Kisah dari Sangihe: Setahun belajar online
Jakarta (ANTARA) - Pandemi sudah lebih dari setahun berlangsung di Indonesia, sudah setahun juga Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Tabukan Utara, Sangihe, harus menerapkan sistem belajar daring.
"Karena sudah setahun belajar online, orang tua (murid) kami berusaha memenuhi kebutuhan anaknya, membeli ponsel Android," kata Kepala SMAN 1 Tabukan Utara, Sangihe, Sulawesi Utara, Juinar Usman, saat webinar tentang belajar online, Jumat (1/7).
Juinar mengingat setahun belakangan merupakan tantangan besar baginya, bagaimana di tengah pandemi, sekolah bisa tetap berlangsung sambil menjaga kesehatan dan menghindari penyebaran virus corona.
Perubahan yang sangat mendadak ini mengagetkan komunitas tempatnya bekerja, begitu juga di sekolah sekitarnya, tidak memiliki infrastruktur dan alat yang memadai.
"Banyak yang tidak punya internet dan alat seperti komputer, HP (ponsel) atau laptop," kata Juinar.
Tidak semua siswa maupun orang tua murid memiliki ponsel, padahal keberadaan gawai untuk sekolah daring adalah hal yang mutlak. Pun begitu Juinar maklum, tidak semua orang sanggup membeli ponsel atau laptop.
Mereka yang memiliki gawai tidak berarti bebas kendala, kenyataannya, sekolah secara daring ini membutuhkan kuota internet yang tidak sedikit.
Keadaan ini ditambah ketersediaan internet yang belum merata di Sangihe, menurut kesaksian Juinar, tidak semua wilayah terjangkau sinyal seluler di sana.
Ketika metode kerja hibrida, campuran bekerja di kantor dan dari jarak jauh, disebut sebagai cara kerja yang efektif, mereka di Sangihe sudah mempraktekannya sejak awal pandemi.
Tidak jarang guru harus menyeberang pulau untuk menyambangi siswa yang tidak punya ponsel atau akses internet.
Pembelajaran jarak jauh di tempat-tempat seperti Sangihe tidak bisa melulu mengandalkan internet, siaran radio juga menjadi tumpuan untuk belajar online.
Menurut Juinar, radio lokal pada jam dan hari tertentu memiliki program khusus untuk belajar dari jarak jauh, guru diundang siaran untuk memberikan materi.
Perluasan infrastruktur
Sangihe bukan satu-satunya wilayah yang mengalami kendala lantaran internet belum masuk sepenuhnya, catatan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, masih ada 12.548 desa dan kelurahan yang belum terjangkau sinyal 4G.
Sebanyak 9.113 dari lokasi tersebut berada di wilayah terdepan, terluar dan tertinggal atau sering disingkat sebagai 3T.
Jaringan 4G begitu penting di masa pandemi COVID-19 ini, ia menjadi dasar berbagai aplikasi penunjang
belajar maupun bekerja dari jarak jauh seperti Zoom dan Google Classroom, yang sering dipakai siswa dan guru SMAN 1 Tabukan Utara, bisa berjalan lancar.
Pekerjaan BAKTI pun semakin menantang ketika di masa pandemi ini kehadiran internet cepat begitu dinantikan, khususnya untuk mendukung program Pembelajaran Jarak Jauh.
Hingga 2020, BAKTI sudah membangun 1.096 menara base transceiver station (BTS) dan meningkatkan kapasitas dari 2G atau 3G ke 4G untuk 113 menara.
Artinya, masih ada 7.904 yang harus dikerjakan hingga 2022, target pemerintah menghadirkan sinyal 4G di seluruh kabupaten dan desa.
"Tantangan kami, mengoptimalkan infrastruktur yang ada meski pun kapasitas belum ideal," kata Direktur Layanan Masyarakat dan Pemerintah BAKTI, Danny J. Ismawan.
Usaha menyediakan internet di daerah 3T tidak bisa hanya menggunakan kabel serat optik, pemerintah harus menggunakan satelit untuk menjangkau daerah-daerah tersebut.
Indonesia, berdasarkan data pemerintah Maret, lalu, memiliki lima satelit telekomunikasi nasional dan mengelola empat satelit asing. Total kapasitasnya mencapai 50GBps.
Setidaknya butuh kapasitas 1TBps untuk pemerataan akses telekomunikasi, jumlahnya diperkirakan masih akan bertambah.
Pemerintah akhirnya meluncurkan strategis satelit multifungsi SATRIA-1 berkapasitas 150GBps, tiga kali lebih besar dari satelit yang mengorbit di Indonesia saat ini.
