Jakarta (ANTARA) - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, target Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan mencapai 100 persen energi terbarukan pada 2040, merupakan sinyal positif untuk mempercepat transisi energi di Indonesia.
Selain itu, pernyataan yang disampaikan Prabowo saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Rio de Janeiro, Brasil (19/11) itu, kian mendukung pembatasan pemanasan bumi sebesar 1,5 derajat Celcius sesuai Persetujuan Paris.
“Ambisi Presiden untuk mewujudkan rencana swasembada energi hijau perlu dilanjutkan dengan kepemimpinan dan perintah tegas kepada para menteri terkait dan PLN untuk menyusun target, peta jalan yang rinci, rencana yang terukur, yang didukung dengan kebijakan dan regulasi yang selaras untuk mencapai target tersebut,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Fabby menyatakan, pengakhiran operasi PLTU batu bara adalah langkah krusial untuk mencapai target transisi energi berkeadilan.
Berdasarkan analisis IESR, untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050, Indonesia perlu mengurangi kapasitas dan pembangkitan listrik dari PLTU batu bara sebesar 11 persen pada 2030, lebih dari 90 persen pada 2040, dan menghentikan operasional PLTU seluruhnya di 2045.
Langkah ini juga memungkinkan penetrasi energi terbarukan mencapai 40 persen dalam bauran energi primer di sektor listrik pada 2030.
Mengutip studi IESR berjudul Beyond 443 GW menunjukkan, Indonesia mempunyai total potensi teknis energi surya, angin, air dan biomassa 7.879,43 GW dan 7.308,8 GWh untuk Pumped Hydro Energy Storage (PHES). Dengan potensi ini, Indonesia dapat mengandalkan sumber daya energi terbarukan untuk bertransisi secara cepat dan berbiaya rendah.
“Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN perlu segera menyelesaikan peta jalan pengakhiran operasi PLTU sebagaimana yang diamanatkan oleh Perpres No. 112/2022 dengan jangka waktu 2040,” jelasnya.
Dengan demikian, Pemerintah dapat menentukan secara pasti tahapan pengakhirannya, skema pendanaan dan pembiayaan, pembangunan kapasitas energi terbarukan, penyimpan energi, hingga mempersiapkan rencana untuk mengatasi dampak sosial dan ekonomi bagi pekerja yang terdampak.
Fabby juga mengingatkan bahwa pengakhiran PLTU batu bara juga memerlukan investasi yang besar untuk membangun pembangkit energi terbarukan dan penyimpan energi untuk menggantikan listrik yang dibangkitkan PLTU, memenuhi pertumbuhan permintaan listrik dan menjaga kehandalan.
Dibutuhkan investasi sekitar 1,2 triliun dolar AS hingga 2050 untuk memenuhi kebutuhan energi dengan sumber daya terbarukan, terutama energi surya, pembangunan penyimpan energi dan jaringan transmisi.
Selain itu, diperlukan biaya untuk mengakhiri operasi PLTU secara dini, khususnya IPP yang memiliki kontrak dengan PLN hingga 2056. Pemerintah dapat mencoba skema pembiayaan campuran (blended finance) dan karbon kredit dari proyek yang mendukung transisi energi (transition carbon credit) untuk membiayai pengakhiran operasi dini PLTU.
Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo mengatakan, penghentian dini semua PLTU batu bara di jaringan PLN tahun 2040 dapat menghindarkan 182,000 kematian dini karena polusi udara, serta mengurangi beban biaya kesehatan hingga 130 miliar dolar AS (sekitar Rp 1.900 triliun).
Terdapat 4,5 GW PLTU yang sudah tua dan tidak efisien yang dapat dipensiunkan segera sehingga dapat mengurangi emisi hingga 28,8 juta ton CO2 per tahun, sekaligus meningkatkan kualitas udara, air dan kesehatan masyarakat.
“Meskipun langkah penghentian PLTU ini memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang signifikan, beban biaya untuk pensiun dini PLTU, utamanya biaya pensiun aset, penurunan pendapatan pemerintah, serta biaya transisi pekerja diperkirakan mencapai 4,6 miliar dolar AS hingga 2030. Biaya meningkat sesuai dengan akselerasi pengakhiran PLTU hingga mencapai 27,5 miliar dolar AS pada rentang waktu 2040-2050. Oleh karena itu, dukungan pendanaan internasional menjadi sangat penting untuk memastikan transisi ini berjalan secara adil dan berkelanjutan,” papar Deon.
Di sisi lain, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR Arief Rosadi mengungkapkan pernyataan presiden untuk mencapai NZE sebelum 2050 perlu dituangkan pada kebijakan iklim dan energi yang lebih ambisius.
Arief menyebut aksi dan kebijakan iklim Indonesia saat ini dikategorikan sangat tidak mencukupi (critically insufficient) berdasarkan evaluasi Climate Action Tracker (CAT).
Artinya, upaya untuk meredam pemanasan global yang dilakukan pemerintah masih jauh dari cukup. Terdapat kesenjangan yang jauh antara kebijakan sekarang dan tingkat emisi yang ditaksir adil (fair) dan setara (equitable) untuk membatasi pemanasan 1,5 derajat Celcius.
“Berdasarkan perhitungan CAT, untuk sejalan dengan pembatasan kenaikan 1,5 derajat celcius, NDC bersyarat harus ditetapkan pada 28 persen dan 51 persen di bawah level 2019, pada 2030 dan lebih ambisius lagi di tahun 2035. Kolaborasi dan bantuan internasional adalah aspek yang sangat penting untuk Indonesia,” kata Arief.
Adapun Presiden Prabowo menyampaikan Indonesia optimis mencapai target karbon netral (net zero) sebelum 2050 sebagai kontribusi untuk menurunkan suhu global.
Ia mengungkapkan dengan melimpahnya sumber daya, Indonesia berencana untuk menghentikan operasional pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dalam 15 tahun ke depan.
Hal senada diungkapkan pula dalam forum APEC CEO Summit Peru 2024. Prabowo menegaskan bahwa Indonesia akan mencapai swasembada energi hijau dalam beberapa tahun ke depan dan 100 persen listrik yang dipasok dari energi terbarukan dalam waktu sepuluh tahun.