Jakarta (ANTARA News) - Aktor Nicholas Saputra tertantang dengan peran sebagai pria tuna rungu di film terbarunya "What They Don't Talk About When They Talk About Love".
Mencoba karakter baru adalah salah satu alasan mengapa pria yang namanya melejit semenjak membintangi "Ada Apa Dengan Cinta" tertarik untuk mengambil bagian di film garapan sutradara Mouly Surya.
Selain itu, dia juga tertarik dengan pesan dalam film Indonesia pertama yang berkompetisi di festival film Sundance itu. Mouly Surya mengemukakan, dia tidak ingin menampilkan stereotipe difabel yang digambarkan sebagai orang tidak berdaya dan mengundang kesedihan dalam film keduanya.
"Saya suka banget sama karyanya Mouly. Ini sesuatu yang baru dan berbeda. Pandangan terhadap difabel seperti ini.. belum pernah saya lihat orang menyampaikan pesan dengan cara seperti ini. Dan saya juga setuju," kata Nico yang mendalami karakter dengan observasi dan mengikuti kelas di sekolah tuna rungu.
Salah satu cara menghilangkan stereotipe itu ditunjukkan lewat karakter Edo yang diperankan Nico, pria tuna rungu yang berdandan ala anak punk, lengkap dengan atribut sederetan anting yang menghiasi telinga dan juga bibirnya.
"Untuk menunjukkan karakter tuna rungu, nggak perlu karakter sedih dan kuyu supaya nggak perlu dikasihani. Stereotipe itu yang ingin dihilangkan. Kalau bisa gaya ya gaya, mereka bisa berdandan lebih dari kita," tuturnya.
"Itu yg mau kita sampaikan di film ini, mereka nggak butuh rasa kasihan dan ledekan, mereka cuma butuh support, mereka butuh pengakuan, mereka eksis karena mereka ada," katanya.
Mencoba karakter baru adalah salah satu alasan mengapa pria yang namanya melejit semenjak membintangi "Ada Apa Dengan Cinta" tertarik untuk mengambil bagian di film garapan sutradara Mouly Surya.
Selain itu, dia juga tertarik dengan pesan dalam film Indonesia pertama yang berkompetisi di festival film Sundance itu. Mouly Surya mengemukakan, dia tidak ingin menampilkan stereotipe difabel yang digambarkan sebagai orang tidak berdaya dan mengundang kesedihan dalam film keduanya.
"Saya suka banget sama karyanya Mouly. Ini sesuatu yang baru dan berbeda. Pandangan terhadap difabel seperti ini.. belum pernah saya lihat orang menyampaikan pesan dengan cara seperti ini. Dan saya juga setuju," kata Nico yang mendalami karakter dengan observasi dan mengikuti kelas di sekolah tuna rungu.
Salah satu cara menghilangkan stereotipe itu ditunjukkan lewat karakter Edo yang diperankan Nico, pria tuna rungu yang berdandan ala anak punk, lengkap dengan atribut sederetan anting yang menghiasi telinga dan juga bibirnya.
"Untuk menunjukkan karakter tuna rungu, nggak perlu karakter sedih dan kuyu supaya nggak perlu dikasihani. Stereotipe itu yang ingin dihilangkan. Kalau bisa gaya ya gaya, mereka bisa berdandan lebih dari kita," tuturnya.
"Itu yg mau kita sampaikan di film ini, mereka nggak butuh rasa kasihan dan ledekan, mereka cuma butuh support, mereka butuh pengakuan, mereka eksis karena mereka ada," katanya.