SATRIA-1 diharapkan bisa menyediakan akses internet di 150.000 titik layanan publik, alokasi terbesar untuk sekolah dan pesantren yakni 93.900 titik.
Masalah internet di Indonesia tidak selesai ketika daerah tersebut sudah tersambung ke 4G, bagaimana dan untuk apa jaringan telekomunikasi ini digunakan juga menyisakan pertanyaan.
Khusus untuk pendidikan, BAKTI berkolaborasi dengan Ruangguru, penyedia platform belajar online, untuk mengadakan program Indonesia Teaching Fellowship, untuk pembinaan dan pengembangan kompetensi guru.
Kabupaten Sangihe, bersama Kabupaten Sorong, Papua Barat, menjadi sasaran kegiatan ini pada 2019 lalu.
Menurut Juinar, sembilan dari 31 guru yang mengajar di sekolahnya mengikuti program ini. Mereka dilatih menggunakan platform digital untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar.
Setahun pandemi
Pelatihan digital tersebut menurut Juinar cukup membantu para guru dalam kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh saat ini, mereka terpacu untuk membagikan hasil pelatihan ke guru-guru lainnya agar belajar online bisa berjalan.
"Guru lain jadi termotivasi untuk sama-sama belajar dan mendesain mode pembelajaran sedemikian rupa sehingga siswa bisa belajar nyaman di masa pandemi ini," kata Juinar.
Dia mencontohkan, salah seorang guru membuat video pembelajaran agar siswa bisa mengikuti pelajaran dari rumah.
Sekolah ini masih menggunakan metode daring dan luring, masih ada sekitar 20 siswa kelas 10 dan 11 yang belum memiliki ponsel. Guru akan mengantar materi ke rumah siswa tersebut.
Sementara untuk kelas 12, masih ada tujuh dari total 132 siswa yang belum punya ponsel. Beberapa waktu lalu, sekolah berinisiatif meminjamkan ponsel agar mereka bisa mengikuti ujian.
Pembelajaran jarak jauh masih berlaku di sebagian besar daerah di Indonesia, sejumlah tempat dibolehkan menggelar pertemuan tatap muka (PTM) terbatas jika berada di luar zona merah dengan sejumlah syarat, antara lain guru sudah divaksinasi dan orang tua murid mengizinkan.
"Karena sudah setahun belajar online, orang tua (murid) kami berusaha memenuhi kebutuhan anaknya, membeli ponsel Android," kata Kepala SMAN 1 Tabukan Utara, Sangihe, Sulawesi Utara, Juinar Usman, saat webinar tentang belajar online, Jumat (1/7).
Juinar mengingat setahun belakangan merupakan tantangan besar baginya, bagaimana di tengah pandemi, sekolah bisa tetap berlangsung sambil menjaga kesehatan dan menghindari penyebaran virus corona.
Perubahan yang sangat mendadak ini mengagetkan komunitas tempatnya bekerja, begitu juga di sekolah sekitarnya, tidak memiliki infrastruktur dan alat yang memadai.
"Banyak yang tidak punya internet dan alat seperti komputer, HP (ponsel) atau laptop," kata Juinar.
Tidak semua siswa maupun orang tua murid memiliki ponsel, padahal keberadaan gawai untuk sekolah daring adalah hal yang mutlak. Pun begitu Juinar maklum, tidak semua orang sanggup membeli ponsel atau laptop.
Mereka yang memiliki gawai tidak berarti bebas kendala, kenyataannya, sekolah secara daring ini membutuhkan kuota internet yang tidak sedikit.
Keadaan ini ditambah ketersediaan internet yang belum merata di Sangihe, menurut kesaksian Juinar, tidak semua wilayah terjangkau sinyal seluler di sana.
Ketika metode kerja hibrida, campuran bekerja di kantor dan dari jarak jauh, disebut sebagai cara kerja yang efektif, mereka di Sangihe sudah mempraktekannya sejak awal pandemi.
Tidak jarang guru harus menyeberang pulau untuk menyambangi siswa yang tidak punya ponsel atau akses internet.
Pembelajaran jarak jauh di tempat-tempat seperti Sangihe tidak bisa melulu mengandalkan internet, siaran radio juga menjadi tumpuan untuk belajar online.
Menurut Juinar, radio lokal pada jam dan hari tertentu memiliki program khusus untuk belajar dari jarak jauh, guru diundang siaran untuk memberikan materi.
