Jakarta (ANTARA) -
"Informasi yang kami peroleh, saksi telah hadir di PN Tipikor Bandung dan akan memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan dimaksud," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangan diterima di Jakarta, Jumat.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM periode 2009-2014 itu telah dimintai keterangannya sebagai saksi pada Rabu (4/1). Saat itu, KPK mengonfirmasi Syarief perihal alokasi penyaluran dana dari Kemenkop UKM kepada LPDB-KUMKM di Provinsi Jawa Barat (Jabar).
Adapun terdakwa dalam kasus ini, yaitu Direktur Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (LPDB-KUMKM) 2010-2017 Kemas Danial (KD), Ketua Pengawas Koperasi Pedagang Kaki Lima Panca Bhakti (Kopanti) Jabar Dodi Kurniadi (DK), Sekretaris II Kopanti Jabar Deden Wahyudi (DW), dan Direktur PT Pancamulti Niagapratama (PN) Stevanus Kusnadi (SK).
Lebih jauh, KPK dalam konstruksi perkara menjelaskan pada 2012, SK selaku Direktur PT PN menemui KD dengan maksud menawarkan bangunan Mal Bandung Timur Plaza (BTP) yang kondisi bangunannya belum selesai seratus persen.
Tawaran SK itu di antaranya adalah agar KD dapat membantu dan memfasilitasi pemberian pinjaman dana dari LPDB-KUMKM.
KD menyetujui penawaran tersebut dan merekomendasikan SK untuk segera menemui Andra A. Ludin selaku Ketua Pusat Kopanti Jabar agar bisa mengkondisikan teknis pengajuan pinjaman dana bergulir melalui permohonan ke Kopanti Jabar.
Sesuai arahan KD, selanjutnya Andra A. Ludin meminta DK mengajukan permohonan pinjaman sebesar Rp90 miliar ke LPDB yang digunakan untuk pembelian kios di Mall BTP seluas 6.000 meter persegi yang akan diberikan pada 1.000 orang pelaku UMKM.
KPK mengungkapkan data pelaku UMKM yang dilampirkan tidak mencapai 1.000 orang dan diduga fiktif, namun tetap dipaksakan agar dana bergulir tersebut bisa segera dicairkan melalui pembukaan rekening bank yang dikoordinir oleh DW.
Agar penyaluran dana bergulir segera terealisasi, KD kemudian membuat surat perjanjian kerja sama dengan Kopanti Jabar tanpa mengikuti dan mempedomani analisa bisnis dan manajemen risiko.
Untuk periode 2012-2013, KPK menyebut telah disalurkan pinjaman dana bergulir kepada 506 pelaku UMKM binaan Kopanti Jabar sebesar Rp116,8 miliar dengan jangka waktu pengembalian selama 8 tahun.
Uang sebesar Rp116,8 miliar tersebut seluruhnya kemudian di-"autodebet" melalui rekening bank milik Kopanti Jabar dan selanjutnya dibayarkan ke rekening Bank PTPN milik SK sebesar Rp98,7 miliar.
KPK mengungkapkan, dikarenakan pengembalian pinjaman yang dapat dilakukan SK hanya sebesar Rp3,3 miliar dan masuk kategori macet, sehingga KD mengeluarkan kebijakan untuk mengubah masa waktu pengembalian menjadi 15 tahun.
KPK menduga KD selanjutnya menerima uang sekitar Rp13,8 miliar dan fasilitas kios usaha ayam goreng di Mal BTP dari SK. Sedangkan DK dan DW diduga turut menikmati dan mendapatkan fasilitas antara lain berupa mobil dan rumah dari Kopanti Jabar.
Atas perbuatan itu diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar sejumlah Rp116,8 miliar.
Tim Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan eks Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Syarief Hasan sebagai saksi dalam persidangan kasus dugaan korupsi penyaluran dana bergulir oleh LPDB-KUMKM tahun 2012-2013.
"Informasi yang kami peroleh, saksi telah hadir di PN Tipikor Bandung dan akan memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan dimaksud," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangan diterima di Jakarta, Jumat.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM periode 2009-2014 itu telah dimintai keterangannya sebagai saksi pada Rabu (4/1). Saat itu, KPK mengonfirmasi Syarief perihal alokasi penyaluran dana dari Kemenkop UKM kepada LPDB-KUMKM di Provinsi Jawa Barat (Jabar).
Adapun terdakwa dalam kasus ini, yaitu Direktur Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (LPDB-KUMKM) 2010-2017 Kemas Danial (KD), Ketua Pengawas Koperasi Pedagang Kaki Lima Panca Bhakti (Kopanti) Jabar Dodi Kurniadi (DK), Sekretaris II Kopanti Jabar Deden Wahyudi (DW), dan Direktur PT Pancamulti Niagapratama (PN) Stevanus Kusnadi (SK).
Lebih jauh, KPK dalam konstruksi perkara menjelaskan pada 2012, SK selaku Direktur PT PN menemui KD dengan maksud menawarkan bangunan Mal Bandung Timur Plaza (BTP) yang kondisi bangunannya belum selesai seratus persen.
Tawaran SK itu di antaranya adalah agar KD dapat membantu dan memfasilitasi pemberian pinjaman dana dari LPDB-KUMKM.
KD menyetujui penawaran tersebut dan merekomendasikan SK untuk segera menemui Andra A. Ludin selaku Ketua Pusat Kopanti Jabar agar bisa mengkondisikan teknis pengajuan pinjaman dana bergulir melalui permohonan ke Kopanti Jabar.
Sesuai arahan KD, selanjutnya Andra A. Ludin meminta DK mengajukan permohonan pinjaman sebesar Rp90 miliar ke LPDB yang digunakan untuk pembelian kios di Mall BTP seluas 6.000 meter persegi yang akan diberikan pada 1.000 orang pelaku UMKM.
KPK mengungkapkan data pelaku UMKM yang dilampirkan tidak mencapai 1.000 orang dan diduga fiktif, namun tetap dipaksakan agar dana bergulir tersebut bisa segera dicairkan melalui pembukaan rekening bank yang dikoordinir oleh DW.
Agar penyaluran dana bergulir segera terealisasi, KD kemudian membuat surat perjanjian kerja sama dengan Kopanti Jabar tanpa mengikuti dan mempedomani analisa bisnis dan manajemen risiko.
Untuk periode 2012-2013, KPK menyebut telah disalurkan pinjaman dana bergulir kepada 506 pelaku UMKM binaan Kopanti Jabar sebesar Rp116,8 miliar dengan jangka waktu pengembalian selama 8 tahun.
Uang sebesar Rp116,8 miliar tersebut seluruhnya kemudian di-"autodebet" melalui rekening bank milik Kopanti Jabar dan selanjutnya dibayarkan ke rekening Bank PTPN milik SK sebesar Rp98,7 miliar.
KPK mengungkapkan, dikarenakan pengembalian pinjaman yang dapat dilakukan SK hanya sebesar Rp3,3 miliar dan masuk kategori macet, sehingga KD mengeluarkan kebijakan untuk mengubah masa waktu pengembalian menjadi 15 tahun.
KPK menduga KD selanjutnya menerima uang sekitar Rp13,8 miliar dan fasilitas kios usaha ayam goreng di Mal BTP dari SK. Sedangkan DK dan DW diduga turut menikmati dan mendapatkan fasilitas antara lain berupa mobil dan rumah dari Kopanti Jabar.
Atas perbuatan itu diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar sejumlah Rp116,8 miliar.