Luwuk Banggai (ANTARA) - Yusran, mungkin bukan nama yang familiar dalam keseharian kita. Namun, apa yang dilakukan pria asal Desa Bukit Jaya, Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, terkait pelestarian satwa endemik maleo, patut diapresiasi.
Yusran saat ditemui di bawah pohon kemiri di kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang, beberapa waktu lalu, mengisahkan dirinya dalam upaya menyelamatkan burung Maleo dari kepunahan..
Lelahnya Yusran dalam berjalan kaki sekitar 3 kilometer hilang setelah melihat beberapa anakan Maleo dilepasliarkan di Suaka Margasatwa Bakiriang pada Kamis siang, 9 Juni 2022.
Hari itu, Yusran dan komunitasnya yang bernama Jaya Lestari, turut serta dalam pelepasliaran anakan burung Maleo di Suaka Margasatwa Bakiriang yang dilaksanakan oleh PT Donggi Senoro Liquefied Natural Gas (DSLNG).
“Dari kami katanya ada 3 ekor yang ikut dilepas hari ini di Bakiriang,” kata Yusran yang berusia setengah abad itu.
Selama beberapa tahun terakhir komunitas Jaya Lestari memang konsisten untuk ikut berpartisipasi melestarikan burung Maleo (Macrocephalon Maleo) di Desa Bukit Jaya secara swadaya menggunakan fasilitas sederhana.
Kegiatan itu bermula ketika Yusran mendengar cerita bahwa telur Maleo diperjualbelikan di beberapa warung kelontong warga di Kecamatan Toili. Ia pun langsung melakukan pengecekan dan ternyata informasi itu benar.
“Ketua Lembaga Adat bilang dijual digantung begitu. Awalnya mereka tidak mengaku, tapi kemudian saya tanya katanya dari Bukit Jaya,” ujarnya.
Setelah itu, Yusran kembali menghadap Ketua Lembaga Adat. Lalu ia diminta untuk merangkul beberapa orang untuk ikut melakukan konservasi dan berkoordinasi dengan pemerintah Desa Bukit Jaya.
“Setelah itu kita dapat legalitas dan rekomendasi untuk melakukan aktivitas kita tahun 2017,” tuturnya.
Yusran dan kawan-kawan komunitas Jaya Lestari pun bergerak menyisir sungai di Desa Bukit Jaya karena menurut informasi banyak Maleo terdapat di area itu.
Upaya itu pun mulai membuahkan hasil. Hingga saat ini sudah 27 ekor anakan burung maleo yang dilepasliarkan dari hasil konservasi secara mandiri itu.
“Sebenarnya ada banyak yang menetas, tapi lain tidak berhasil hanya 27 ekor itu sejak tahun 2017,” papar Yusran.
Jaya Lestari bersama-sama dengan DSLNG dalam upaya pelestarian burung Maleo setelah mendapat arahan dari BKSDA Sulawesi Tengah melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Bakiriang.
Telur yang didapatkan oleh Komunitas Jaya Lestari diberikan kepada PT DSLNG untuk penetasan di Maleo Centre, fasilitas konservasi ex situ yang dibangun pada tahun 2013.
Saat ini total anggota Komunitas Jaya Lestari telah berjumlah 36 orang, yang terdiri dari warga Desa Bukit Jaya hingga kepala dusun. Mereka terus berkoordinasi dengan pihak PT DSLNG untuk menyelamatkan Maleo yang terancam punah ini.
“Kami juga melibatkan Babinsa dan Babinkamtibmas dalam upaya pelestarian Maleo ini,” tuturnya.*
Yusran saat ditemui di bawah pohon kemiri di kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang, beberapa waktu lalu, mengisahkan dirinya dalam upaya menyelamatkan burung Maleo dari kepunahan..
Lelahnya Yusran dalam berjalan kaki sekitar 3 kilometer hilang setelah melihat beberapa anakan Maleo dilepasliarkan di Suaka Margasatwa Bakiriang pada Kamis siang, 9 Juni 2022.
Hari itu, Yusran dan komunitasnya yang bernama Jaya Lestari, turut serta dalam pelepasliaran anakan burung Maleo di Suaka Margasatwa Bakiriang yang dilaksanakan oleh PT Donggi Senoro Liquefied Natural Gas (DSLNG).
“Dari kami katanya ada 3 ekor yang ikut dilepas hari ini di Bakiriang,” kata Yusran yang berusia setengah abad itu.
Selama beberapa tahun terakhir komunitas Jaya Lestari memang konsisten untuk ikut berpartisipasi melestarikan burung Maleo (Macrocephalon Maleo) di Desa Bukit Jaya secara swadaya menggunakan fasilitas sederhana.
Kegiatan itu bermula ketika Yusran mendengar cerita bahwa telur Maleo diperjualbelikan di beberapa warung kelontong warga di Kecamatan Toili. Ia pun langsung melakukan pengecekan dan ternyata informasi itu benar.
“Ketua Lembaga Adat bilang dijual digantung begitu. Awalnya mereka tidak mengaku, tapi kemudian saya tanya katanya dari Bukit Jaya,” ujarnya.
Setelah itu, Yusran kembali menghadap Ketua Lembaga Adat. Lalu ia diminta untuk merangkul beberapa orang untuk ikut melakukan konservasi dan berkoordinasi dengan pemerintah Desa Bukit Jaya.
“Setelah itu kita dapat legalitas dan rekomendasi untuk melakukan aktivitas kita tahun 2017,” tuturnya.
Yusran dan kawan-kawan komunitas Jaya Lestari pun bergerak menyisir sungai di Desa Bukit Jaya karena menurut informasi banyak Maleo terdapat di area itu.
Upaya itu pun mulai membuahkan hasil. Hingga saat ini sudah 27 ekor anakan burung maleo yang dilepasliarkan dari hasil konservasi secara mandiri itu.
“Sebenarnya ada banyak yang menetas, tapi lain tidak berhasil hanya 27 ekor itu sejak tahun 2017,” papar Yusran.
Jaya Lestari bersama-sama dengan DSLNG dalam upaya pelestarian burung Maleo setelah mendapat arahan dari BKSDA Sulawesi Tengah melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Bakiriang.
Telur yang didapatkan oleh Komunitas Jaya Lestari diberikan kepada PT DSLNG untuk penetasan di Maleo Centre, fasilitas konservasi ex situ yang dibangun pada tahun 2013.
Saat ini total anggota Komunitas Jaya Lestari telah berjumlah 36 orang, yang terdiri dari warga Desa Bukit Jaya hingga kepala dusun. Mereka terus berkoordinasi dengan pihak PT DSLNG untuk menyelamatkan Maleo yang terancam punah ini.
“Kami juga melibatkan Babinsa dan Babinkamtibmas dalam upaya pelestarian Maleo ini,” tuturnya.*