Perluasan infrastruktur
Sangihe bukan satu-satunya wilayah yang mengalami kendala lantaran internet belum masuk sepenuhnya, catatan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, masih ada 12.548 desa dan kelurahan yang belum terjangkau sinyal 4G.
Sebanyak 9.113 dari lokasi tersebut berada di wilayah terdepan, terluar dan tertinggal atau sering disingkat sebagai 3T.
Jaringan 4G begitu penting di masa pandemi COVID-19 ini, ia menjadi dasar berbagai aplikasi penunjang
belajar maupun bekerja dari jarak jauh seperti Zoom dan Google Classroom, yang sering dipakai siswa dan guru SMAN 1 Tabukan Utara, bisa berjalan lancar.
Pekerjaan BAKTI pun semakin menantang ketika di masa pandemi ini kehadiran internet cepat begitu dinantikan, khususnya untuk mendukung program Pembelajaran Jarak Jauh.
Hingga 2020, BAKTI sudah membangun 1.096 menara base transceiver station (BTS) dan meningkatkan kapasitas dari 2G atau 3G ke 4G untuk 113 menara.
Artinya, masih ada 7.904 yang harus dikerjakan hingga 2022, target pemerintah menghadirkan sinyal 4G di seluruh kabupaten dan desa.
"Tantangan kami, mengoptimalkan infrastruktur yang ada meski pun kapasitas belum ideal," kata Direktur Layanan Masyarakat dan Pemerintah BAKTI, Danny J. Ismawan.
Usaha menyediakan internet di daerah 3T tidak bisa hanya menggunakan kabel serat optik, pemerintah harus menggunakan satelit untuk menjangkau daerah-daerah tersebut.
Indonesia, berdasarkan data pemerintah Maret, lalu, memiliki lima satelit telekomunikasi nasional dan mengelola empat satelit asing. Total kapasitasnya mencapai 50GBps.
Setidaknya butuh kapasitas 1TBps untuk pemerataan akses telekomunikasi, jumlahnya diperkirakan masih akan bertambah.
Pemerintah akhirnya meluncurkan strategis satelit multifungsi SATRIA-1 berkapasitas 150GBps, tiga kali lebih besar dari satelit yang mengorbit di Indonesia saat ini.
SATRIA-1 diharapkan bisa menyediakan akses internet di 150.000 titik layanan publik, alokasi terbesar untuk sekolah dan pesantren yakni 93.900 titik.
Masalah internet di Indonesia tidak selesai ketika daerah tersebut sudah tersambung ke 4G, bagaimana dan untuk apa jaringan telekomunikasi ini digunakan juga menyisakan pertanyaan.
Khusus untuk pendidikan, BAKTI berkolaborasi dengan Ruangguru, penyedia platform belajar online, untuk mengadakan program Indonesia Teaching Fellowship, untuk pembinaan dan pengembangan kompetensi guru.
Kabupaten Sangihe, bersama Kabupaten Sorong, Papua Barat, menjadi sasaran kegiatan ini pada 2019 lalu.
Menurut Juinar, sembilan dari 31 guru yang mengajar di sekolahnya mengikuti program ini. Mereka dilatih menggunakan platform digital untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar.
Setahun pandemi
Pelatihan digital tersebut menurut Juinar cukup membantu para guru dalam kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh saat ini, mereka terpacu untuk membagikan hasil pelatihan ke guru-guru lainnya agar belajar online bisa berjalan.
"Guru lain jadi termotivasi untuk sama-sama belajar dan mendesain mode pembelajaran sedemikian rupa sehingga siswa bisa belajar nyaman di masa pandemi ini," kata Juinar.
Dia mencontohkan, salah seorang guru membuat video pembelajaran agar siswa bisa mengikuti pelajaran dari rumah.
Sekolah ini masih menggunakan metode daring dan luring, masih ada sekitar 20 siswa kelas 10 dan 11 yang belum memiliki ponsel. Guru akan mengantar materi ke rumah siswa tersebut.
Sementara untuk kelas 12, masih ada tujuh dari total 132 siswa yang belum punya ponsel. Beberapa waktu lalu, sekolah berinisiatif meminjamkan ponsel agar mereka bisa mengikuti ujian.
Pembelajaran jarak jauh masih berlaku di sebagian besar daerah di Indonesia, sejumlah tempat dibolehkan menggelar pertemuan tatap muka (PTM) terbatas jika berada di luar zona merah dengan sejumlah syarat, antara lain guru sudah divaksinasi dan orang tua murid mengizinkan.