Jakarta (ANTARA) - Kabar duka kembali menyelimuti Tanah Air, Minggu malam (4/7). Mantan Menteri Penerangan era Orde Baru, Harmoko, telah wafat pada usia 82 tahun.
Harmoko sudah sangat melekat dalam sejarah panjang bangsa Indonesia. Harmoko merupakan salah satu saksi sejarah penting, bagaimana lengsernya Orde Baru di bawah tampuk kekuasaan Soeharto, menuju era reformasi dengan gerakan yang dimotori mahasiswa pada 1998.
Tepat pada 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa berhasil menduduki Gedung DPR/MPR dengan tuntutan Soeharto mundur dari tampuk jabatan presiden Indonesia. Harmoko kala itu menjabat ketua DPR/MPR, yang setelah berbagai pergulatan yang hebat, menyatakan dukungan terhadap gerakan aktivis dan mahasiswa itu.
"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil Ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko saat jumpa pers kala itu.
Dukungan Harmoko mengegerkan banyak pihak. Betapa tidak, Harmoko dikenal sangat dekat dengan Soeharto. Bahkan pernah dipercaya menjadi menjadi menteri penerangan sebagai corong informasi pemerintahan Orde Baru.
Pada masa itu, Pak Harto yang sangat paham angka-angka statistik dan data serta perkembangan semua program pemerintah pada skala dalam negeri dan luar negeri secara eksak, tidak sering bicara langsung kepada publik ataupun wartawan.
Di situlah Harmoko diberikan kewenangan dan fungsi sebagai juru bicara presiden dan pemerintahan secara umum; dan hampir tidak pernah ada ralat apapun dari keterangan-keterangan resmi ataupun "todongan wartawan" yang diralat atau diklarifikasi. Juga keterangan dari Pak Harto yang sudah melalui berbagai verifikasi data dan angka dari jajarannya dalam birokrasi yang rapi.
Setelah banyak proses terjadi dalam ekskalasi yang deras, Soeharto pun memilih mundur setelah gerakan kemahasiswaan yang kemudian didukung Parlemen semakin mengkristal. Torehan prestasi memimpin Indonesia selama 32 tahun berakhir sudah dan kepemimpinan nasional beralih ke pundak BJ Habibie yang saat itu adalah wakil presiden.
Permintaan Harmoko sebagai pimpinan Parlemen sekaligus wakil rakyat dari Partai Golkar --partai penguasa-- merupakan bagian dari keputusan mundurnya Soeharto secara terhormat setelah sebelumnya menteri-menteri senior di kabinet kerjanya memilih mengundurkan diri.
Wartawan dan juru bicara
Harmoko bin Asmoprawiro dilahirkan di Nganjuk, Jawa Timur, [ada 7 Februari 1939, mengawali kariernya wartawan di Harian Merdeka. Usai menyelesaikan sekolah menengah atas, Harmoko bekerja sebagai korektor, pembuat karikatur hingga menjadi wartawan pada dasawarsa '60-an.
Harmoko bekerja sebagai wartawan di sejumlah media di antaranya Harian Merdeka, Majalah Merdeka, Harian Angkatan Bersenjata dan Harian API.
Puncak karir Harmoko di bidang jurnalistik, saat dipercayakan menahkodai kepengurusan Persatuan Wartawan Indonesia. Dengan kemampuan dimiliki Harmoko, membuat Presiden Soeharto kala itu meliriknya menjadi juru bicara pemerintah.
Soeharto memilih dia menjadi menteri penerangan selama tiga periode kabinet (1983-1997), menggantikan Ali Moertopo. Wajah Harmoko pun dikenal masyarakat Indonesia secara luas. Ia sering tampil TVRI, satu-satunya televisi di Indonesia kala itu. Bukan hanya wajah, suara Harmoko pun tidak asing, karena terlalu seringnya sang juru bicara tampil di RRI.
Sebagai juru bicara, Harmoko juga mempopulerkan Kolompok Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan (Kolempencapir), sebagai alat untuk menyebarkan informasi dari pemerintah.
“Harmoko sering muncul di televisi mengumumkan harga-harga kebutuhan pokok rakyat untuk mencegah para spekulan,” kenang Ketua MPR, Bambang Soesatyo, yang juga berlatar wartawan.
