Jakarta (ANTARA) - Terwujudnya ekosistem dan persaingan sehat dalam bisnis digital bukan saja menjadi kunci bagi pertumbuhan ekonomi yang memadai, melainkan memenuhi hak perlindungan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menggerakkan sektor riil di pasar domestik.
Oleh karena itu, banyak negara di dunia berlomba menciptakan persaingan yang sehat dan menyusun regulasi khusus untuk bisnis di platform digital untuk dua kepentingan besar tersebut.
Bahkan China pun telah secara terang-terangan melarang monopoli dalam platform digital mereka. Misalnya saja terkait dengan rencana penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) yang pernah akan dilakukan oleh Ant Grup senilai 37 miliar dolar AS pada 2020.
IPO yang sempat disebut bakal jadi yang terbesar sepanjang sejarah itu pun akhirnya kandas setelah dibatalkan oleh otoritas China, dengan salah satu alasannya demi memastikan persaingan yang adil.
Belakangan, setelah membatalkan IPO, pada 2022 Pengawas Antimonopoli China bahkan menjatuhkan denda pada salah satu perusahaan afiliasi Ant Grup, yakni Alibaba Group Holding Ltd. dan Tencent Holdings Ltd.
Kedua perusahaan ini didenda karena dinilai gagal mematuhi aturan antimonopoli terkait pengungkapan transaksi, menurut pernyataan The State Administration for Market Regulation (SAMR).
SAMR juga merilis daftar 28 kesepakatan yang melanggar aturan, termasuk Alibaba beserta lima unit usahanya dan Tencent. Tencent terkena denda sebesar 6 juta yuan (setara 896,245 dolar AS), atas keterlibatannya dalam 12 transaksi dalam daftar SAMR.
Adapun anak usaha Alibaba, yakni Youku Tudou, didenda sebesar 2,5 juta yuan karena tidak mengungkapkan pembelian ekuitas pada tahun 2021.
Tindakan tegas ini ditegakkan setelah China mengamendemen Undang-Undang Anti-Monopoli khusus untuk platform digital menjadi regulasi baru yang mulai diberlakukan pada 1 Agustus 2022.
Aturan itu dibuat untuk memperketat operasi perusahaan teknologi di negara itu, antara lain, untuk menciptakan persaingan yang sehat, menghentikan monopoli, hingga membatasi penggunaan data dan algoritma untuk memanipulasi pasar, serta bahaya moral "to big to fail" dan menjaga stabilitas keuangan.
Bahkan yang mencengangkan, China mengeluarkan aturan ini, antara lain, untuk mengawasi perusahaan teknologi yang didirikan oleh anak bangsanya sendiri, Jack Ma dan Ma Huateng, pria kelahiran China, dan sama sekali bukan perusahaan yang didirikan oleh asing.
Hal itu karena semata mereka tak mau membiarkan begitu saja para pelopor inovasi tersebut menjadi penghalang bagi inovasi lainnya.
Hal ini menjadi cerminan yang nyata bahwa sebuah proteksi dan perlindungan amat sangat diperlukan untuk mengawasi dan menjaga tetap tegaknya persaingan bisnis yang sehat, agar tidak berlaku hukum yang kuat semakin kuat.
Melindungi UMKM
Menurut Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki-- dalam banyak kesempatan-- selalu menyampaikan bahwa hal yang paling signifikan untuk dilakukan saat ini yakni segera menerbitkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Elektronik (PPMSE).
Hal ini sangat penting agar tidak ada lagi celah kebijakan yang dimanfaatkan oleh pelaku usaha besar yang berpotensi merugikan UMKM di Tanah Air.
Terlebih berkaca dari kondisi yang saat ini berkembang ketika ada dugaan kuat dan indikasi monopoli yang dilakukan oleh platform media sosial, salah satunya TikTok, di pasar digital Indonesia.
Dugaan indikasi monopoli ini muncul karena TikTok menjalankan dua bisnis sekaligus, sebagai media sosial dan e-commerce alias social commerce secara bersamaan.
Dengan menjalankan bisnis ini sekaligus, platform social commerce ada kemungkinan melakukan praktik usaha yang tidak sehat termasuk predatory pricing yang merugikan usaha lokal.
Dengan memanipulasi algoritma tersebut, sebuah platform social commerce dengan mudah dapat mengarahkan konsumen untuk membeli produk mereka sendiri dan mengancam kelangsungan usaha UMKM lokal.
Padahal, selama ini pertumbuhan ekonomi Indonesia banyak ditopang oleh UMKM. Kontribusi UMKM terhadap PDB mencapai 61,07 persen atau senilai Rp8,6 ribu triliun dari 64,19 juta UMKM di 2021. Jika ini didiamkan, maka fondasi perekonomian bangsa ini dapat terguncang.
Salah satu kondisi yang patut diperhatikan di antaranya fakta bahwa selama ini Indonesia sudah diakui sebagai salah satu pasar produk muslim potensial di dunia.
Selain makanan dan minuman, fesyen muslim juga menjadi produk halal terlaris. Menurut catatan Laporan Kantor Berita Internasional Al-Quran, Iqna, masyarakat muslim di Indonesia menghabiskan sekitar 6,9 miliar dolar AS untuk membeli hijab senilai 1,02 miliar dolar AS setiap tahunnya.
Namun sayangnya, produk hijab yang dibeli kaum perempuan di Indonesia mayoritas merupakan produk impor. Porsinya mencapai 75 persen, sisanya produk lokal atau hanya sebesar 25 persen.
Bukan karena kualitas yang kurang bersaing nyatanya harga yang ditawarkan produk impor lebih murah dibandingkan produk lokal.
INDEF melakukan riset independen yang menunjukkan bahwa produk impor yang dijual di TikTok Shop, misalnya, harganya sangat rendah. Kondisi ini rentan merugikan produsen dalam negeri yang mengarah pada praktik predatory pricing.
Melihat fenomena tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merespons dengan segera melakukan penelusuran terkait permasalahan yang ada. Apakah ini isu persaingan usaha sebagaimana UU Nomor 5/1999 atau isu lain seperti kebijakan Pemerintah atas pengaturan sektor digital atau kebijakan impor barang atau perlindungan atas konsumen yang lemah.
Melihat kondisi ini, Pemerintah bersama masyarakat Indonesia harus segera melakukan antisipasi supaya pengusaha lokal tetap berkesempatan menikmati keuntungan di pasar digital yang sangat menjanjikan itu.
Pengaturan dari pemerintah bukan berarti mematikan atau melarang platform social commerce seperti TikTok untuk berkembang di Indonesia. Namun perlunya pembaruan Permendag Nomor 50/2020 menjadi upaya nyata pemerintah untuk menciptakan pasar digital yang sehat, tanpa ada predatory pricing, dan tidak ada monopoli.
Jika di negeri asalnya saja sudah dilakukan serangkaian upaya pengetatan yang sangat serius seperti ini maka antisipasi serupa pun perlu segera diterapkan di Indonesia.
Hal itu penting agar ekosistem digital di Tanah Air tetap dalam kondisi sehat yang memungkinkan pelaku usaha lokal tetap tumbuh dan berkembang.
Upaya tersebut demi melindungi sekitar 64,2 juta pelaku UMKM yang menjadi salah satu pilar utama perekonomian di negeri ini.