Jakarta (ANTARA) - Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ) Olisias Gultom mengatakan pemberlakuan pajak digital dikhawatirkan bakal mempengaruhi kinerja unicorn (perusahaan rintisan dengan nilai kapitalisasi lebih dari satu miliar dolar AS) dari Indonesia.
"Kalau diberlakukan pajak (ekonomi digital) besar, kemungkinan mempengaruhi kinerja unicorn Indonesia," katanya ketika dihubungi di Jakarta, Senin.
Menurut Olisias, saat ini saja dengan mulai diberlakukannya ketentuan baru sehubungan dengan perusahaan aplikasi transportasi daring dinilai juga mulai berdampak, setidaknya mulai dirasakan oleh konsumen.
Ia menyatakan, selama ini melalui WTO, industri digital masih dianggap sebagai infant atau industri baru yang dilindungi dengan tidak diberlakukannya pajak dan ketentuan perdagangan lainnya.
"Sejak tahun lalu perubahan itu sudah mulai dilakukan, salah satunya dengan desakan atau apa yang dilakukan Indonesia. Dengan kesepakatan melalui G20 ini, berarti industri digital tidak lagi diberlakukan sebagai infant dan mulai berlaku aturan seperti industri lainnya," katanya.
Dengan demikian, ujar dia, maka bagi perusahaan digital Indonesia hal ini akan memberikan tekanan, terlebih di Indonesia masih lebih mengandalkan kekuatan jumlah pasar dibanding ketimbang kualitas produk lokal atau nasional sehingga tentu dampaknya akan terasa bagi konsumen atau masyarakat ke depannya.
Olisian mengemukakan, langkah Kementerian Keuangan yang telah mewacanakan skema pajak digital dinilai saat ini memang dibutuhkan bila ketentuan pajak itu akan diterapkan secara global.
Namun, lanjutnya, masih akan terdapat sejumlah kendala dalam pelaksanaannya seperti apabila hal tersebut terkait mekanisme perpajakan terhadap distribusi barang yang datang dari luar negeri.
Baca juga: Kemenkominfo gelar 1.000 Starup Digital
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengupayakan pendekatan untuk memungut pajak dari kegiatan ekonomi digital yang selama ini belum dilakukan optimal untuk menambah penerimaan negara.
"Untuk perusahaan yang dianggap digital, teman-teman pajak punya basis penghitungan dengan estimasi berdasarkan data mereka dan nanti disepakati," ujar Sri Mulyani di Jakarta, Rabu (12/6/2019).
Sri Mulyani menegaskan upaya ini harus dilakukan karena setiap kegiatan ekonomi di Indonesia harus dipungut pajak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Menkeu memastikan pengenaan tarif pajak penghasilan dari setiap transaksi ekonomi digital akan tetap sama dengan kegiatan jual beli konvensional.
Namun, menurut dia, yang membedakan adalah tata cara pungutan karena badan usaha tetap (BUT) yang terlibat dalam kegiatan ekonomi digital tidak seluruhnya mempunyai perwakilan di Indonesia.
Salah satu pendekatan pungutan yang diupayakan adalah kewajiban perpajakan berdasarkan seberapa banyak transaksi ekonomi atau volume kegiatan yang diperoleh dalam satu negara.
Pendekatan ini akan dilakukan sembari adanya konsensus bersama dari negara-negara G20 untuk memungut pajak dari kegiatan ekonomi digital.
Baca juga: Tips agar startup dilirik investor
"Kalau diberlakukan pajak (ekonomi digital) besar, kemungkinan mempengaruhi kinerja unicorn Indonesia," katanya ketika dihubungi di Jakarta, Senin.
Menurut Olisias, saat ini saja dengan mulai diberlakukannya ketentuan baru sehubungan dengan perusahaan aplikasi transportasi daring dinilai juga mulai berdampak, setidaknya mulai dirasakan oleh konsumen.
Ia menyatakan, selama ini melalui WTO, industri digital masih dianggap sebagai infant atau industri baru yang dilindungi dengan tidak diberlakukannya pajak dan ketentuan perdagangan lainnya.
"Sejak tahun lalu perubahan itu sudah mulai dilakukan, salah satunya dengan desakan atau apa yang dilakukan Indonesia. Dengan kesepakatan melalui G20 ini, berarti industri digital tidak lagi diberlakukan sebagai infant dan mulai berlaku aturan seperti industri lainnya," katanya.
Dengan demikian, ujar dia, maka bagi perusahaan digital Indonesia hal ini akan memberikan tekanan, terlebih di Indonesia masih lebih mengandalkan kekuatan jumlah pasar dibanding ketimbang kualitas produk lokal atau nasional sehingga tentu dampaknya akan terasa bagi konsumen atau masyarakat ke depannya.
Olisian mengemukakan, langkah Kementerian Keuangan yang telah mewacanakan skema pajak digital dinilai saat ini memang dibutuhkan bila ketentuan pajak itu akan diterapkan secara global.
Namun, lanjutnya, masih akan terdapat sejumlah kendala dalam pelaksanaannya seperti apabila hal tersebut terkait mekanisme perpajakan terhadap distribusi barang yang datang dari luar negeri.
Baca juga: Kemenkominfo gelar 1.000 Starup Digital
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengupayakan pendekatan untuk memungut pajak dari kegiatan ekonomi digital yang selama ini belum dilakukan optimal untuk menambah penerimaan negara.
"Untuk perusahaan yang dianggap digital, teman-teman pajak punya basis penghitungan dengan estimasi berdasarkan data mereka dan nanti disepakati," ujar Sri Mulyani di Jakarta, Rabu (12/6/2019).
Sri Mulyani menegaskan upaya ini harus dilakukan karena setiap kegiatan ekonomi di Indonesia harus dipungut pajak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Menkeu memastikan pengenaan tarif pajak penghasilan dari setiap transaksi ekonomi digital akan tetap sama dengan kegiatan jual beli konvensional.
Namun, menurut dia, yang membedakan adalah tata cara pungutan karena badan usaha tetap (BUT) yang terlibat dalam kegiatan ekonomi digital tidak seluruhnya mempunyai perwakilan di Indonesia.
Salah satu pendekatan pungutan yang diupayakan adalah kewajiban perpajakan berdasarkan seberapa banyak transaksi ekonomi atau volume kegiatan yang diperoleh dalam satu negara.
Pendekatan ini akan dilakukan sembari adanya konsensus bersama dari negara-negara G20 untuk memungut pajak dari kegiatan ekonomi digital.
Baca juga: Tips agar startup dilirik investor