Morowali (ANTARA) - Sepetak tanah kosong yang berdiri di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, dibeli Aziz sebelas tahun yang lalu, tepat pada 2014. Banyak yang menganggap lahan itu sia sia.
Tapi, bagi Aziz, tanah itu bukan sekedar petak kosong. “Ini bukan tanah mati,” gumamnya pelan, hampir seperti doa.
Doanya diijabah, saat bisik bisik kabar, bahwa sebuah Kawasan industri raksasa akan diresmikan, berdekatan dengan tanah yang dibelinya. PT Indonesia Morowali Industrial (IMIP), nama yang saat itu masih asing di telinga warga.
Bermodalkan informasi itu, Aziz tak menunggu kepastian, ia membangun sepuluh petak kos kosan. Modalnya pas-pasan. Tapi asanya besar. “Pekerja akan datang dan mereka akan butuh tempat tinggal,” pikirnya.
Tak perlu waktu lama. Kos kosan yang dibangun Aziz diserbu pekerja dari berbagai penjuru negeri. Saat ini, sepuluh gerbang kecil itu mengalirkan nafkah untuk keluarga kecilnya yang saat ini hidup di tanah Bahodopi.

Tak ingin terjebak pada satu peruntungan, tiga tahun kemudian ia melebarkan sayap dengan menjadi agen BRILink, melayani ribaun transaksi keuangan karyawan kawasan industri dan masyarakat Bahodopi. "Kalau ada peluang, jangan tunggu. Tangkap dan kunci dengan usaha,” tandasnya.
Aziz merupakan pria perantau dari Wajo, Sulawesi Selatan yang tiba di Morowali pada tahun 2000 bersama kedua orang tuanya. “Waktu itu, saya datang ke sini hanya membawa semangat. Belum terbayang akan seperti apa hidup disini,” tutur Aziz.
Lalu Di Bahodopi
Jauh sebelum kawasan industri IMIP mengubah wajah Bahodopi menjadi kota insdustri yang sibuk, wilayah ini adalah sebuah perkampungan kecil yang hidup dalam kesederhanaan. Berdampingan dengan alam dan jauh dari kemajuan teknologi.
Menyusuri Lorong waktu itu, bukan dengan mesin waktu, tetapi lewat cerita warga Morowali yang masih mengingat dengan jelas wajah lama Bahodopi. Asbaruddin, warga Bungku yang masa kecilnya masih lekat dengan aroma tanah basah dan sunyi yang panjang Bahodopi, yang dulunya adalah sebuah Desa bukan Kecamatan.
“Saya masih ingat waktu dibonceng bapak pakai motor. Jalanan sepi, rumah rumah jarang sekali. Kalau ada kendaraan lewat, semua orang keluar. Anak anak kejar kejar motor, seperti belum pernah melihatnya,” kenangnya.
Rumah panggung menjadi arsitektur umum masyarakat kala itu. Dibangun dari kayu dan berdiri di atas tanah rawa atau bersemak. Bahodopi dihuni oleh keluarga keluarga kecil yang hidup dari laut dan hutan.
Mata pencaharian utama hanyalah bertani dan melaut. Bahkan, ekonomi uang belum benar benar berlaku.
“Lalu disitu ada hanya ada kebun, sawah dan hutan,” ujarnya.
29 Mei 2015, kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.
Memang pada tahun 2009, perusahaan tambang raksasa asal Tiongkok, Tsingshan bekerjasama dengan PT Bintang Delapan Investama, membentuk PT Sulawesi Mining Investment (SMI). Tanpa banyak gembar gembor, mereka mengantongi izin untuk mengembangkan tambang nikel seluas hampir 47.000 hektare di Morowali.
Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Tiongkok, Xi Jinping menandatangani kesepakatan pendirian kawasan indstri dalam forum binis Indonesia-Tiongkok di Jakarta.
Juli 2013, tiang pancang pertama didirikan di atas tanah Bahodopi. Bahodopi berubah dalam sekejap.
Dari perkampungan sunyi menjadi pusat hilirisasi nikel nasional. Dari ladang dan rawa, tumbuh cerobong cerobong baja setinggi langit. Rumah rumah kayu yang sebeumnya berdiri, berubah jadi bangunan permanen.
“Nah, kampung itu berubah saat perusahaan tambang mulai masuk. Warga warganya sudah mulai membangun rumah yang bagus. Banyak juga pendatang dari luar Kabupaten Morowali yang memilih tinggal di Bahodopi,” terang Asbaruddin.
