Kisah Samsudin bertahan hidup dengan ubi hingga menitipkan buah hati
Seringkali kami hanya makan ubi dan pisang. Mama angkat saya selalu tawarkan kami beras, tapi saya tidak ambil
Palu (ANTARA) - Sepasang suami istri di Kelurahan Pantoloan, Kota Palu, Sulawesi Tengah, hidup di bawah garis kemiskinan. Bersama lima orang anaknya, mereka hidup bernaung di rumah yang tidak layak huni.
Setelah bencana gempa, tsunami dan likuefaksi, Jumat 28 September 2018 lalu, pengangguran dan kemiskinan menjadi dua permasalahan pokok yang terjadi di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala.
Adalah Samsudin (40) dan Nurhayati (32) di antaranya. Sejak enam tahun terakhir, apalagi setelah bencana, mereka bertahan dalam kemiskinan. Tak jarang pisang dan ubi menjadi pengganjal perut sebab tak mampu membeli beras.
Samsudin dan beberapa anggota keluarganya hidup di rumah berukuran 6x4 meter. Saat hujan, air merembes dari atap rumah yang bolong. Dapur rumahnya yang hanya terbuat dari rumbia pun sama.
Kepada tim Aksi Cepat Tanggap (ACT) Sulawesi Tengah, Samsudin bercerita jika ia hanya bekerja serabutan. Biasanya ia menjadi buruh bangunan dan mengumpulkan batu di sungai. Kemudian dijual kepada pengepul batu dan pasir.
Pria Kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu mengaku terkadang ia bersama anak dan istri harus rela menahan lapar karena tidak memiliki beras untuk dikonsumsi. Sebagai gantinya, ubi dan pisang menjadi pengganjal perut keluarga kecil tersebut.
Meski kondisi keluarganya seperti itu, Samsudin tak mau dikasihani orangtua angkatnya. Niat mereka membantu kerap ia tolak. Ia mengaku malu jika menerima bantuan, apalagi dari hasil meminta-minta.
“Seringkali kami hanya makan ubi dan pisang. Mama angkat saya selalu tawarkan kami beras, tapi saya tidak ambil. Prinsip saya banyak berdoa dan bersyukur dan satu saya tegaskan, jangan mencuri, bagaimanapun kondisi yang dialami,” kata Samsudin ketika tim ACT Sulteng menyambangi rumah mereka di Pantoloan, Senin.
Mirisnya, Samsudin mengatakan jarang memberikan makanan bergizi seperti daging kepada istri dan anak-anaknya. Jika ada, ia memperolehnya bukan dari hasil keringatnya, melainkan dari para dermawan saat Idul Adha.
“Kalau makan daging hanya setahun sekali. Itu pun kalau dikasih saat hari raya kurban,” ucap Samsudin tersenyum.
Dalam kondisi serba kekurangan, Samsudin bertekad memberikan hak pendidikan kepada anak-anaknya. Namun, untuk memenuhinya, ia terpaksa menitipkan anak pertama dan kedua pada keluarganya di Kabupaten Buol. Sementara anak ketiga dan empat adiknya tinggal bersama mereka di rumah tak layak huni itu.
“Hanya anak ketiga yang mampu saya biayai. Kedua kakaknya terpaksa saya titipkan pada keluarga di Buol,” ujarnya.
Samsudin lantas bercerita tentang masa lalunya, saat kali pertama menginjakkan kaki di tanah Kaili, Sulteng. Perantauan itu bekerja serabutan. Beberapa kali menjadi buruh bangunan, kemudian menjadi penjaga toko di Palu. Di saat itu lah ia bertemu Nurhayati.
Wanita yang hingga kini masih setia menjadi pendamping hidupnya itu adalah mualaf. Samsudin kemudian membimbingnya mencari bekal di akhirat nanti.
“Istri saya kemudian memeluk agama Islam sebelum menikah dengan saya. Kami kemudian tinggal bersama di kos-kosan di Palu,” katanya.
Meski sudah menetap lama di Pantoloan, Samsudin rupanya tak melupakan sanak keluarganya di kampung halaman. Ia pun berniat untuk kembali sekedar melepas rindu.
“Kalau nanti saya punya cukup uang, saya akan pulang kampong untuk bertemu keluarga,” katanya.
Hingga kini, Samsudin tak putus asa membanting tulang demi menafkahi keluarga kecilnya. Ia yakin kerja kerasnya itu suatu saat akan berbuah kebahagiaan.
