Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik Universitas Pelita Harapan Dr Emrus Sihombing menegaskan para perumus draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja harus bertanggung jawab atas persoalan salah ketik narasi pasal.
"Termasuk yang ikut serta melakukan kajian akademik, menjadi kewajiban moral bertanggung jawab kepada publik untuk menjelaskan kenapa bisa muncul narasi seperti itu," katanya, melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, RUU yang diajukan ke DPR RI selalu dilengkapi dengan naskah akademik, kecuali RUU APBN, RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perppu.
"Saya berhipotesa ringan, ini bukan sekadar kesalahan ketik seperti diduga Mahfud MD sebagai suatu kemungkinan. Tetapi, merupakan pekerjaan yang dilakukan secara serius, penuh kehati-hatian, apalagi telah melalui kajian akademik," katanya lagi.
Terlepas dari apa agenda di balik pembuatan narasi tersebut, ia menilai rumusan tersebut dapat dikategorikan sebagai kecelakaan akademik dari aspek konstitusi dan demokrasi.
"Tidak ada salahnya mereka semua pihak yang terkait menyampaikan permohonan maaf," ujar Direktur Eksekutif Emrus Corner tersebut.
Emrus menilai pasal 170 ayat (1) RUU Cipta Kerja tidak mempunyai pijakan konstitusional, karena jelas tertuang dalam konstitusi bahwa pembuatan dan atau perubahan UU merupakan produk DPR bersama dengan pemerintah pusat (lembaga kepresidenan).
Draf RUU Cipta Kerja pasal 170 ayat (1) berbunyi, "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1), berdasarkan undang-undang ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam undang-undang ini."
Pada ayat (2) berbunyi, "Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah."
Selain inkonstitusional, kata dia, isi ayat tersebut memberikan keleluasaan dan kewenangan yang luar biasa kepada pemerintah pusat, hampir tanpa batas.
"Bayangkan, melalui Peraturan Pemerintah (PP) yang lebih rendah dari UU, bisa mengubah isi pasal dan atau ayat dari suatu UU. Sangat mengejutkan kita semua," katanya lagi.
Narasi yang termuat pada pasal 170 tersebut, kata dia, sekaligus membuktikan lemahnya komunikasi pelibatan publik, khususnya semua pemangku kepentingan oleh pemerintah pusat dalam proses merumuskan teks Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
"Dengan kata lain, isi pasal yang terkesan otoriter tersebut tidak akan terjadi jika rumusan RUU Cipta Kerja dihasilkan melalui proses komunikasi transparansi," katanya.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengakui ada kesalahan ketik dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
"Ya, tidak bisa dong PP melawan UU, peraturan perundang-undangan itu, saya akan cek, nanti di DPR akan diperbaiki mereka bawa DIM (daftar isian masalah) untuk itu, gampang itu, teknis," kata Yasonna di lingkungan Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Senin (17/2).
"Termasuk yang ikut serta melakukan kajian akademik, menjadi kewajiban moral bertanggung jawab kepada publik untuk menjelaskan kenapa bisa muncul narasi seperti itu," katanya, melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, RUU yang diajukan ke DPR RI selalu dilengkapi dengan naskah akademik, kecuali RUU APBN, RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perppu.
"Saya berhipotesa ringan, ini bukan sekadar kesalahan ketik seperti diduga Mahfud MD sebagai suatu kemungkinan. Tetapi, merupakan pekerjaan yang dilakukan secara serius, penuh kehati-hatian, apalagi telah melalui kajian akademik," katanya lagi.
Terlepas dari apa agenda di balik pembuatan narasi tersebut, ia menilai rumusan tersebut dapat dikategorikan sebagai kecelakaan akademik dari aspek konstitusi dan demokrasi.
"Tidak ada salahnya mereka semua pihak yang terkait menyampaikan permohonan maaf," ujar Direktur Eksekutif Emrus Corner tersebut.
Emrus menilai pasal 170 ayat (1) RUU Cipta Kerja tidak mempunyai pijakan konstitusional, karena jelas tertuang dalam konstitusi bahwa pembuatan dan atau perubahan UU merupakan produk DPR bersama dengan pemerintah pusat (lembaga kepresidenan).
Draf RUU Cipta Kerja pasal 170 ayat (1) berbunyi, "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1), berdasarkan undang-undang ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam undang-undang ini."
Pada ayat (2) berbunyi, "Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah."
Selain inkonstitusional, kata dia, isi ayat tersebut memberikan keleluasaan dan kewenangan yang luar biasa kepada pemerintah pusat, hampir tanpa batas.
"Bayangkan, melalui Peraturan Pemerintah (PP) yang lebih rendah dari UU, bisa mengubah isi pasal dan atau ayat dari suatu UU. Sangat mengejutkan kita semua," katanya lagi.
Narasi yang termuat pada pasal 170 tersebut, kata dia, sekaligus membuktikan lemahnya komunikasi pelibatan publik, khususnya semua pemangku kepentingan oleh pemerintah pusat dalam proses merumuskan teks Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
"Dengan kata lain, isi pasal yang terkesan otoriter tersebut tidak akan terjadi jika rumusan RUU Cipta Kerja dihasilkan melalui proses komunikasi transparansi," katanya.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengakui ada kesalahan ketik dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
"Ya, tidak bisa dong PP melawan UU, peraturan perundang-undangan itu, saya akan cek, nanti di DPR akan diperbaiki mereka bawa DIM (daftar isian masalah) untuk itu, gampang itu, teknis," kata Yasonna di lingkungan Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Senin (17/2).