Kawasan ini menjadi proyek strategis nasional dan objek vital nasional. Gelar ini menjadi tanda bahwa IMIP punya peran strategis untuk negara.

Kota Indsutri Tak Pernah Tidur
Tak lengkap rasanya menulis kisah tanpa melihat langsung dengan mata kepala. Pada 6 Juli 2025, saya menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di kawasan IMIP.
Pesawat Wings Air dari Bandara Mutiara SIS Al-Jufri, Palu, mengantarkan saya ke Bandara Maleo Morowali. Dari sana, perjalanan darat selama sekitar empat jam membawa saya Bersama belasan jurnalis lainnya menuju Bahodopi.
Ini merupakan Media Tour yang digelar IMIP. Tujuannya sebagai wujud komitmen terhadap keterbukaan informasi dan akurasi publikasi.
Saat memasuki kecamatan ini, pemandangan yang dulu berisi hamparan sawah dan pohon kelapa kini berubah wajah. Lahan-lahan itu telah menjelma menjadi deretan kos-kosan, warung makan, dan toko kebutuhan pokok.
Tsinghan Wisma IMIP menjadi persinggahan dan tempat beristirahat setelah perjalanan panjang Palu–Morowali. Namanya wisma, tapi fasilitasnya bak hotel bintang lima.
Tung… tung… tung… bunyi dentang besi berpadu dengan dengung. Waktu menunjuk pukul 02.00 WITA, namun kawasan ini tak mengenal malam. Dari jendela kamar wisma, pemandangan yang terlihat sama persis seperti enam jam sebelumnya.
Dari 2.000 hektare, kemudian mencapai angka 4.000 hektare lahan, kini tumbuh kota industri yang hidup 24 jam sehari. Jumlah pekerja mencapai 85.423 orang hingga awal Mei 2025.
Puluhan ribu pekerja ini hidup dalam siklus tiga kali pergantian sif, masing-masing delapan jam. Seperti jarum jam yang terus berputar, tak ada yang berhenti.
"Iya, di sini siftnya 8 jam kerja," tutur Qadri, salah satu karyawan IMIP.
Di setiap pergantian sif, Jalan Trans Sulawesi di luar kawasan industri berubah menjadi arus deras kendaraan. Kendaraan karyawan mengular panjang. Kemacetan menjadi semacam penanda pergantian "denyut" kawasan ini.
“Saya biasanya ke kantor itu hanya jalan kaki. Atau numpang sama pekerja lain. Macet sekali kalau sudah pergantian sif,” jelasnya.
Pekerja IMIP datang dari berbagai penjuru. Sulawesi, Jawa, Sumatera, Maluku, hingga Papua, mencari rezeki dari kilau logam yang kelak disebut-sebut sebagai tulang punggung baterai kendaraan listrik dunia.
Dari jumlah pekerja itu, 93 persen adalah putra-putri Sulawesi dan sisanya 7 persen datang dari luar pulau. Para pekerja ini menjadi nadi penggeraK, operator mesin, teknisi produksi, penerjemah, serta koordinator dan supervisor.
Pekerjaan Rumah IMIP
Industri ini mengolah bijih nikel siang malam, mengubahnya menjadi logam berharga yang mengalir ke pasar dunia. Namun di balik gemuruh itu, tersimpan pula pekerjaan rumah terkait keselamatan kerja dan dampak lingkungan.
Pekerjaan rumah tersebut sedikit demi sedikit diselesaikan IMIP. Dari sisi lingkungan, mereka menenun hamparan hijau dan energi bersih.
Langkah pertamanya adalah kendaraan listrik. Di setiap sudut kawasan, deretan electric vehicle melaju tanpa asap. Transisi energi yang digaungkan pemerintah. Pabrik-pabrik pendukung pun dibangun, membentuk klaster kendaraan listrik layaknya ekosistem yang saling menghidupi.
IMIP juga menyalakan obor energi ramah lingkungan. Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). PLTS seluas 224,73 hektare menyerap cahaya siang dan mengubahnya menjadi daya 200 MW.
Di sisi lain, transisi menuju PLTG terus didorong, salah satunya lewat pemanfaatan PLTU Gas Buang oleh tenant di kawasan.
Pengelolaan limbah dan pengawasan kualitas udara dilakukan sesuai aturan pemerintah, demi memastikan langit Morowali tetap biru.
Di luar kawasan, IMIP menanam hutan baru di dalam air. Mangrove yang menahan gelombang serta terumbu karang yang direhabilitasi lewat transplantasi. Sementara di daratan, 270 hektare lahan tambang direhabilitasi dan dihijaukan kembali.
