Tantangan logistik hambat kegiatan relawan di daerah gempa Jepang

id gempa jepang,gempa Semenanjung Noto

Tantangan logistik hambat kegiatan relawan di daerah gempa Jepang

Foto yang diambil pada 4 Januari 2024 ini menunjukkan puing-puing pasar pagi yang terkenal di Kota Wajima di Prefektur Ishikawa, Jepang tengah. Pasar itu musnah akibat kebakaran besar ketika api melalap lebih dari 200 bangunan di kawasan tengah Wajima. (Xinhua/Zhang Xiaoyu)

Kanazawa (ANTARA) - Tantangan logistik yang akibat kurangnya akomodasi dan kondisi jalan yang buruk menghambat kegiatan sukarelawan di Semenanjung Noto yang dilanda gempa berkekuatan 7,6 SR pada tahun baru lalu.

 

Pemerintah setempat menyatakan meskipun sekitar 23 ribu orang telah mendaftar menjadi sukarelawan di Prefektur Ishikawa, hanya 250 orang yang diizinkan untuk membantu di wilayah utara semenanjung yang paling terkena dampaknya setiap harinya.

Salah satu kota yang berada di Prefektur Ishikawa, Wajima, pada Sabtu (10/2) mulai menerima 40 sukarelawan yang memasuki kota untuk membersihkan puing-puing serta pekerjaan lainnya. Namun, beberapa orang yang datang untuk membantu menyatakan kurangnya sukarelawan di daerah tersebut.

"Saya belum pernah mendengar hanya 40 orang yang diizinkan masuk pada hari pertama. Pekerjaan rekonstruksi akan memakan waktu lama dalam situasi ini,” kata seorang pegulat profesional berusia 47 tahun, Kazutaka Hasegawa.

Kendati demikian, seorang pejabat dari Prefektur Ishikawa meminta masyarakat untuk tidak melakukan aktivitas sukarela secara individu untuk mencegah kebingungan. Hal itu lantaran pekerjaan sukarelawan terbatas pada perjalanan sehari.

Para relawan akan diantarkan dengan bus dari Ibu Kota Kanazawa ke daerah-daerah tertentu dan karena ada pemadaman air membuat sulit untuk bermalam. Akibatnya, sukarelawan hanya mampu membantu sekitar empat jam perhari.

“Kami mengirim orang sebanyak yang dibutuhkan oleh pemerintah kota. Mereka akan kesulitan jika kami mengirimkan lebih dari jumlah yang diperlukan,” ucap pejabat tersebut.

Menanggapi pembatasan tersebut, profesor di Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Manusia di Universitas Osaka yang berspesialisasi dalam sukarelawan bencana, Takumi Miyamoto menilai membatasi cakupan kerja sukarelawan sipil tidak hanya dapat menurunkan motivasi mereka yang datang untuk membantu tetapi juga membuat daerah dengan bantuan terbatas merasa terabaikan.

“Penting bagi masyarakat untuk datang dan mendengarkan apa yang dibutuhkan atau dikatakan oleh para korban. Ada kebutuhan untuk melakukan diversifikasi cara untuk meminta bantuan, seperti pemerintah kota yang meminta bantuan sendiri, selain pendaftaran yang saat ini dilakukan melalui prefektur,” tuturnya.

Adapun gempa bumi pada Tahun Baru di pantai Laut Jepang merenggut lebih dari 240 korban jiwa, memicu kebakaran, dan meninggalkan jejak kehancuran.

Sumber : KYODO-OANA