Sigi, Sulawesi Tengah (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menyatakan stunting atau kekerdilan terjadi juga karena dipengaruhi oleh faktor rendahnya pendidikan/pengetahuan masyarakat, serta minimnya pengetahuan pola asuh anak.
"Permasalahan stunting ini bersifat multidimensial, artinya bukan sebatas perihal kurang makan atau kurang gizi, namun banyak determinan faktor seperti kemiskinan, pendidikan, akses terhadap pangan, pola asuh, bahkan sanitasi termasuk air bersih," ucap Wakil Bupati Sigi Samuel Yansen Pongi, di Sigi, Rabu, terkait review kinerja aksi konvergensi percepatan penurunan stunting Kabupaten Sigi Tahun 2022.
Prevalensi stunting di Kabupaten Sigi berdasarkan survei Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (PPGBM) bahwa tahun 2019 kasus stunting 20,2 persen, tahun 2020, sebesar 16,5 persen, 2021 sebanyak 14,4 persen.
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak usia di bawah lima tahun, salah satu faktor penyebabnya akibat kekurangan gizi kronis terutama dalam 1.000 hari pertama kelahiran.
Pemerintah Kabupaten Sigi, kata Samuel telah membentuk lokasi fokus meliputi 25 desa sebagai lokus penanganan stunting di sembilan kecamatan meliputi Kecamatan Sigi Biromaru, Nokilalaki, Palolo, Dolo Selatan, Marawola Barat, Kulawi, Gumbasa, Dolo Selatan dan Dolo.
Untuk mengoptimalkan penanganan dan pencegahan stunting, Samuel mengatakan seluruh organisasi perangkat daerah, pemerintah kecamatan dan pemerintah desa, dibantu oleh badan usaha dan media/pers, serta masyarakat harus bekerja sama.
Dalam penanganan dan pencegahan, kata dia, harus memperluas intervensi melalui kegiatan yang tidak hanya terfokus pada pemenuhan gizi semata.
"Melainkan pemenuhan akses pendidikan, pelayanan kesehatan, pembinaan masyarakat khususnya ibu hamil terkait dengan peningkatan kapasitas menyangkut pola asuh, pembangunan sanitas yang baik dan berkualitas, serta penyediaan air bersih, termasuk menyediakan akses untuk warga terkait dengan pangan berkualitas," ungkapnya.
Oleh karena itu, ujar dia, review kinerja aksi percepatan penurunan stunting harus menjadi evaluasi terkait dengan kegiatan penanganan dan pencegahan.
"Kita perlu mengetahui di mana letak kendala penanganan stunting dan pencegahannya, serta seperti apa capaiannya," ungkap dia.*
"Permasalahan stunting ini bersifat multidimensial, artinya bukan sebatas perihal kurang makan atau kurang gizi, namun banyak determinan faktor seperti kemiskinan, pendidikan, akses terhadap pangan, pola asuh, bahkan sanitasi termasuk air bersih," ucap Wakil Bupati Sigi Samuel Yansen Pongi, di Sigi, Rabu, terkait review kinerja aksi konvergensi percepatan penurunan stunting Kabupaten Sigi Tahun 2022.
Prevalensi stunting di Kabupaten Sigi berdasarkan survei Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (PPGBM) bahwa tahun 2019 kasus stunting 20,2 persen, tahun 2020, sebesar 16,5 persen, 2021 sebanyak 14,4 persen.
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak usia di bawah lima tahun, salah satu faktor penyebabnya akibat kekurangan gizi kronis terutama dalam 1.000 hari pertama kelahiran.
Pemerintah Kabupaten Sigi, kata Samuel telah membentuk lokasi fokus meliputi 25 desa sebagai lokus penanganan stunting di sembilan kecamatan meliputi Kecamatan Sigi Biromaru, Nokilalaki, Palolo, Dolo Selatan, Marawola Barat, Kulawi, Gumbasa, Dolo Selatan dan Dolo.
Untuk mengoptimalkan penanganan dan pencegahan stunting, Samuel mengatakan seluruh organisasi perangkat daerah, pemerintah kecamatan dan pemerintah desa, dibantu oleh badan usaha dan media/pers, serta masyarakat harus bekerja sama.
Dalam penanganan dan pencegahan, kata dia, harus memperluas intervensi melalui kegiatan yang tidak hanya terfokus pada pemenuhan gizi semata.
"Melainkan pemenuhan akses pendidikan, pelayanan kesehatan, pembinaan masyarakat khususnya ibu hamil terkait dengan peningkatan kapasitas menyangkut pola asuh, pembangunan sanitas yang baik dan berkualitas, serta penyediaan air bersih, termasuk menyediakan akses untuk warga terkait dengan pangan berkualitas," ungkapnya.
Oleh karena itu, ujar dia, review kinerja aksi percepatan penurunan stunting harus menjadi evaluasi terkait dengan kegiatan penanganan dan pencegahan.
"Kita perlu mengetahui di mana letak kendala penanganan stunting dan pencegahannya, serta seperti apa capaiannya," ungkap dia.*