"Kami terus berkomitmen untuk menjaga lingkungan, baik di dalam maupun di luar kawasan industri PT IMIP," tutur Emilia Bassar, Direktur Komunikasi PT IMIP.
Pekerjaan rumah IMIP dalam menjaga nyawa pekerjanya juga dilakukan. Dari sekitar 50 tenant yang berdiam di kawasan itu, 23 di antaranya sudah mengantongi sertifikat SMK3 (Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja).
"Kemarin, semua insiden yang terjadi di kawasan IMIP sudah kami laporkan ke Dinas Tenaga Kerja Provinsi. Setiap pekerja kami bekali peta jalan SOP sebelum melangkah. Kami pun rutin mengasah keterampilan mereka lewat pelatihan dan sertifikasi," ungkap HR Head PT IMIP, Achmanto Mendatu.

Saat berada di kawasan IMIP, saya dan belasan jurnalis lain diajak ke sejumlah tenant. Salah satunya adalah PT Dexin Steel Indonesia (DSI). Bukan untuk melihat produksi nikel, melainkan pameran "perisai" untuk para pejuang pabrik, seperti helm hingga pakaian kerja layaknya zirah.
Bahkan, teknologi modern hadir dalam wujud Virtual Reality (VR) yang membawa pekerja baru masuk ke dunia simulasi.
Mereka dapat merasakan kerja lapangan tanpa harus menjejakkan kaki di tengah mesin. VR bak menjadi guru tak kasatmata yang mengajarkan gerak aman di tengah potensi risiko.
Bagi IMIP, PT DSI, dan sejumlah tenant lain, keselamatan kerja bukan sekadar aturan, melainkan pagar yang menjaga agar roda industri berputar tanpa mengorbankan nyawa.
Dari IMIP untuk Negara
Jejak IMIP di lembar pendapatan negara juga tak terbantahkan. Triliunan rupiah mengalir untuk negeri setiap tahunnya. Pada tahun 2023, iuran dari IMIP mencapa 1,16 miliar dolas AS, atau sekitar Rp18,68 triliun (kurs Rp16.100 per dolar AS). Meski jumlah itu sedikit turun dbandingkan tahun 2022.
"Nah, ini untuk royalti atau pajak yang sudah kita bayar ke negara di tahun 2023," tutur Emilia Bassar.
Tak hanya pajak, kantong investasi yang digelontorkan IMIP selama satu dekade terakhir pun bak bendungan raksasa. Totalnya mencapai 34,3 miliar dolar AS atau setara Rp552,23 triliun pada periode 2015-2024.
Angka ini menanjak dari catatan sebelumnya yakni 29,6 miliar dolar AS (2015-2022) dan 30,14 miliar dolar AS (2015-2023).
Dari jalur ekspor, devisa yang mengalir ke Tanah Air hingga November 2024 mencapai 14,45 miliar dolar AS atau sekitar Rp232,65 triliun.
Tak hanya itu, kontribusi sektor pertambangan mineral dan batu bara juga terekam dalam lembar kebijakan fiskal nasional. Meski tidak spesifik dari IMIP saja.
Berdasarkan Buku Alokasi dan Rangkuman Kebijakan Transfer ke Daerah Tahun Anggaran 2025 yang diterbitkan Kementerian Keuangan RI, alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) untuk Provinsi Sulawesi Tengah dari sektor ini mencapai Rp229,8 miliar dan untuk Kabupaten Morowali sebesar Rp293,1 milliar.
Angka tersebut menjadi bagian penting dari total transfer pusat ke daerah sebesar Rp2,99 triliun pada 2025, sekaligus menegaskan betapa strategisnya sektor mineral dan batu bara sebagai penopang fiskal daerah.
Berdiri sejak 2013, peningkatan ini berkontribusi besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Morowali, yang per Juni 2024 mencapai Rp346,381 miliar.

IMIP merupakan pengelola kawasan industri terpadu bukan perusahaan tambang. Di dalamnya terdapat 56 tenant, termasuk perusahaan tambang, smelter, dan manufaktur lainnya.
IMIP menyedikan infrastruktur dan mengelola Kawasan, agar tenant bisa beroperasi secara efisien dan terintegrasi.
Tenant-tenant itu datang dari berbagai penjuru bumi. Tiongkok, Jepang, Australia, India, dan tentu saja tanah air sendiri.
Bahodopi, Morowali, kini berdiri sebagai saksi bahwa di balik kilau nikel, ada denyut kehidupan, harapan, dan cuan yang terus mengalir untuk negeri.
