Jakarta (ANTARA) - Hitung cepat atau "quick count" pada pemilu menjadi referensi bagi semua pihak untuk mendapatkan indikasi hasil perolehan suara pemilu sambil menunggu hasil penghitungan suara secara resmi oleh KPU.
"Fungsi 'quick count' adalah bagian dari partisipasi masyarakat melalui lembaga survei pada pelaksanaan pemilu untuk mengetahui indikasi penghitungan suara dengan lebih cepat, dengan tetap mengutamakan akurasi," kata Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Jayadi Hanan, pada publikasi Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), di Jakarta, Sabtu.
Hadir pada kesempatan tersebut, Ketua Dewan Etik Persepi Hamdi Muluk (UI), Anggota Dewan Etik Persepi Asep Saefuddin (IPB), Ketua Persepi Phillips J Vermonte (CSIS), Sekretaris Persepi Yunanto Wijaya (Charta Politika), serta sejumlah pimpinan lembaga survei anggota Persepi.
Menurut Jayadi Hanan, "quick count" bukan hal baru di Indonesia dan sudah diterima oleh masyarakat Indonesia, terutama oleh partai politik dan anggota legislatif (caleg).
Jayadi menjelaskan, "quick count" sudah dilaksanakan di Indonesia sejak pemilu pada era reformasi yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden 2004. Sejak bergulirnya era reformasi sampai saat ini, kata dia, sudah diselenggarakan, tiga kali pemilu legislatif, tiga kali pemilu presiden, satu kali pemilu legislatif dan pemilu presiden gabungan, serta serta empat kali pilkada serentak.
"'Qucik count" yang dihitung dengan 'random sampling' dengan menggunakan metedologi ilmiah, hasilnya selalu akurat dan selama ini diterima oleh peserta pemilu dan publik," ujarnya.
Namun, kenapa pada Pemilu 2019 ini ada yang menuduh hasil "quick count" untuk pemilu presiden sebagai rekayasa. "Tuduhan ini tidak ada dasar fakta. Sangat meyedihkan," ucapnya.
Lebih ironis lagi, kata dia, hasil "quick count" untuk pemilu legislatif diterima, tapi hasil "quick count" untuk pemilu presiden tidak diterima. "Padahal, dilakukan dengan sample yang sama dan metologi ilmiahnya sama," tambahnya.
Jayadi menegaskan, "quick count" adalah ilmu pengetahuan yang didasarkan pada ilmu statistika dan bukan keputusan politik. "Quick count adalah data, yakni penghitungan data dengan 'random sampling'. Lembaga survei tidak memiliki kepentingan politik pada penghitungan ini," katanya.
Baca juga: KPI minta kurangi penayangan hitung cepat
Baca juga: Indo Barometer siap pertanggungjawabkan hasil "quick count" pilpres 2019
Baca juga: Pakar : hasil hitung cepat kemungkinan bisa salah
"Fungsi 'quick count' adalah bagian dari partisipasi masyarakat melalui lembaga survei pada pelaksanaan pemilu untuk mengetahui indikasi penghitungan suara dengan lebih cepat, dengan tetap mengutamakan akurasi," kata Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Jayadi Hanan, pada publikasi Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), di Jakarta, Sabtu.
Hadir pada kesempatan tersebut, Ketua Dewan Etik Persepi Hamdi Muluk (UI), Anggota Dewan Etik Persepi Asep Saefuddin (IPB), Ketua Persepi Phillips J Vermonte (CSIS), Sekretaris Persepi Yunanto Wijaya (Charta Politika), serta sejumlah pimpinan lembaga survei anggota Persepi.
Menurut Jayadi Hanan, "quick count" bukan hal baru di Indonesia dan sudah diterima oleh masyarakat Indonesia, terutama oleh partai politik dan anggota legislatif (caleg).
Jayadi menjelaskan, "quick count" sudah dilaksanakan di Indonesia sejak pemilu pada era reformasi yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden 2004. Sejak bergulirnya era reformasi sampai saat ini, kata dia, sudah diselenggarakan, tiga kali pemilu legislatif, tiga kali pemilu presiden, satu kali pemilu legislatif dan pemilu presiden gabungan, serta serta empat kali pilkada serentak.
"'Qucik count" yang dihitung dengan 'random sampling' dengan menggunakan metedologi ilmiah, hasilnya selalu akurat dan selama ini diterima oleh peserta pemilu dan publik," ujarnya.
Namun, kenapa pada Pemilu 2019 ini ada yang menuduh hasil "quick count" untuk pemilu presiden sebagai rekayasa. "Tuduhan ini tidak ada dasar fakta. Sangat meyedihkan," ucapnya.
Lebih ironis lagi, kata dia, hasil "quick count" untuk pemilu legislatif diterima, tapi hasil "quick count" untuk pemilu presiden tidak diterima. "Padahal, dilakukan dengan sample yang sama dan metologi ilmiahnya sama," tambahnya.
Jayadi menegaskan, "quick count" adalah ilmu pengetahuan yang didasarkan pada ilmu statistika dan bukan keputusan politik. "Quick count adalah data, yakni penghitungan data dengan 'random sampling'. Lembaga survei tidak memiliki kepentingan politik pada penghitungan ini," katanya.
Baca juga: KPI minta kurangi penayangan hitung cepat
Baca juga: Indo Barometer siap pertanggungjawabkan hasil "quick count" pilpres 2019
Baca juga: Pakar : hasil hitung cepat kemungkinan bisa salah