Palu (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah mengingatkan pemerintah daerah (pemda), soal masifnya pertambangan batuan dan pasir di Kota Palu dan Kabupaten Donggala.
"Bencana banjir yang terus berulang, harus menjadi peringatan bagi semua pihak, bahwa daya tampung dan daya dukung lingkungan di sepanjang pesisir Palu-Donggala sudah tidak memadai lagi, untuk diberikan izin pertambangan," kata Koordinator Jatam Sulteng Taufik di Palu, Minggu.
Banjir melanda Kelurahan Watusampu, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Minggu (1/9). Banjir mengakibatkan ruas jalan Palu-Donggala tertutup, kendaraan antri hingga lima kilometer dan masuk di pemukiman warga setempat. Banjir juga terjadi di Bulan Agustus 2024 yang terjadi di Kelurahan Buluri, Ulujadi, Kota Palu.
Menurut dia, banjir yang terus melanda wilayah pesisir Palu-Donggala, selain diakibatkan curah hujan yang tinggi, banjir yang bercampur lumpur diduga karena masifnya kegiatan pertambangan batuan dan pasir yang ada di sepanjang pesisir Palu Donggala.
Alumni Fakultas Hukum Untad itu meminta Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, Pemerintah Kota Palu dan Kabupaten Donggala, untuk melakukan evaluasi seluruh konsesi izin pertambangan yang saat ini beroperasi.
"Selain evaluasi, harus melakukan audit lingkungan terkait daya tampung dan daya dukung lingkungan, di sepanjang pesisir Palu Donggala," katanya menegaskan.
Senada dengan itu, Aktivis Walhi Sulteng Yusman menuturkan bahwa banjir di Kelurahan Watusampu, terjadi akibat padatnya aktivitas tambang galian batu dan pasir. Pihaknya juga mempertanyakan perkembangan pertemuan Wali Kota Palu dengan pengusaha tambang yang beroperasi di Kota Palu pada Juli 2024.
"Ini tambang-tambang seperti kebal hukum. Padahal dekat sekali dengan kantor Pemerintah Kota Palu, DLH Sulteng dan Gubernur, ada apa ini? masyarakat setiap hari mengeluh debu dan hujan mengeluhkan banjir," katanya.