Palu (ANTARA) - Aktivis lingkungan Sulawesi Tengah (Sulteng) yang berkecimpung di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Imunitas Sulteng, Enjang menyatakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan salah satu potensi sumber daya alam yang sangat membantu perbaikan ekonomi petani.
“Produk-produk lokal khususnya produk hasil hutan bukan kayu yang kini marak dikembangkan oleh kelompok tani mesti memperoleh perhatian dan komitmen para pihak baik pemerintah maupun swasta, sehingga kelompok usaha kecil dapat bangkit dan memperoleh manfaat secara ekonomi dari produk-produk yang mereka hasilkan,” ucap Enjang, di Palu, Sabtu.
Dalam keterangan tertulis ia menyebut perlu ada program pemerintah sebagai tindaklanjut dari komitmen pemerintah dalam mengembangkan penggunaan produk lokal, supaya produk lokal yang lebih diutamakan. Penggunaan produk lokal bisa dimulai dengan mewajibkan seluruh aparat birokrasi menggunakan produk lokal sebagai bentuk proteksi pemerintah kepada produk lokal sekaligus mengembangkan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah).
Dikatakannya, sumber daya alam berupa hutan dapat menghasilkan hasil hutan berupa kayu dan bukan kayu meski di lapangan saat ini pengelolaan hutan secara pragmatis dan parsial hanya berorientasi pada komoditas tunggal. Situasi seperti ini tidak cocok lagi karena terbukti pengelolaan kayu secara masif hanya menyebabkan kerusakan yang sangat parah pada hutan-hutan produksi di Indonesia.
Dengan dimulainya peralihan pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan bukan kayu (HHBK) sedikit memberi harapan baru.
"Hutan diharapkan tetap produktif dan kelestariannya tetap terjaga," ujarnya.
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah seluruh hasil hutan yang berupa hayati dan non-hayati yang dihasilkan oleh hutan. HHBK dapat berupa barang (goods) antara lain getah-getahan, minyak atsiri, lemak, obat-obatan herbal, rotan, bambu dan lain-lain, serta servis berupa jasa lingkungan yang berupa kepariwisataan alam, fungsi ekologi, hidrologi dan sebagainya.
Produk-produk seperti itu cukup tersedia di wilayah-wilayah kita khususnya di landscape Lariang baik di Kabupaten Sigi maupun Kabupaten Poso. Diakui pengembangan dan pemanfaatan HHBK saat ini masih menghadapi kendala.
“Kesadaran geopolitik dan geostrategi Sumber Daya Hutan belum menjadikan HHBK sebagai modal utama pembangunan kehutanan. Kontribusi HHBK dipandang belum layak dalam upaya mensejahterakan rakyat banyak,” sebut dia.
Namun, salah satu masalah yang dihadapi yakni masih mengalami kebuntuan dalam konsep, evaluasi praktek pemanfaatan HHBK maupun eksekusi pengembangannya, padahal kekayaan diversitasnya merupakan kekuatan utama bagi penyediaan produk hijau berkelanjutan dan layanan hijau.
Enjang menegaskan diperlukan penyusunan konsep strategi pengembangan HHBK dalam memberi kerangka acuan dan arah kebijakan bagi daerah untuk membuat cetak biru bagi upaya membangun perekonomian wilayah berbasis HHBK secara berkelanjutan.