Pekanbaru (ANTARA) - Bagi Herman (49) tiada kata menyerah, kendati sempat putus asa dan ingin balik ke kampung halaman Kota Medan, Sumatera Utara, karena berkebun sawit pada lahan seluas 2,5 hektare hanya mendapatkan pendapatan pas-pasan saja.
Awalnya itu, kata Herman mengenang lagi, tahun 2007 sempat putus asa dan istri mengajak terus untuk balik ke Medan, namun demikian saya bersikeras ingin berjuang lagi di Perawang ini. Ada simpanan istri berupa emas, saya bujuk dia untuk dijual dan dijadikan modal bertani," kata Herman yang memiliki empat anak laki-laki dan seorang perempuan itu.
Baginya, yang penting kumpul bersama isteri dan anak-anak, kendati tinggal di gubuk seluas 3x4 meter saja. Setiap saat saya berdoa semoga usaha baru ini bisa berkembang dan kembalikan emas istri.
Bertekad ingin mengembalikan modal dari pinjaman istrinya berupa emas itu, maka ketika itu pada lahan seluas awalnya 1 hektare di Kampung Sukajaya, Desa Pinang Sebatang Barat, Perawang, Kabupaten Siak, Riau dirinya pun membuka lahan pertanian menanam cabe, kacang panjang, melon, gambas, bayam dan pare.
Apa yang dilakoni oleh Herman tersebut adalah pertanian dengan pola agroforestry, yang merupakan suatu sistem pengelolaan lahan untuk mengatasi masalah ketersediaan lahan dan peningkatan produktivitas lahan. Selain itu, pola ini memastikan bahwa pengelolaan lahan tidak dengan dibakar.
Untuk membuka lahan perkebunan seluas 1 hektare itu, awalnya (ketika tidak ada larangan membakar lahan), Herman membuka lahan dengan cara membakar.
Namun, ia sadar bahwa yang dilakukan itu sangat merugikan karena kandungan hara tanah makin menipis dan justru banyak membutuhkan kompos. Selain itu putik bunga bisa rontok karena kabut asap akibat karhutla menghambar sinar matahari dan menggangu fotositensis tanaman.
"Tiba-tiba tim dari PT Arara Abadi datang dan menegur bahwa cara membakar lahan untuk membuka usaha perkebunan baru jelas salah," katanya.
Tapi, ia tidak punya modal untuk membuka areal seluas hektarean ini, dan justru perusahaan terkait menawarkan untuk membantu membuka lahan dengan menggunakan alat berat yakni escavator.
Selang beberapa bulan kemudian bantuan pelatihan diberikan melalui Program Kemitraan Desa Makmur Peduli Api(DMPA) PT Arara Abadi- APP (Asia Pulp & Paper) Region Riau.
Selain itu karena menyatakan tidak punya modal, dirinya justru mendapat bantuan beserta modal dalam bentuk sarana produksi pertanian, mulai dari bibit, pupuk, dan jika tidak ada parit untuk saluran air juga dibuatkan perusahaan, termasuk membangun embung untuk menjaga ketersedian air, perbaikan jalan yang rusak.
Beruntung, kelompoknya mendapat pelatihan tentang cara membuka lahan tanpa membakar, bertanam yang baik, hingga pemasaran produksi.
Pelatihan yang telah diterimanya itu tentu saja tidak disia-siakannya, dan dengan penuh semangat, Herman pun bangun setiap hari pukul 02.30 dini hari, sudah mulai menyibukkan diri dengan tanamannya hingga waktu subuh sholat berjamaah ke Masjid, dan pergi ke pasar untuk membeli keperluan bertani.
"Kalau ingin jadi petani harus ada kemauan, kesabaran, sering perhatikan tanaman dan tentu saja perlu keyakinan serta berdoa pada Yang Kuasa. Selain itu tidak lupa berzakat 2,5 persen dari penghasilan bertani itu, moga-moga ini jadi tabungan untuk akhirat nanti," katanya.
Ia mengaku dulunya hanya punya lahan seluas 2,5 hektare lahan sawit yang dibongkar untuk dijadikan areal pertanian, dan kini sudah mencapai 3 hektare dari tambahan lahan yang dibeli dari tetangga seluas 0,5 hektare lagi.
Kini, Herman bersyukur karena pendapatannya sudah mencapai Rp45 juta-60 juta per bulan, dengan dibantu lima pekerjanya dengan gaji dibayarkan sebesar Rp12,5 juta per bulan untuk lima orang. Biaya operasional bahan bakar minyak (BBM) dan lainnya maksimal Rp10 juta, maka sisanya sebesar Rp37,5 juta adalah pendapatan Herman.
