Palu (ANTARA) - Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasional Demokrat (NasDem) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) menilai pemerintah provinsi setempat perlu melakukan perbaikan tata kelola sumber daya alam (SDA) hutan dan lahan, serta energi sumber daya mineral, yang salah satunya tujuannya untuk mencegah adanya pertambangan emas tanpa izin (PETI).
"Biaya resiko lingkungan dari aktivitas pertambangan harus dikonversi sebagai agenda daya pulih bersama. Restorasi ekologi menjadi judul besar yang perlu mendapat perhatian,” ujar Ketua DPW NasDem Sulteng Atha Mahmud, di Palu, Senin berkaitan dengan momentum Hari Lingkungan Hidup 2021.
NasDem Sulteng menilaI potensi hutan dan lahan yang merupakan komponen ekologi yang tak terpisahkan, pengelolaan dan pemanfaatannya harus memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, kata Atha, restorasi ekologi di dalamnya mencakup hutan dan lahan, serta potensi energi sumber daya mineral yang dikandungnya, harus menjadi standar baru dalam pelaksanaan pembangunan daerah.
"Dalam momentum Hari Lingkungan Hidup, NasDem Sulawesi Tengah usulkan restorasi ekologi menjadi bagian dari standar pembangunan di Sulawesi Tengah, di tengah maraknya aktivitas industri keruk dan pertambangan tanpa ijin," ucap Atha.
Sulawesi Tengah, kata Atha, adalah daerah yang secara geologis rentan dengan ragam bencana, sehingga restorasi ekologi diperlukan untuk terus menjaga keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan.
Atha menyebut ada dua hal yang perlu dibangun dalam kerangka restorasi ekologi, yakni pertama, penertiban tambang tanpa ijin dan pengetatan rencana penambangan secara berkala melalui sebuah forum multistakeholder.
"Sebagai contoh, kegiatan tambang. Itu bukanlah properti individu, tetapi itu adalah kekayaan rakyat. Tetapi selama ini labanya diprivatisasi, tetapi resikonya diperluas menjadi tanggung jawab publik," ujarnya.
"Ini kan tentu saja tidak adil. Maka perlu ada sebuah forum keterwakilan yang mengatur secara bijak antara penambang, pemerintah dan masyarakat," ujarnya lagi.
Ia menambahkan kedua, pembentukan badan pengelola resiko lingkungan yang partisipasinya dipungut dari kewajiban CSR 2,5 persen dari total laba entitas perusahaan, sebagai jawaban atas biaya resiko dari dampak aktivitas pertambangan maupun kegiatan sejenis yang mempengaruhi keseimbangan ekosistem.
"Biaya resiko lingkungan dari aktivitas pertambangan harus dikonversi sebagai agenda daya pulih bersama. Restorasi ekologi menjadi judul besar yang perlu mendapat perhatian,” ujar Ketua DPW NasDem Sulteng Atha Mahmud, di Palu, Senin berkaitan dengan momentum Hari Lingkungan Hidup 2021.
NasDem Sulteng menilaI potensi hutan dan lahan yang merupakan komponen ekologi yang tak terpisahkan, pengelolaan dan pemanfaatannya harus memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, kata Atha, restorasi ekologi di dalamnya mencakup hutan dan lahan, serta potensi energi sumber daya mineral yang dikandungnya, harus menjadi standar baru dalam pelaksanaan pembangunan daerah.
"Dalam momentum Hari Lingkungan Hidup, NasDem Sulawesi Tengah usulkan restorasi ekologi menjadi bagian dari standar pembangunan di Sulawesi Tengah, di tengah maraknya aktivitas industri keruk dan pertambangan tanpa ijin," ucap Atha.
Sulawesi Tengah, kata Atha, adalah daerah yang secara geologis rentan dengan ragam bencana, sehingga restorasi ekologi diperlukan untuk terus menjaga keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan.
Atha menyebut ada dua hal yang perlu dibangun dalam kerangka restorasi ekologi, yakni pertama, penertiban tambang tanpa ijin dan pengetatan rencana penambangan secara berkala melalui sebuah forum multistakeholder.
"Sebagai contoh, kegiatan tambang. Itu bukanlah properti individu, tetapi itu adalah kekayaan rakyat. Tetapi selama ini labanya diprivatisasi, tetapi resikonya diperluas menjadi tanggung jawab publik," ujarnya.
"Ini kan tentu saja tidak adil. Maka perlu ada sebuah forum keterwakilan yang mengatur secara bijak antara penambang, pemerintah dan masyarakat," ujarnya lagi.
Ia menambahkan kedua, pembentukan badan pengelola resiko lingkungan yang partisipasinya dipungut dari kewajiban CSR 2,5 persen dari total laba entitas perusahaan, sebagai jawaban atas biaya resiko dari dampak aktivitas pertambangan maupun kegiatan sejenis yang mempengaruhi keseimbangan ekosistem.