Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan kerusuhan yang terjadi di Wamena, Papua, 23 September 2019, tidak berkaitan dengan suku, agama, ras, antargolongan (SARA).
"Ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan SARA," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik saat konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat.
Komnas HAM telah melakukan kunjungan ke Papua selama beberapa hari, yakni 13-17 Oktober 2019 untuk menelusuri persoalan sebenarnya yang terjadi, termasuk situasi terkini.
Menurut dia, kerusuhan yang mengakibatkan banyak toko dan fasilitas umum dibakar itu juga menimbulkan korban jiwa dari berbagai macam suku yang ada di Papua.
"Ada berbagai korban dari berbagai suku yang ada itu. Mau dibilang pendatang atau orang asli, sama-sama ada yang menjadi korban," katanya.
Provokasi SARA memang ada, kata dia, seperti terakhir terjadi di Wamena yang dipicu adanya informasi seorang guru yang memberikan ungkapan rasis, tetapi setelah ditelusuri ternyata tidak terkonfirmasi.
Senada, komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara juga menyampaikan kerusuhan yang terjadi di Wamena, 23 September 2019 itu bukan konflik SARA, apalagi sampai genosida.
"Kami ingin menegaskan bahwa apa yang terjadi di Wamena tanggal 23 September itu bukan konflik SARA, tetapi memang benar-benar tragedi kemanusiaan," katanya.
Beka meminta kepolisian dan TNI menggunakan jaringan yang dimiliki untuk mencari tahu kronologis sebenarnya terjadinya kerusuhan Papua agar tidak ada lagi kronologis yang terlewat.
"Kami meminta polisi mencari tahu bagaimana mobilisasi orang-orang ketika kerusuhan terjadi. Dari mana massa? Bagaimana koordinasinya?, karena mereka datang dari 'delapan penjuru angin', dari mana-mana," katanya.
"Ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan SARA," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik saat konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat.
Komnas HAM telah melakukan kunjungan ke Papua selama beberapa hari, yakni 13-17 Oktober 2019 untuk menelusuri persoalan sebenarnya yang terjadi, termasuk situasi terkini.
Menurut dia, kerusuhan yang mengakibatkan banyak toko dan fasilitas umum dibakar itu juga menimbulkan korban jiwa dari berbagai macam suku yang ada di Papua.
"Ada berbagai korban dari berbagai suku yang ada itu. Mau dibilang pendatang atau orang asli, sama-sama ada yang menjadi korban," katanya.
Provokasi SARA memang ada, kata dia, seperti terakhir terjadi di Wamena yang dipicu adanya informasi seorang guru yang memberikan ungkapan rasis, tetapi setelah ditelusuri ternyata tidak terkonfirmasi.
Senada, komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara juga menyampaikan kerusuhan yang terjadi di Wamena, 23 September 2019 itu bukan konflik SARA, apalagi sampai genosida.
"Kami ingin menegaskan bahwa apa yang terjadi di Wamena tanggal 23 September itu bukan konflik SARA, tetapi memang benar-benar tragedi kemanusiaan," katanya.
Beka meminta kepolisian dan TNI menggunakan jaringan yang dimiliki untuk mencari tahu kronologis sebenarnya terjadinya kerusuhan Papua agar tidak ada lagi kronologis yang terlewat.
"Kami meminta polisi mencari tahu bagaimana mobilisasi orang-orang ketika kerusuhan terjadi. Dari mana massa? Bagaimana koordinasinya?, karena mereka datang dari 'delapan penjuru angin', dari mana-mana," katanya.