"Saat ini saya sudah memiliki rumah bangunan rumah yang layak bahkan sudah pakai air conditioner (AC) pendingin ruangan. Rumah ini dibangun pada lahan seluas 7 x 16 meter persegi," katanya.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Laksmi Dhewanti mengatakan salah satu solusi dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Riau dengan memperkuat ekonomi masyarakat antara lain melalui program agroforestry seperti yang dilakukan petani Herman di Siak ini.
Agroforestry dapat dimaknai dengan penggabungan sistem budi daya kehutanan, pertanian, peternakan dan perikanan dengan tujuan meningkatkan pendapatan petani sedangkan aksi pencegahan ini bisa didorong di tingkat desa.
"Korporasi perusahaan perlu didorong untuk mengendalikan Karhutla dan kembangkan usaha perekonomian, sedangkan pemerintah dan perusahaan bisa memberikan dukungan dari sisi anggaran sekaligus cara pandang masyarakat tidak lagi membakar lahan harus terus didorong secara bersama-sama," katanya.
Selanjutnya Universits Muhammadyah Riau (UMRI) pun akan menyiapkan kajian ilmiah pengembangan usaha watani atau agroforestry milik petani di Perawang, Siak, yang membuka lahan perkebunan tanpa membakar itu.
Sebab wanatani atau agroforestry adalah suatu bentuk pengelolaan sumber daya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon dan kayu dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek, seperti tanaman pertanian.
"Kami siap melakukan kajian ilmiah, mendampingi petani bernama Herman yang membuat terobosan dengan membuka perkebunan tanpa membakar lahan. Sebagai petani, Herman dengan usaha wanatani bisa membantu masyarakat sekitar," kata Rektor Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI) Dr. Mubarak MSi.
Mubarak pun menyakini bahwa keberhasilan usaha pertanian pak Herman ini jika dikemas sedemikian rupa akan bisa dikembangkan menjadi desa wisata dengan objek wisata pertanian buah-buahan dan sayur-sayuran itu di Kabupaten Siak ini.
Dalam kondisi seperti ini, sinergi yang telah terjalin antar lembaga pemerintahan dan dunia kampus serta masyarakat diharapkan dapat mengangkat lebih tinggi peran agroforestry terhadap aspek biofisik dan lingkungan.
Sistem agroforesry juga dapat memberikan keuntungan terhadap pemeliharaan lingkungan, mulai dari kualitas dan kuantitas air bersih, mempertahankan hayati, dan menekan emisi karbon.
Meskipun masih banyak berbagai hambatan yang harus dilewati, namun yang tidak kalah penting adalah, bagaimana manfaat dari program ini dapat dinikmati masyarakat sekitar lokasi untuk meningkatkan perekonomian yang secara lambat laun juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Awalnya itu, kata Herman mengenang lagi, tahun 2007 sempat putus asa dan istri mengajak terus untuk balik ke Medan, namun demikian saya bersikeras ingin berjuang lagi di Perawang ini. Ada simpanan istri berupa emas, saya bujuk dia untuk dijual dan dijadikan modal bertani," kata Herman yang memiliki empat anak laki-laki dan seorang perempuan itu.
Baginya, yang penting kumpul bersama isteri dan anak-anak, kendati tinggal di gubuk seluas 3x4 meter saja. Setiap saat saya berdoa semoga usaha baru ini bisa berkembang dan kembalikan emas istri.
Bertekad ingin mengembalikan modal dari pinjaman istrinya berupa emas itu, maka ketika itu pada lahan seluas awalnya 1 hektare di Kampung Sukajaya, Desa Pinang Sebatang Barat, Perawang, Kabupaten Siak, Riau dirinya pun membuka lahan pertanian menanam cabe, kacang panjang, melon, gambas, bayam dan pare.
Apa yang dilakoni oleh Herman tersebut adalah pertanian dengan pola agroforestry, yang merupakan suatu sistem pengelolaan lahan untuk mengatasi masalah ketersediaan lahan dan peningkatan produktivitas lahan. Selain itu, pola ini memastikan bahwa pengelolaan lahan tidak dengan dibakar.
Untuk membuka lahan perkebunan seluas 1 hektare itu, awalnya (ketika tidak ada larangan membakar lahan), Herman membuka lahan dengan cara membakar.
Namun, ia sadar bahwa yang dilakukan itu sangat merugikan karena kandungan hara tanah makin menipis dan justru banyak membutuhkan kompos. Selain itu putik bunga bisa rontok karena kabut asap akibat karhutla menghambar sinar matahari dan menggangu fotositensis tanaman.
"Tiba-tiba tim dari PT Arara Abadi datang dan menegur bahwa cara membakar lahan untuk membuka usaha perkebunan baru jelas salah," katanya.
Tapi, ia tidak punya modal untuk membuka areal seluas hektarean ini, dan justru perusahaan terkait menawarkan untuk membantu membuka lahan dengan menggunakan alat berat yakni escavator.
