Jakarta (ANTARA) -
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf menilai kebijakan "cleansing" guru honorer, seperti yang terjadi di DKI Jakarta, dapat menyebabkan terjadinya persoalan kekurangan guru di sekolah-sekolah.
“Kebijakan cleansing guru honorer bisa menyebabkan kekurangan guru di sekolah yang pada akhirnya mengganggu proses belajar mengajar," kata Dede dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Pada akhirnya, kata dia melanjutkan, peserta didik menjadi pihak yang dirugikan, terutama di saat mereka baru memasuki tahun ajaran baru sekolah seperti sekarang.
Dede pun menyoroti penggunaan kata "cleansing" untuk kebijakan penataan guru honorer itu. Menurut dia, kebijakan yang dinamai "cleansing" terhadap para guru honorer di DKI Jakarta tersebut kurang humanis.
"Cleansing itu kata yang terlalu sadis, cleansing itu kan pembersihan atau seperti membasmi. Itu tidak boleh," ucap dia.
Sebelumnya, Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta telah menyatakan bahwa kebijakan "cleansing" terhadap setidaknya 107 guru honorer dilakukan sebagai Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan (TLHP) BPK. Temuan BPK menyebut bahwa peta kebutuhan guru honorer tidak sesuai dengan Permendikbud serta ketentuan sebagai penerima honor.
Adapun para guru honorer ini digaji dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Disdik DKI juga menyampaikan pihak sekolah mengangkat guru honorer tanpa rekomendasi dari Disdik sehingga melanggar aturan.
Mengenai hal tersebut, Dede meminta agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai mitra Komisi X DPR agar menjadi fasilitator terhadap pihak-pihak terkait.
“Kemendikbudristek harus segera mengklarifikasi dengan Dinas Pendidikan Jakarta. Dari informasi yang saya terima, ini adalah Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK,” ucapnya.
Dede juga meminta pihak-pihak terkait agar segera duduk bersama untuk mencari solusi bagi nasib guru honorer yang mengalami "cleansing", termasuk pemda dan BPK.
Dede mengingatkan sekali pun mereka berstatus honorer, para guru itu telah mengabdi bagi pendidikan anak selama bertahun-tahun.
Pada akhirnya, kata dia melanjutkan, peserta didik menjadi pihak yang dirugikan, terutama di saat mereka baru memasuki tahun ajaran baru sekolah seperti sekarang.
Dede pun menyoroti penggunaan kata "cleansing" untuk kebijakan penataan guru honorer itu. Menurut dia, kebijakan yang dinamai "cleansing" terhadap para guru honorer di DKI Jakarta tersebut kurang humanis.
"Cleansing itu kata yang terlalu sadis, cleansing itu kan pembersihan atau seperti membasmi. Itu tidak boleh," ucap dia.
Sebelumnya, Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta telah menyatakan bahwa kebijakan "cleansing" terhadap setidaknya 107 guru honorer dilakukan sebagai Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan (TLHP) BPK. Temuan BPK menyebut bahwa peta kebutuhan guru honorer tidak sesuai dengan Permendikbud serta ketentuan sebagai penerima honor.
Adapun para guru honorer ini digaji dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Disdik DKI juga menyampaikan pihak sekolah mengangkat guru honorer tanpa rekomendasi dari Disdik sehingga melanggar aturan.
Mengenai hal tersebut, Dede meminta agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai mitra Komisi X DPR agar menjadi fasilitator terhadap pihak-pihak terkait.
“Kemendikbudristek harus segera mengklarifikasi dengan Dinas Pendidikan Jakarta. Dari informasi yang saya terima, ini adalah Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK,” ucapnya.
Dede juga meminta pihak-pihak terkait agar segera duduk bersama untuk mencari solusi bagi nasib guru honorer yang mengalami "cleansing", termasuk pemda dan BPK.
Dede mengingatkan sekali pun mereka berstatus honorer, para guru itu telah mengabdi bagi pendidikan anak selama bertahun-tahun.