Karir politik
Puluhan tahun Harmoko menjadi bagian dari rezim kekuasaan orde baru bersama Soeharto. Setelah lama berperan di pemerintahan, Harmoko pun mengubah jalan politik dengan masuk ke Parlemen. Hamoko dipercaya menjadi ketua MPR dari Partai Golkar pada 1997. Sejak Orde Baru berkuasa pada 1967, MPR adalah lembaga tertinggi negara, dengan presiden sebagai salah satu lembaga tinggi sekaligus mandataris MPR.
Adapun lembaga tinggi negara lain adalah Dewan Pertimbangan Agung, DPR, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Setelah Orde Baru berakhir, tidak ada lagi lembaga tertinggi walau institusi MPR masih ada dan tidak ada lagi yang dinamakan mandataris MPR.
Harmoko memulai karir politik di Partai Golkar. Kala itu, Golkar merupakan mesin politik kekuasaan Orde Baru. Selama kepemimpinan Soeharto sebagai presiden, di Indonesia hanya ada tiga partai yakni Golongan Karya (kemudian menjadi Partai Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI, kemudian menjadi PDI Perjuangan) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Puncak karir Harmoko di dunia politik, saat dia menakhodai Golkar sejak 1993. Dari Golkar, Harmoko menjadi wakil rakyat Indonesia di Parlemen dan diangkat menjadi ketua MPR hingga 1999.
Soesatyo, menilai mantan Menteri Penerangan Harmoko sebagai sosok panutan bagi banyak kader Golkar. Sebagai ketua umum DPP Golkar, Harmoko dikenal pula sebagai pencetus istilah "Temu Kader".
"Harmoko adalah politisi senior, guru sekaligus panutan banyak kader Partai Golkar," kata Soesatyo.
Menurut dia, sebelum wafat, Harmoko tetap menunjukkan semangat luar biasa sebagai salah seorang tokoh di Partai Golkar. Harmoko rajin hadir di acara-acara besar Partai Golkar walaupun harus duduk di kursi roda.
Hal senada disampaikan Ketua Umum DPP Partai Golkar, Airlangga Hartarto, mengatakan, Harmoko adalah panutan bagi seluruh kader partai beringin. Dia juga mengenang kiprah Harmoko di balik gerakan Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan atau Kelompencapir pada era Orde Baru.
Menurut Airlangga --putra kader Golkar dan Menteri Koordinator bidang Produksi dan Distribusi pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) dan Menteri Koordinator Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara pada Kabinet Pembangunan VII (1998-1999), Hartarto Sastrosonarto-- ide itulah yang kini dilakukan di hampir seluruh institusi lewat peran kehumasan dan juru bicara pemerintah.
Ide Harmoko kala itu digunakan untuk menyampaikan informasi dan capaian kerja pemerintah kepada rakyat.
Harmoko juga melakukan Safari Ramadan ke daerah dan pedesaan. Dengan latar belakang wartawan, Harmoko disebutnya mampu berinteraksi dengan banyak kalangan. Pola komunikasi politik Harmoko dianggap begitu sederhana, sangat cair, dan tidak kaku, karena latar belakang dunia kewartawanannya.
Sosok Harmoko yang begitu erat dengan perjalanan panjang bangsa Indonesia dan berbagai tanda penghargaan resmi dari negara menjadikan dia layak mendiami tempat istirahat terakhir di Taman Makam Pahlawan Kalibata di Jakarta. Ucapan duka dari berbagai tokoh nasional hingga Presiden Joko Widodo, sebanding dengan jasa-jasanya untuk Negara kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai juru bicara, Harmoko dalam setiap kesempatan mengumumkan kebijakan resmi pemerintahan Soeharto, sering diisi dengan kalimatnya yang sangat terkenal: "Menurut petunjuk Bapak Presiden…”
Obituari - Harmoko Sang Juru Bicara
Arsip foto - Menteri Penerangan, Harmoko, memotret Menteri Koordinator bidang Polkam, Sudomo (kanan), sebelum Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekuin dilaksanakan, di Bina Graha, Jakarta Rabu (4/10/1989). ANTARA FOTO