Selang beberapa bulan kemudian bantuan pelatihan diberikan melalui Program Kemitraan Desa Makmur Peduli Api(DMPA) PT Arara Abadi- APP (Asia Pulp & Paper) Region Riau.
Selain itu karena menyatakan tidak punya modal, dirinya justru mendapat bantuan beserta modal dalam bentuk sarana produksi pertanian, mulai dari bibit, pupuk, dan jika tidak ada parit untuk saluran air juga dibuatkan perusahaan, termasuk membangun embung untuk menjaga ketersedian air, perbaikan jalan yang rusak.
Beruntung, kelompoknya mendapat pelatihan tentang cara membuka lahan tanpa membakar, bertanam yang baik, hingga pemasaran produksi.
Pelatihan yang telah diterimanya itu tentu saja tidak disia-siakannya, dan dengan penuh semangat, Herman pun bangun setiap hari pukul 02.30 dini hari, sudah mulai menyibukkan diri dengan tanamannya hingga waktu subuh sholat berjamaah ke Masjid, dan pergi ke pasar untuk membeli keperluan bertani.
"Kalau ingin jadi petani harus ada kemauan, kesabaran, sering perhatikan tanaman dan tentu saja perlu keyakinan serta berdoa pada Yang Kuasa. Selain itu tidak lupa berzakat 2,5 persen dari penghasilan bertani itu, moga-moga ini jadi tabungan untuk akhirat nanti," katanya.
Ia mengaku dulunya hanya punya lahan seluas 2,5 hektare lahan sawit yang dibongkar untuk dijadikan areal pertanian, dan kini sudah mencapai 3 hektare dari tambahan lahan yang dibeli dari tetangga seluas 0,5 hektare lagi.
Kini, Herman bersyukur karena pendapatannya sudah mencapai Rp45 juta-60 juta per bulan, dengan dibantu lima pekerjanya dengan gaji dibayarkan sebesar Rp12,5 juta per bulan untuk lima orang. Biaya operasional bahan bakar minyak (BBM) dan lainnya maksimal Rp10 juta, maka sisanya sebesar Rp37,5 juta adalah pendapatan Herman.
"Saat ini saya sudah memiliki rumah bangunan rumah yang layak bahkan sudah pakai air conditioner (AC) pendingin ruangan. Rumah ini dibangun pada lahan seluas 7 x 16 meter persegi," katanya.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Laksmi Dhewanti mengatakan salah satu solusi dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Riau dengan memperkuat ekonomi masyarakat antara lain melalui program agroforestry seperti yang dilakukan petani Herman di Siak ini.
Agroforestry dapat dimaknai dengan penggabungan sistem budi daya kehutanan, pertanian, peternakan dan perikanan dengan tujuan meningkatkan pendapatan petani sedangkan aksi pencegahan ini bisa didorong di tingkat desa.
"Korporasi perusahaan perlu didorong untuk mengendalikan Karhutla dan kembangkan usaha perekonomian, sedangkan pemerintah dan perusahaan bisa memberikan dukungan dari sisi anggaran sekaligus cara pandang masyarakat tidak lagi membakar lahan harus terus didorong secara bersama-sama," katanya.
Selanjutnya Universits Muhammadyah Riau (UMRI) pun akan menyiapkan kajian ilmiah pengembangan usaha watani atau agroforestry milik petani di Perawang, Siak, yang membuka lahan perkebunan tanpa membakar itu.
Sebab wanatani atau agroforestry adalah suatu bentuk pengelolaan sumber daya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon dan kayu dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek, seperti tanaman pertanian.
"Kami siap melakukan kajian ilmiah, mendampingi petani bernama Herman yang membuat terobosan dengan membuka perkebunan tanpa membakar lahan. Sebagai petani, Herman dengan usaha wanatani bisa membantu masyarakat sekitar," kata Rektor Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI) Dr. Mubarak MSi.
Mubarak pun menyakini bahwa keberhasilan usaha pertanian pak Herman ini jika dikemas sedemikian rupa akan bisa dikembangkan menjadi desa wisata dengan objek wisata pertanian buah-buahan dan sayur-sayuran itu di Kabupaten Siak ini.
Dalam kondisi seperti ini, sinergi yang telah terjalin antar lembaga pemerintahan dan dunia kampus serta masyarakat diharapkan dapat mengangkat lebih tinggi peran agroforestry terhadap aspek biofisik dan lingkungan.
Sistem agroforesry juga dapat memberikan keuntungan terhadap pemeliharaan lingkungan, mulai dari kualitas dan kuantitas air bersih, mempertahankan hayati, dan menekan emisi karbon.
Meskipun masih banyak berbagai hambatan yang harus dilewati, namun yang tidak kalah penting adalah, bagaimana manfaat dari program ini dapat dinikmati masyarakat sekitar lokasi untuk meningkatkan perekonomian yang secara lambat laun juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat.