Jakarta (ANTARA) - Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah (MDP) IPB University menyatakan Kementerian Pertanian (Kementan) perlu memperbaiki data petani penerima pupuk bersubsidi secara terintegrasi.
Menurut Ketua Program Studi Manajemen MDP A Faroby Falatehan ketidaksinkronan data di lapangan menjadi akar masalah dari pendistribusian pupuk bersubsidi saat ini.
"Ketidakuratan informasi dan data sebagai dasar penetapan target dan tujuan yang ingin dicapai menjadi tantangan dalam penyaluran pupuk bersubsidi yang adil dan tepat sasaran," ujar dia dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
APBN 2025, tambahnya, telah mengalokasikan dana Rp44 triliun setara alokasi volume subsidi pupuk 9,5 juta ton bagi 14,9 juta petani rawan tidak tepat sasaran.
Saat ini, sumber data petani tersebut ada di dinas kependudukan dan catatan sipil, sensus pertanian, Badan Pusat Statistik, penyuluh pertanian dan babinsa.
Saat FGD bertajuk "Menata Data, Menjamin Asa: Mewujudkan Penyaluran Pupuk Bersubsidi yang Adil dan Tepat" yang diselenggarakan Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah (MDP) IPB University, Faroby mencontohkan, dalam kurun 2023-2025, serapan pupuk bersubsidi mengalami tren penurunan.
Pada 2023, serapan pupuk bersubsidi hanya 79 persen dari alokasi pupuk bersubsidi sebanyak 7,85 juta ton, pada 2024 turun menjadi 77 persen dari alokasi yang meningkat 9,55 juta ton.
Adapun, hingga September 2025, pupuk bersubsidi terserap 5,33 juta ton (58 persen) dari alokasi sebanyak 9,55 juta ton.
Hasil survei MPD IPB menemukan data penerima maupun RDKK pupuk bersubsidi terdapat perbedaan data antara orang yang berprofesi sebagai petani berdasarkan dokumen kependudukan dengan orang benar-benar bermata pencaharian petani sejumlah 68 persen.
Survei itu juga menemukan perbedaan data antara orang yang bermata pencaharian sebagai petani namun belum tergabung ke dalam kelompok tani (poktan) sejumlah 12 persen.
Kemudian, adanya perbedaan data antara orang yang bermata pencaharian sebagai petani namun tidak masuk ke dalam RDKK sejumlah 32 persen.
Begitu juga menyangkut data antara komoditas yang diusahakan petani penerima pupuk bersubsidi dengan komoditas yang seharusnya diusahakan berdasarkan RDKK sejumlah tujuh persen.
Survei MD IPB itu juga menemukan perbedaan data antara luas lahan yang sebenarnya diusahakan oleh petani penerima pupuk bersubsidi dengan luas lahan yang tercantum pada rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) sejumlah 66 persen.
Setidaknya terdapat permasalahan di lapangan yang menjadi catatan MD IPB yakni banyak petani yang belum terdata dalam e-RDKK, dokumen kependudukan petani banyak yang mengalami masalah, masih ditemukan petani yang tidak masuk kriteria, namun tetap masuk ke dalam eRDKK.
"Hal ini menyebabkan realisasi serapan pupuk bersubsidi tidak selalu optimal setiap tahunnya," ujarnya.
Faroby menjelaskan langkah perbaikan yang perlu ditempuh pemerintah, mulai dari meninjau kebutuhan pupuk bersubsidi nasional, penyusunan aturan pendataan yang kredibel, pembentukan lembaga khusus pendataan, hingga penguatan anggaran pemutakhiran data.
Penguatan pembinaan kelompok tani serta intensifikasi pemetaan lahan spasial dinilai penting untuk memastikan karakteristik lahan dan tanah tercatat secara presisi.
Dia mengingatkan perbaikan data menjadi fondasi untuk menghadirkan tata kelola pupuk bersubsidi yang inklusif, ini diharapkan memastikan petani berhak memperoleh pupuk secara adil dan tepat sasaran, sekaligus menjaga keberlanjutan program bagi sektor pertanian nasional.
Pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menyatakan persoalan besar distribusi pupuk subsidi yang tidak tepat sasaran terletak pada pendataan petani.
Dia mencatat 30-40 persen petani padi, jagung, dan kedelai belum menerima pupuk bersubsidi, komposisi penerima juga menunjukkan ketimpangan, yang mana 38,5 persen penerima berasal dari kelompok pendapatan lebih rendah, sedangkan 61,5 persen dari kelompok pendapatan lebih tinggi.
Temuan lain memperlihatkan 35,26 persen usaha pertanian perorangan tercatat menerima subsidi setahun terakhir.
"Masih banyak petani yang seharusnya menerima tapi tidak tercatat, sementara sebagian penerima justru dari kelompok pendapatan lebih tinggi," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Pupuk Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Jekvy Hendra menjelaskan data eRDKK masih menjadi acuan utama penetapan alokasi dan penerima.
Kuota maksimal yang dapat ditebus petani mengikuti dosis rekomendasi dalam sistem, lanjutnya, Permentan 15/2025 memungkinkan realokasi ketika terjadi ketidakseimbangan antara alokasi dan serapan pupuk di daerah.
Dia menyebut perbaikan tata kelola kini dilakukan melalui pemantauan penebusan secara real time, penebusan sejak awal tahun, percepatan kontrak pengadaan, serta pembaruan data sepanjang tahun.
"Penebusan pupuk kini dapat dipantau real time dan pembaruan data bisa dilakukan kapan saja pada sistem terintegrasi," ujar Jekvy.
