Manggarai Barat (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjamin bakal ada studi ekologi untuk proyek pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) di pesisir utara Pulau Jawa.
Dia mencontohkan pembangunan giant sea wall di pesisir utara Jakarta dan Semarang, Jawa Tengah, pun juga mengantongi studi ekologi sebelum tanggul mulai dibangun.
“Giant sea wall itu sudah dilaksanakan secara bertahap, jadi di Semarang, kita bangun jalan tol Semarang-Demak, dan dalam pembangunannya sudah ada studi ekologi. Jadi, tentu masalah lingkungan sudah diperhatikan,” kata Airlangga menjawab pertanyaan wartawan pada sela-sela kegiatannya di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Senin.
Pembangunan tanggul laut raksasa di Semarang terintegrasi dengan pembangunan jalan tol Semarang-Demak, yang merupakan proyek strategis nasional (PSN).
Terkait rencana membangun tanggul laut raksasa di pesisir utara Jawa, Airlangga menilai perlunya ada pembangunan yang terintegrasi karena daerah pesisir yang terancam tenggelam bukan hanya di Jakarta dan Semarang, melainkan juga daerah-daerah lain di utara Pulau Jawa, misalnya Demak, Pekalongan.
“Kami mau mengintegrasikan sari barat ke tengah sehingga tentu ini akan memerlukan kerja sama seluruh pihak, (antara lain) Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian ATR/BPN, kemudian pemerintah daerah,” kata Airlangga.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada minggu lalu menggelar seminar nasional yang mengangkat isu tanggul laut raksasa. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ikut hadir sebagai pembicara kunci dalam seminar itu selain Airlangga.
Prabowo menilai pembangunan tanggul laut raksasa di pesisir utara Pulau Jawa kemungkinan baru rampung 40 tahun mendatang dan menelan anggaran hingga puluhan miliar dolar AS.
Terkait itu, beberapa organisasi lingkungan misalnya Walhi mengkritik rencana pembangunan tanggul laut raksasa. Walhi menilai pembangunan itu mengancam ekosistem hutan bakau (mangrove) yang saat ini luasnya semakin menurun padahal ekosistem bakau punya peran penting salah satunya untuk menahan abrasi. Kemudian, beberapa aktivis juga menilai pembangunan tanggul laut dapat menyulitkan aktivitas nelayan.
Airlangga, terhadap kritik-kritik itu, menjamin tidak ada hutan bakau yang rusak dan aktivitas nelayan yang terganggu karena pembangunan tanggul laut raksasa.
“Giant sea wall itu ada pintu-pintu airnya sehingga tidak mengganggu ekosistem, baik itu pohon bakau atau pun untuk perikanan,” kata Menko Airlangga Hartarto.
Dia mencontohkan pembangunan giant sea wall di pesisir utara Jakarta dan Semarang, Jawa Tengah, pun juga mengantongi studi ekologi sebelum tanggul mulai dibangun.
“Giant sea wall itu sudah dilaksanakan secara bertahap, jadi di Semarang, kita bangun jalan tol Semarang-Demak, dan dalam pembangunannya sudah ada studi ekologi. Jadi, tentu masalah lingkungan sudah diperhatikan,” kata Airlangga menjawab pertanyaan wartawan pada sela-sela kegiatannya di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Senin.
Pembangunan tanggul laut raksasa di Semarang terintegrasi dengan pembangunan jalan tol Semarang-Demak, yang merupakan proyek strategis nasional (PSN).
Terkait rencana membangun tanggul laut raksasa di pesisir utara Jawa, Airlangga menilai perlunya ada pembangunan yang terintegrasi karena daerah pesisir yang terancam tenggelam bukan hanya di Jakarta dan Semarang, melainkan juga daerah-daerah lain di utara Pulau Jawa, misalnya Demak, Pekalongan.
“Kami mau mengintegrasikan sari barat ke tengah sehingga tentu ini akan memerlukan kerja sama seluruh pihak, (antara lain) Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian ATR/BPN, kemudian pemerintah daerah,” kata Airlangga.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada minggu lalu menggelar seminar nasional yang mengangkat isu tanggul laut raksasa. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ikut hadir sebagai pembicara kunci dalam seminar itu selain Airlangga.
Prabowo menilai pembangunan tanggul laut raksasa di pesisir utara Pulau Jawa kemungkinan baru rampung 40 tahun mendatang dan menelan anggaran hingga puluhan miliar dolar AS.
Terkait itu, beberapa organisasi lingkungan misalnya Walhi mengkritik rencana pembangunan tanggul laut raksasa. Walhi menilai pembangunan itu mengancam ekosistem hutan bakau (mangrove) yang saat ini luasnya semakin menurun padahal ekosistem bakau punya peran penting salah satunya untuk menahan abrasi. Kemudian, beberapa aktivis juga menilai pembangunan tanggul laut dapat menyulitkan aktivitas nelayan.
Airlangga, terhadap kritik-kritik itu, menjamin tidak ada hutan bakau yang rusak dan aktivitas nelayan yang terganggu karena pembangunan tanggul laut raksasa.
“Giant sea wall itu ada pintu-pintu airnya sehingga tidak mengganggu ekosistem, baik itu pohon bakau atau pun untuk perikanan,” kata Menko Airlangga Hartarto.