“Saya tetap bekerja keras agar anak istri saya bisa bahagia meski dalam kondisi sederhana,” ujarnya.
Melihat kondisi ini Masyarakat Relawan Indonesia ACT Sulawesi Tengah (MRI-ACT) langsung melakukan penilaian dan menyerahkan bantuan berupa paket pangan, kasur, selimut serta sejumlah bantuan lainya.
Salah seorang anggota MRI-ACT Sulteng Sujud Sahwi mengatakan, setelah pihaknya mendapatkan informasi di media sosial ia bersama rekanya langsung menyambangi rumah keluarga miskin tersebut.
“Kalau dari kondisi kehidupannya sangat susah. Apalagi anak terakhirnya atau anak ke tujuh yang baru berusia kurang lebih satu bulan masing sangat membutuhkan perlengkapan bayi seperti susu, popok maupun pakaian,” katanya.
Kepala Cabang ACT Sulteng Nurmarjani Loulembah mengajak masyarakat maupun para dermawan untuk bersama-sama meringankan beban keluarga Samsudin melalui doa dan donasi.
“Bagi yang ingin donasi berupa uang dan barang silakan datang ke kantor kami di Jalan Mohamad Hatta Nomor 133 Kelurahan Lolu Utara Kota Palu,” katanya.
MRI merupakan sebuah organisasi massa independen, universal dan bebas melakukan kerjasama dengan berbagai pihak untuk membela kepentingan dan hak-hak masyarakat dengan berorientasi pada pembangunan masyarakat sipil yang kuat.
MRI menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam upaya mengokohkan kebersamaan dan membangun harmoni kehidupan masyarakat.
Organisasi ini beranggotakan individu-individu relawan yang memiliki komitmen dan kontribusi dalam menciptakan perubahan positif pada lingkungannya baik lingkungan mikro maupun makro atas dasar prinsip kesukarelaan sebagai wujud tanggungjawab sosial sebagai individu, sebagai warga masyarakat, sebagai warga negara, dan sebagai warga dunia.
Sementara ACT lahir 21 April 2005, sebagai yayasan yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan. Untuk memperluas karya, ACT mengembangkan aktivitas, mulai dari kegiatan tanggap darurat, kemudian mengembangkan kegiatannya ke program pemulihan pascabencana, pemberdayaan dan pengembangan masyarakat, serta program berbasis spiritual seperti Qurban, Zakat dan Wakaf.*
Setelah bencana gempa, tsunami dan likuefaksi, Jumat 28 September 2018 lalu, pengangguran dan kemiskinan menjadi dua permasalahan pokok yang terjadi di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala.
Adalah Samsudin (40) dan Nurhayati (32) di antaranya. Sejak enam tahun terakhir, apalagi setelah bencana, mereka bertahan dalam kemiskinan. Tak jarang pisang dan ubi menjadi pengganjal perut sebab tak mampu membeli beras.
Samsudin dan beberapa anggota keluarganya hidup di rumah berukuran 6x4 meter. Saat hujan, air merembes dari atap rumah yang bolong. Dapur rumahnya yang hanya terbuat dari rumbia pun sama.
Kepada tim Aksi Cepat Tanggap (ACT) Sulawesi Tengah, Samsudin bercerita jika ia hanya bekerja serabutan. Biasanya ia menjadi buruh bangunan dan mengumpulkan batu di sungai. Kemudian dijual kepada pengepul batu dan pasir.
Pria Kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu mengaku terkadang ia bersama anak dan istri harus rela menahan lapar karena tidak memiliki beras untuk dikonsumsi. Sebagai gantinya, ubi dan pisang menjadi pengganjal perut keluarga kecil tersebut.
Meski kondisi keluarganya seperti itu, Samsudin tak mau dikasihani orangtua angkatnya. Niat mereka membantu kerap ia tolak. Ia mengaku malu jika menerima bantuan, apalagi dari hasil meminta-minta.
“Seringkali kami hanya makan ubi dan pisang. Mama angkat saya selalu tawarkan kami beras, tapi saya tidak ambil. Prinsip saya banyak berdoa dan bersyukur dan satu saya tegaskan, jangan mencuri, bagaimanapun kondisi yang dialami,” kata Samsudin ketika tim ACT Sulteng menyambangi rumah mereka di Pantoloan, Senin.
