Purwokerto (ANTARA) - Kepolisian Resor Kota (Polresta) Banyumas segera berkoordinasi dengan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Purwokerto, Jawa Tengah, terkait dengan penanganan terhadap seorang anak SR (16) yang membakar rumah milik nenek angkatnya karena tidak diberi uang.

"Kami berencana melakukan tes kejiwaan terhadap pelaku berinisial SR, namun kami terlebih dulu akan koordinasikan dengan Bapas untuk meminta rekomendasi terkait pemeriksaan psikologis," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Banyumas Komisaris Polisi Agus Supriadi Siswanto di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jumat.

Dia mengatakan SR diamankan oleh polisi karena nekat membakar rumah nenek angkatnya berinisial N, warga Grumbul Cirangkong, Desa Kedungurang, Kecamatan Gumelar, Banyumas, pada hari Selasa (13/6), sekitar pukul 16.30 WIB, sehingga mengakibatkan kerugian sekitar Rp40 juta.


Sebelum perbuatan tersebut dilakukan, kata dia, SR diketahui meminta uang sebesar Rp6 juta kepada N dengan alasan untuk membeli gawai (HP) dan ongkos berangkat ke Kalimantan. Bahkan, SR mengancam akan merusak rumah N jika permintaannya tidak dipenuhi.

"Oleh karena kesal tidak diberi uang, SR membakar kasur kapuk dan akhirnya rumah milik N yang terbuat dari bahan kalsiboard beserta isinya ludes terbakar," kata Agus.

Menurut dia, SR diketahui tinggal bersama N sejak masih duduk di bangku kelas 2 sekolah dasar (SD) hingga kelas 2 Madrasah Tsanawiyah (MTs), sedangkan ibu kandung SR tinggal di Karawang, Jawa Barat, dan hingga saat ini tidak pernah pulang ataupun berkomunikasi.

Terkait dengan kasus tersebut, Agus mengatakan SR terancam hukuman 12 tahun penjara sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 187 KUHP.

Menanggapi kasus anak bakar rumah nenek angkatnya tersebut, sosiolog dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Tri Wuryaningsih mengatakan anak-anak sekarang dibesarkan dalam lingkungan yang sangat kompleks.

"Artinya, anak itu sekarang tidak melihat dari apa-apa yang ada di keluarganya dan lingkungan sekitarnya, tetapi mereka juga melihat dari apa yang ada di media sosial, di internet," ujarnya.

Ketika terhubung dengan dunia semacam itu, kata dia, anak-anak dihadapkan dengan berbagai masalah dan kemudian muncul-muncul figur baru yang menjadi teladan bagi mereka, terutama dari media sosial yang menghadirkan sesuatu serba glamor.

"Hal itu mengakibatkan mentalitas anak menjadi labil dan minder, misalnya beranggapan jika ingin diterima di lingkungannya harus memiliki sesuatu yang sama seperti teman-temannya," ujar Tri.

Dalam hal ini, kata dia, ketika anak-anak yang lain memegang gawai, sedangkan anak tersebut tidak punya, yang bersangkutan merasa minder dan lingkungan juga tidak ramah saat melihat situasi itu.

Menurut dia, hal tersebut menjadikan anak itu kurang dalam kematangan berpikir ataupun emosionalnya, sehingga kalau meminta sesuatu selalu memaksa atau harus dipenuhi tanpa memahami bagaimana kondisi keluarganya.

"Apalagi anak yang melakukan pembakaran rumah itu hidup bersama nenek angkatnya. Dia berkembang pada lingkungan yang tidak penuh kasih sayang, artinya kasih sayang yang seharusnya diperoleh dari kedua orang tuanya, dia tidak dapatkan," jelasnya.

Dengan demikian, kata dia, anak tersebut hidup dengan penuh kekecewaan atau luka batin yang tidak terobati, sehingga emosionalnya meledak-ledak, mudah tersulut, dan sebagainya.

Oleh karena itu, lanjut dia, dalam mendidik anak harus dengan kasih sayang serta memberi budi pekerti agar bisa memahami kondisi keluarga.

"Latar belakang anak yang tidak mendapatkan kasih sayang yang utuh dapat mengakibatkan mentalitas anak menjadi bermasalah," ujar Ketua Forum Komunikasi Pengarusutamaan Gender Kabupaten Banyumas itu.

 

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Andilala
Copyright © ANTARA 2024