100 Hari Pertama Donald Trump di mata New York Times

id trump

100 Hari Pertama Donald Trump di mata New York Times

Presiden Amerika Serikat Donald Trump. (reuters)

Jakarta (antarasulteng.com) - Salah satu media massa terkemuka Amerika Serikat yang kerap menyerang dan diserang Presiden Donald Trump menuliskan editorial mengenai 100 hari pertama pemerintahan Trump dengan menyoroti kegagalan sang presiden dalam mengganti Obamacare yang disebut koran ini sulit diloloskan Senat sehingga menciptakan ilusi.

Harian ini menyebut kegagalan mencabut Obamacare telah membuat Amerika menyimpulkan sang presiden tidak menepati janjinya.

The Times juga menyoroti intrik di antara orang-orang dalam Trump di Gedung Putih antara kaum kosmopolit melawan kaum anarkis pimpinan Kepala Staf Gedung Putih Steve Bannon. Juga disorot dominasi kulit putih dan lelaki dalam kabinet, selain ketiadaan strategi dan visi.

"Pemerintahan ini hanya bisa memainkan komedi. Sayang petualangan perlindungan kesehatan (mencabut Obamacare) telah menunjukkan kapasitas Tuan Trump dalam membuat kerusakan, melalui ketidakkompetenan dan ketidakpeduliannya, kalau bukan langkah yang efektif. Ketimbang membangun fondasi untuk Affordable Care Act (Obamacare), dan mengambil manfaat dari sistem yang sudah ajeg, Tuan Trump telah mengikis prospek perlindungan kesehatan terjangkau dengan fitnah ketidakpedulian," tulis New York Times.

The Times menyebut sang presiden tidak tahu bagaimana harus bekerja sebagai presiden yang diperparah oleh minimnya pengetahuan dia soal birokrasi dan oleh ketidakpeduliannya sendiri.

The Times mengkritik Trump melakukan negosiasi, baik di tingkat nasional maupun internasional, termasuk dalam masalah Korea Utara yang kemudian diakuinya ternyata rumit, dengan berdasarkan kepada keyakinan bahwa semua orang memiliki motif sama dengan dia, yaitu mengejar laba.

Trump kesulitan bernegosiasi dengan legislatif yang ingin memuaskan konstituen-konstituennya sehingga berseberangan dengan kepentingan nasional. Untuk bersepakat dengan parlemen, tulis The Times, lebih merupakan seni ketimbang dagang belaka.

Ini realitas yang dihadapi Trump sehingga dia kemudian menyerah kepada parlemen dalam soal pendanaan tembok perbatasan Meksiko-AS di mana para politisi Demokrat mengancam memblok rancangan anggaran sampai September nanti jika memasukkan pendanaan untuk tembok itu. Trump akhirnya menyerah tidak memasukkan anggaran untuk tembok perbatasan Meksiko, dari pada nanti harus menghadapi fakta berhentinya (shut-down) layanan pemerintah gara-gara legislatif enggan menyetujui anggaran ajuan pemerintah.

"Saya tadinya mengira tugas (menjadi presiden) akan mudah," aku Trump kepada Reuters yang kemudian dikutip lagi The Times.

Surat kabar bergengsi AS ini kemudian bertanya, "Apakah itu pertanda dia sudah belajar dari perannya (sebagai presiden AS)? Kenyataannya mungkin demikian."

The Times lalu merujuk kepada ditariknya lagi retorika-retorika keras Trump karena menghadapi tuntutan praktis di lapangan, seperti tidak lagi ngotot menekan program nuklir Iran dan tidak lagi menuduh China memanipulasi mata uang.

Dia juga berubah pragmatis dengan mengganti orang-orang terdekatnya yang kontroversial seperi penasihat keamanan nasional Michael Flynn yang rekeningnya dialiri uang Rusia dan Turki, dengan Letjen H. R. McMaster yang lebih kompeten.

Namun The Times mengkritik usaha terus-terusan Trump dalam mem-bully imigran gelap dan kaum minoritas. "Dia terlihat tidak berminat menjangkau kalangan di luar minoritas rakyat Amerika yang telah memilihnya," tulis The Times. Padahal ini adalah salah satu alasan di balik turunnya tingkat penerimaan publik yang merupakan  paling rendah dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya AS.

Kemudian, pada salah satu dari dua paragraf terakhir editorialnya ini, The Times menguliti tema sentral kampanye Trump yaitu membuat Amerika besar kembali (make America great again), khususnya menjanjikan lapangan pekerjaan bagi mereka yang membuat dia terpilih sebagai presiden.

"Ini malah membuktikan hal paling kosong dari janji-janjinya. Program infrastruktur raksasa yang memang semestinya menciptakan lapangan kerja, tak kunjung terlihat," ulas The Times.

Yang malah terjadi Trump mati-matian ingin memangkas pajak yang disebut The Times akan lebih banyak menguntungkan kaum kaya. Kebijakan menderegulasi industri energi juga disebut harian ini hanya akan membuat raksasa-raksasa energi seperti Koch Bersaudara kian kaya saja.

Pada bagian akhir editorialnya, The Times menyindir bahwa satu-satunya yang barangkali membuat rakyat Amerika masih percaya kepada presidennya adalah upayanya memanfaatkan jabatan demi memperluas kerajaan bisnisnya. (skd)