Mirisnya, Samsudin mengatakan jarang memberikan makanan bergizi seperti daging kepada istri dan anak-anaknya. Jika ada, ia memperolehnya bukan dari hasil keringatnya, melainkan dari para dermawan saat Idul Adha.
“Kalau makan daging hanya setahun sekali. Itu pun kalau dikasih saat hari raya kurban,” ucap Samsudin tersenyum.
Dalam kondisi serba kekurangan, Samsudin bertekad memberikan hak pendidikan kepada anak-anaknya. Namun, untuk memenuhinya, ia terpaksa menitipkan anak pertama dan kedua pada keluarganya di Kabupaten Buol. Sementara anak ketiga dan empat adiknya tinggal bersama mereka di rumah tak layak huni itu.
“Hanya anak ketiga yang mampu saya biayai. Kedua kakaknya terpaksa saya titipkan pada keluarga di Buol,” ujarnya.
Samsudin lantas bercerita tentang masa lalunya, saat kali pertama menginjakkan kaki di tanah Kaili, Sulteng. Perantauan itu bekerja serabutan. Beberapa kali menjadi buruh bangunan, kemudian menjadi penjaga toko di Palu. Di saat itu lah ia bertemu Nurhayati.
Wanita yang hingga kini masih setia menjadi pendamping hidupnya itu adalah mualaf. Samsudin kemudian membimbingnya mencari bekal di akhirat nanti.
“Istri saya kemudian memeluk agama Islam sebelum menikah dengan saya. Kami kemudian tinggal bersama di kos-kosan di Palu,” katanya.
Meski sudah menetap lama di Pantoloan, Samsudin rupanya tak melupakan sanak keluarganya di kampung halaman. Ia pun berniat untuk kembali sekedar melepas rindu.
“Kalau nanti saya punya cukup uang, saya akan pulang kampong untuk bertemu keluarga,” katanya.
Hingga kini, Samsudin tak putus asa membanting tulang demi menafkahi keluarga kecilnya. Ia yakin kerja kerasnya itu suatu saat akan berbuah kebahagiaan.
“Saya tetap bekerja keras agar anak istri saya bisa bahagia meski dalam kondisi sederhana,” ujarnya.
Melihat kondisi ini Masyarakat Relawan Indonesia ACT Sulawesi Tengah (MRI-ACT) langsung melakukan penilaian dan menyerahkan bantuan berupa paket pangan, kasur, selimut serta sejumlah bantuan lainya.
Salah seorang anggota MRI-ACT Sulteng Sujud Sahwi mengatakan, setelah pihaknya mendapatkan informasi di media sosial ia bersama rekanya langsung menyambangi rumah keluarga miskin tersebut.
“Kalau dari kondisi kehidupannya sangat susah. Apalagi anak terakhirnya atau anak ke tujuh yang baru berusia kurang lebih satu bulan masing sangat membutuhkan perlengkapan bayi seperti susu, popok maupun pakaian,” katanya.
Kepala Cabang ACT Sulteng Nurmarjani Loulembah mengajak masyarakat maupun para dermawan untuk bersama-sama meringankan beban keluarga Samsudin melalui doa dan donasi.
“Bagi yang ingin donasi berupa uang dan barang silakan datang ke kantor kami di Jalan Mohamad Hatta Nomor 133 Kelurahan Lolu Utara Kota Palu,” katanya.
MRI merupakan sebuah organisasi massa independen, universal dan bebas melakukan kerjasama dengan berbagai pihak untuk membela kepentingan dan hak-hak masyarakat dengan berorientasi pada pembangunan masyarakat sipil yang kuat.
MRI menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam upaya mengokohkan kebersamaan dan membangun harmoni kehidupan masyarakat.
Organisasi ini beranggotakan individu-individu relawan yang memiliki komitmen dan kontribusi dalam menciptakan perubahan positif pada lingkungannya baik lingkungan mikro maupun makro atas dasar prinsip kesukarelaan sebagai wujud tanggungjawab sosial sebagai individu, sebagai warga masyarakat, sebagai warga negara, dan sebagai warga dunia.
Sementara ACT lahir 21 April 2005, sebagai yayasan yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan. Untuk memperluas karya, ACT mengembangkan aktivitas, mulai dari kegiatan tanggap darurat, kemudian mengembangkan kegiatannya ke program pemulihan pascabencana, pemberdayaan dan pengembangan masyarakat, serta program berbasis spiritual seperti Qurban, Zakat dan Wakaf.*