keluar untuk biaya buruh, sama nurunin (kontainer), itu dibebankan ke kita," ungkap Zulfahmi.
Namun ia cukup senang bila ada barang yang masuk jalur merah karena menambah pendapatan perusahaannya.
"Bagi kita pengurus malah ada tambahan mengurus jalur merah itu kan? Kalau tadinya perjalanan satu hari, jadi tiga hari, jadinya ada tambahan bagi si pelaksana," tambah Zulfahmi.
Zulfahmi juga mengaku belum pernah diperas oleh oknum petugas bea cukai agar barang yang dikawal perusahaannya dapat keluar dari pelabuhan.
"Mereka sendiri tahu kita ini pekerjanya, yang jadi sasaran biasanya pemilik barang, kita hanya bantu prosesnya, enggak mungkin juga bea cukainya, pasti ujungnya adalah pemilik barangnya," ungkap Zulfahmi.
Ia malah mengeluhkan pungutan tidak resmi di titik lain yang tidak dilakukan oleh bea cukai tapi operator di pelabuhan, misalnya untuk berlomba menaikkan kontainer ke kapal kargo bagi barang ekspor.
Akan Disikat
Kepala Kantor Pelayanan Utama Tipe A Bea Cukai Tanjung Priok B Wijayanta dengan tegas mengatakan akan menindak bawahannya yang terbukti mendapatkan insentif dari penyedia jasa.
"Jangankan diberi Rp100 ribu sampai Rp200 ribu atau Rp50 ribu. Dikasih Rp10 ribu kita sikat! Jangankan segitu, saya pernah ada pegawai yang perform nangkap narkoba tapi dia terima Rp50 ribu, saya kasih hukuman. Meski bisa tangkap shabu tapi keterlibatan (mendapat insentif) itu enggak ada cerita," katanya.
Saat memenuhi permintaan wawancara dengan Antara pada 8 Januari 2015, Wijayanta meminta dengan sungguh-sungguh untuk membuktikan apakah benar ada anak buahnya yang mendapatkan uang atau pihak lain yang di luar kewenangan bea cukai.
"Tapi hati-hati ya kalau hanya mengambil contoh satu tapi akhirnya meruntuhkan (upaya pembersihan internal) benar-benar berbahaya karena kami sangat serius sekali misalnya mengonfirmasi ke GINSI (Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia) apakah benar ada uang bulanan dan sebagainya. Bahwa Bea Cukai belum bersih memang, tapi kami benar-benar serius," ungkap Wijayanta.
Besarnya biaya yang menyebabkan kemahalan ongkos logistik, menurut Wijayanta, juga menjadi tanggung jawab operator pelabuhan.
"Ongkos logistik mahal bukan karena bea cukai tapi demorage-nya itu menyebabkan tingginya biaya besar sekali bisa 500 persen dari tarif standar, tapi (pembayaran demorage) itu masalah di PPJK, bukan di kami," tambah dia.
Wijayanta menjelaskan pula bahwa pembongkaran barang di jalur merah sepenuhnya gratis.
"Pemeriksaan fisik itu hanya lima sampai enam persen dari total kontainer, sisanya mendapat jalur hijau atau MITA (Mitra Utama), dalam pemeriksaan kami juga ada tingkatannya, tapi tidak ada biaya," jelas Wijayanta.
Wijayanta kembali mengulang bahwa biaya yang dikeluarkan adalah untuk menggerakkan kontainer dari lokasi penimbunan ke tempat pemeriksaan, membayar kuli bongkar muat, atau biaya lain.
"Yang salah tafsir oleh importir adalah karena (mereka) tidak mengurus sendiri, begitu ada biaya-biaya seolah-olah itu dari Bea Cukai. Biaya yang dibayar itu bukan pungutan tapi untuk biaya bisnis, saya bisa mengatakan itu bukan dari Bea Cukai," katanya.
Kepala Bidang Kepatuhan Internal (KI) Tanjung Priok Dwi Teguh Wibowo mengatakan divisinya melakukan pengawasan termasuk kepada pemeriksa fisik.
"Di KI pendampingan pengawasan jalur merah kepada para pemeriksa fisik. Kami dari kepatuhan internal punya alat ukur sendiri, dilengkapi juga dengan foto sendiri, sehingga peralatan cukup. Kita kawal agar tidak ada biaya untuk pegawai, dan pegawai yang tertangkap kita proses, dan pelanggaran semakin kecil," kata Teguh.
Berdasarkan data Bidang Kepatuhan Internal Tanjung Priok, sepanjang 2013 hanya empat orang yang mendapat penalti karena menerima tip. Keempatnya adalah petugas di gerbang pelabuhan.
Sementara pada 2014 hanya ada dua orang, satu orang pemeriksa fisik yang memeriksa barang yang masuk di jalur merah dan satu orang petugas di tempat penimbunan pabeanan.
"Kalau setahun itu, paling sekali-dua kali (yang tertangkap), sekali ini yang kita proses artinya dari jarak setahun kami di sini baru satu yang tertangkap. Jadi di pemeriksaan fisik itu hampir enggak ada lagi (penerimaan uang)," tambah Teguh.
Teguh semakin yakin karena kantornya tersebut sudah dilengkapi dengan CCTV maupun kamera tersembunyi di berbagai titik di pelabuhan. Kamera tersebut punya resolusi tinggi dan dapat menyorot sampai nama petugas yang tercantum di seragam.
Saat Antara berkunjung ke ruang kontrol Bea Cukai Tanjung Priok di Gedung Induk lantai tiga pekan lalu, ada 128 monitor berukuran 14 inchi yang terpasang di ruangan tersebut.
Layar-layar monitor itu memperlihatkan kegiatan di pelabuhan mulai dari kapal bersandar, bongkar muat barang, perpindahan barang ke gudang penimbunan, pemeriksaan barang bila barang tersebut masuk ke jalur merah, termasuk di PT Graha Segara, hingga saat keluar dari pintu gerbang.
Pembangunan ruang kontrol utama (Main Control Room/MCR) tersebut menurut Kepala Bidang Bimbingan Kepatuhan dan Layanan Informasi Susila Brata sudah direncanakan sejak 2012 namun baru terealisasi 2014.
Meski dilengkapi dengan layar monitor, server mandiri dan sejumlah perangkat komputer untuk mengontrol kamera tersembunyi dan CCTV, namun petugas yang berjaga di ruangan tersebut minim sehingga aktivitas pelabuhan yang ditangkap kamera, baik yang seusai aturan maupun tidak, bisa terlewat dari pengawasan.(skd)