Palu (ANTARA) - Pilpres 2019 telah usai dan pemenangnya adalah Pasangan Jokowi-Ma’ruf. Perbedaan yang ada telah ditinggalkan bahkan sudah bersepaham dan ini patut diberi apresiasi. Kedua kontestant Pilres tersebut kini berada dalam satu rangkaian lokomotif perubahan, meskipun berada di gerbong berbeda.
Baik Jokowi maupun Prabowo memiliki semangat yang sama menuju perubahan, Indonesia Maju dan Hebat tahun 2050. Kelompok Jokowi akan menjalankan roda pemerintahan kurun waktu 2019-2024, sedangkan kelompok Prabowo kemungkinan memosisikan diri sebagai oposan, dan nantinya berperan sebagai fungsi kontrol terhadap jalannya roda Pemerintahan.
Yang menjadi soal tersisa adalah kelompok yang belum mau ikut pada salah satu gerbong, karena satu dan lain hal. Mereka hampir dipastikan tertinggal dan menginap di stasiun. Mereka akan menunggu lama, kerena kereta berikutnya tiba lima tahun lagi. Ini tentunya bukan menjadi harapan bagi bangsa dan negara yang mau maju.
Kelompok di stasiun
Seiring dengan perputaran waktu, kelompok yang tinggal dan menginap di stasiun, kemungkinan akan terpecah menjadi tiga. Pertama, mereka yang 'fanatik mati' yaitu yang tidak mau menerima kekalahan apapun alasannya. Kedua, yang pasrah dan apa adanya. Dan ketiga adalah kelompok yang terlambat sadar.
Di antara tiga kelompok ini, maka kelompok pertama sangat sulit diajak bersama-sama dan maju. Ini kemudian bila tidak dikelola, bisa menjadi pemicu lahirnya paham 'radikalisme' bagaikan api dalam sekam, yang setiap saat bisa menyala dan menghanguskan. Terhadap kelompok ini tentunya harus diidentifikasi dan selanjutnya mendapat perlakuan khusus, karena mereka juga adalah aset bangsa dan memiliki hak hidup yang sama sebagaimana yang lain.
Dua kelompok lainnya akan berusaha dengan caranya sendiri agar tidak menginap di stasiun lebih lama. Boleh jadi mereka menggunakan bus atau kendaraan lainnya menuju stasiun kereta terdekat mengejar ketertinggalannya untuk memperdek jarak dengan lokomotif perubahan.
Lokomotif perubahan
Lokomotif terus berlari dengan kecepatan yang terus meningkat menuju stasiun singgah dan berakhir di stasiun tujuan, yaitu Indonesia Maju dan Hebat di tahun 2050. Indonesia maju dan hebat itu ditandai dengan Produk Domestik Bruto, PDB sekitar 10 triliun dollar US dan Produk Domestik Regional Bruto, PDRB sekitar 31.000 dolar US.
Pada tahun 2018, PDB negeri ini baru mencapai 1 triliun dolar AS dan PDRB atau pendapatan perkapita sekitar 3.900 dolar AS. Sementara itu proses berdemokrasi bisa berlangsung baik memilih kepala negara, kepala daerah dan anggota legislatif bila PDRB minimal 6.000 dolar AS.
Penyelenggaraan Pilkada 2020, 2022, 2024 sampai 2043 dapat dianalogikan sebagai stasiun singgah dan Pilkada 2048 merupakan stasiun tujuan. Karena itu, pengelolaan di setiap stasiun singgah harus mampu menyesuaikan dengan kecepatan lokomotif yang makin cepat dan waktu singgah yang makin pendek. Bila ini tidak mampu diantisipasi dan dikelola, maka jumlah penumpang yang tertinggal semakin banyak dan harapan Indonesia maju dan hebat semakin jauh.
Karena itu diperlukan sejumah pengelola yang update, inovatif, adaptif, tidak birokratis, demokratis dan memiliki ketegasan.
Baca juga: Opini - Pilkada 2020 dan 2022 menjadi kereta terakhir
Baca juga: Opini - Menjadi Indonesia Hebat 2050, butuh pemimpin perubahan
Tidak Boleh Terjadi
Visi-Misi Jokowi-Mar’uf telah menggambarkan bagaimana skenario agar stasiun singgah dan calon penumpang dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan itu.
Ada lima program prioritas terkait dengan adaptasi tersebut, yaitu melanjutkan program infrastruktur, pengembangan SDM dan teknologi; peningkatan investasi dan ekspor; penyelenggaraan reformasi birokrasi dan struktur; serta penghematan penggunaan APBN untuk program atau kegiatan yang dipandang tidak penting dan mendesak.
Karena itu Presiden dan wakilnya tidak boleh dibiarkan bekerja sendiri. Kepala Daerah harus bersama dengan kepala Negara dalam gerbong yang ditarik lokomotif perubahan menuju sejumlah stasiun singgah dan berakhir stasiun tujuan.
Semangat dan keinginan itu harus terus dibangun, meskipun banyak tantangan, hambatan dan perbedaan yang bakal dihadapi. Komitmen, moralitas dan semagat perubahan yang tentunya menjadi kunci.
Pilkada 2020 dan 2022
Pilkada tahun 2020 dan 2022 menjadi Pilkada yang strategis untuk melahirkan kepala daerah yang mempunyai semangat dan komitmen perubahan dan sekaligus memuluskan jalan menuju Indonesia Maju dan Hebat 2050. Tantangan terbesar adalah bagaimana menekan politik transaksional yang masih mendominasi di Pilkada sebelumnya.
Partai pengusung dan Lembaga penyelenggara pilkada dinilai sejumlah kalangan telah memiliki semangat ke arah itu, meskipun masih ditemukan kelemahan di sana-sini. Ini dapat menjadi salah satu modal dasar melahirkan pimpinan-pemimpin perubahan di daerah.
Kita semua berharap terbangun kesadaran dan komitmen dari pemilik hak suara agar tidak terperangkap lagi pada politik transaksional, dan ini dipandang menjadi tantangan terbesar dan tersulit. Para elite, generasi milenial dan semua komponen yang ingin maju, harus membangun komitmen dan mengedukasi pemilik hak suara agar dapat memilih pemimpin perubahan. Berpuasalah dahulu untuk tidak terlibat dalam politik transaksional. Di depan sana ada harapan besar mendapatkan pendapatan perkapita sebesar 31.000 dolar AS di tahun 2050, sesuai cita-cita Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.
Pilkada ini merupakan kereta terakhir, kesempatan terakhir menuju ke stasiun tujuan. Dan harus diingat bahwa kesempatan itu tidak datang untuk kedua kalinya. (*Ketua Ispikani Sulteng)
Baca juga: Sang Penerobos Batas di Era Milenial
Baca juga: Opini - Tiga harapan di pundak Jokowi-Mar'uf Amin
Opini - Indonesia Maju: Bila Berada di Rangkaian Lokomotif Perubahan
Pilkada 2020 dan 2022 merupakan kereta terakhir menuju ke stasiun tujuan dan harus diingat bahwa kesempatan itu tidak akan datang untuk kedua kalinya.