Jakarta (ANTARA) - Pengamat Budaya dan Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan menyatakan, hingga saat ini peran pers tidak bisa digantikan oleh teknologi kecerdasan buatan seperti ChatGPT.
"Keberadaan pers masih sangat penting. Touching atau keterhubungan antar manusia ini tidak bisa digantikan oleh mesin, meskipun mesinnya canggih," ujar Firman kepada ANTARA, Rabu.
ChatGPT adalah perangkat lunak berbasis kecerdasan buatan yang bisa menjawab pertanyaan apapun dengan cara yang mendekati manusia. Selain menjawab, ChatGPT juga bisa membuat tulisan yang panjang, bahkan esai, puisi dan lelucon.
Menurut Firman, kehadiran teknologi berbasis kecerdasan buatan seperti ChatGPT menjadi tantangan yang cukup berat bagi berbagai bidang pekerjaan, termasuk jurnalis.
Kemampuan ChatGPT yang bisa membuat tulisan panjang seperti artikel, bukan tidak mungkin akan menggantikan peran insan pers di masa mendatang.
Namun demikian, Firman menilai masih ada hal-hal mendasar yang tidak bisa dilakukan oleh teknologi seperti ChatGPT untuk menggantikan peran manusia dalam melakukan pekerjaan, termasuk membuat karya jurnalistik.
"Ini memang menjadi tantangan berat, tapi yang tidak bisa disaingi oleh perangkat-perangkat kecerdasan buatan ini adalah soal kemauan, soal kesadaran, dia tidak bisa mempunyai prakarsa sendiri," ujar Firman.
"Kita harus yakin ChatGPT ini kan tidak punya kemauan, tidak punya free will. Jadi dia menjawab atau dia menyusun sesuatu itu berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan," tambah dia.
Sementara manusia memiliki rasa, kemauan, maupun kreativitas dalam menjalankan pekerjaan mereka. Dalam konteks jurnalistik, insan pers memiliki keterhubungan langsung yang lebih dekat dengan narasumber atau objek informasi. Hal itu tidak dimiliki oleh teknologi seperti ChatGPT.
"Dengan keyakinan bahwa (ChatGPT) ini adalah substansi yang tidak mempunyai kehendak bebas, tidak mempunyai kemauan sendiri, nah sehingga kita bisa masuk ke celah tersebut, para jurnalis ini dengan lebih dekat, dengan lebih mendalam melihat sumber informasinya. Jadi tidak terjebak hanya pada kriteria dan indikator," kata dia.
Lebih lanjut Firman mengatakan keberadaan teknologi seperti ChatGPT harus disikapi secara bijak. Menurut dia, memerangi kemajuan teknologi sama seperti menghadapi sebuah perang yang tidak akan pernah bisa dimenangkan.
Untuk itu, dia menyarankan agar pers memanfaatkan teknologi berbasis kecerdasan buatan seperti ChatGPT untuk menyempurnakan kerja-kerja jurnalistik mereka.
"Jadi kita tidak memerangi kecerdasan buatan, tetapi itu bisa digunakan untuk memanfaatkan, menaikkan kualitas produk jurnalistik kita," kata Firman menegaskan.
"Keberadaan pers masih sangat penting. Touching atau keterhubungan antar manusia ini tidak bisa digantikan oleh mesin, meskipun mesinnya canggih," ujar Firman kepada ANTARA, Rabu.
ChatGPT adalah perangkat lunak berbasis kecerdasan buatan yang bisa menjawab pertanyaan apapun dengan cara yang mendekati manusia. Selain menjawab, ChatGPT juga bisa membuat tulisan yang panjang, bahkan esai, puisi dan lelucon.
Menurut Firman, kehadiran teknologi berbasis kecerdasan buatan seperti ChatGPT menjadi tantangan yang cukup berat bagi berbagai bidang pekerjaan, termasuk jurnalis.
Kemampuan ChatGPT yang bisa membuat tulisan panjang seperti artikel, bukan tidak mungkin akan menggantikan peran insan pers di masa mendatang.
Namun demikian, Firman menilai masih ada hal-hal mendasar yang tidak bisa dilakukan oleh teknologi seperti ChatGPT untuk menggantikan peran manusia dalam melakukan pekerjaan, termasuk membuat karya jurnalistik.
"Ini memang menjadi tantangan berat, tapi yang tidak bisa disaingi oleh perangkat-perangkat kecerdasan buatan ini adalah soal kemauan, soal kesadaran, dia tidak bisa mempunyai prakarsa sendiri," ujar Firman.
"Kita harus yakin ChatGPT ini kan tidak punya kemauan, tidak punya free will. Jadi dia menjawab atau dia menyusun sesuatu itu berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan," tambah dia.
Sementara manusia memiliki rasa, kemauan, maupun kreativitas dalam menjalankan pekerjaan mereka. Dalam konteks jurnalistik, insan pers memiliki keterhubungan langsung yang lebih dekat dengan narasumber atau objek informasi. Hal itu tidak dimiliki oleh teknologi seperti ChatGPT.
"Dengan keyakinan bahwa (ChatGPT) ini adalah substansi yang tidak mempunyai kehendak bebas, tidak mempunyai kemauan sendiri, nah sehingga kita bisa masuk ke celah tersebut, para jurnalis ini dengan lebih dekat, dengan lebih mendalam melihat sumber informasinya. Jadi tidak terjebak hanya pada kriteria dan indikator," kata dia.
Lebih lanjut Firman mengatakan keberadaan teknologi seperti ChatGPT harus disikapi secara bijak. Menurut dia, memerangi kemajuan teknologi sama seperti menghadapi sebuah perang yang tidak akan pernah bisa dimenangkan.
Untuk itu, dia menyarankan agar pers memanfaatkan teknologi berbasis kecerdasan buatan seperti ChatGPT untuk menyempurnakan kerja-kerja jurnalistik mereka.
"Jadi kita tidak memerangi kecerdasan buatan, tetapi itu bisa digunakan untuk memanfaatkan, menaikkan kualitas produk jurnalistik kita," kata Firman menegaskan.