Palu, Sulteng (ANTARA) - Eksploatasi besar-besaran tambang nikel di perut bumi Morowali Utara telah menjadikan daerah ini bertumbuh pesat di bidang ekonomi dan kesejahteraan melalui penciptaan lapangan kerja yang luas.
Akibatnya, arus urbanisasi ke daerah berpenduduk sekira 125.000 jiwa ini guna mencari pekerjaan dan peluang bisnis di sektor tambang dan jasa-jasa, tak dapat dibendung.
Arus urbanisasi ini menimbulkan dampak kebudayaan terhadap kebudayaan asli masyarakat setempat, yang salah satunya mengancam kepunahan bahasa Mori, sebagai penduduk asli dan terbesar di kabupaten otonom yang terpisah dari Morowali pada 2013 ini.
Kepala Balai Bahasa Sulawesi Tengah Dr Asrif dalam perbincangan dengan MCDD di Palu baru-baru ini mengemukakan kekhawatirannya terhadap bahasa Mori yang terancam punah oleh kehadiran industri pertambangan, bila tidak segera dilakukan revitalisasi untuk penyelamatan.
"Alhamdulillah, tahun 2024 ini, Bahasa Mori sudah kami masukkan sebagai salah satu prioritas dalam program revitalisasi bahasa daerah di Sulteng oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bersama bahasa Kaili, Pamona, Banggai dan Saluan.
Mengapa bahasa Mori masuk program revitaliasi yang akan diseriusi Kemendikbus untuk penyelamatan? ada beberapa alasan yakni:
1. Bahasa Mori adalah bahasa minoritas, penuturnya tidak banyak.
2. Bahasa ini berada di kawasan tempat kehadiran bayak bahasa lain yang secara budaya akan mengganggu bahasa minoritas. Kondisi minoritas ini akan makin melemahkan bahasa Mori di tengah pendatang yang begitu banyak dengan membawa bahasa dan budayanya sendiri.
3. Bahasa Morit tidak memiliki pertahanan diri. Misalnya, belum ada regulasi berupa peraturan daerah atau peraturan bupati tentang perlindungan bahasa Mori yang secara hukum memaksa penggunaan bahasa ini.
"Ini yang membuat bahasa Mori rentan punah karena tidak memiliki infrastruktur untuk menjaganya. Titambah lagi dengan tidak baiknya sikap positif penutur muda dalam penggunaan bahasa ini," ujar Asrif.
Sikap positif yang dimaksud adalah minimnya militansi generasi muda Mori menggunakan bahasa daerahnya dalam interaksi sesama orang Mori setiap hari, baik di rumah, sekolah, pasar, tempat ibadah, dan tempat-tempat pertemuan lainnya.
"Sikao militansi ini akan memperkuat sebuah bahasa itu lestari. Lihat saja orang Bugis, Jawa, Bali atau Batak. Dimana saja mereka bertemu, mereka akan menggunakan bahasa daerahnya untuk berkomunikasi," kata Asrif lagi.
Di bahasa Mori, ada indikasi bahwa penutur muda malah malu menggunakan bahasa daerahnya dalam pergaulan sehari-hari, bahkan di rumah sendiri.
"Ini akan menjadi racun dalam melestarikan bahasa mori ini," ujarnya prihatin.
Latih 50 guru inti bahasa Mori
Untuk melestarikan dan merevitalisasi bahasa Mori ini, maka Balai Bahasa Kemendikbud dan Pemkab Morut sudah membangun komitmen bersama untuk menyusun program revitalisasi bahasa Mori selama 2024.
"Kami akan menyusun bahan ajar revitalisasi untuk siapa saja, khususnya anak-anak sekolah yang mau belajar bahasa daerah ini. Revitalisasi bisa di rumah, sanggar, sekolah, rumah ibadah. Anak-anak akan diberikan rambu-rambu. Kalau mau kelas nyanyi atau kelas komedi, ayo masuk, pakai bahasa mori," katanya.
Balai bahasa akan melatih 50 orang guru inti yang selanjutnya akan melatih guru-guru lainnya di sekolah masing-masing atau sekolah lain yang belum ada guru intinya.
Kata Asrif, di sini kami perlu bantuan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Morut untuk mengarahkan para kepala sekolah, agar kegiatan guru inti ini nantinya tidak terhambat karena tidak didukung kepala sekolah, seperti yang kami temui tahun 2023 saat merevitalisasi bahasa Kaili, Pamona, Banggai dan Saluan," ujar Asrif lagi.
"Saya kira, ini adalah perjuangan suci untuk menyelamatkan bahasa Mori. Kami dari Balai Bahasa Kemendikbud sangat bersemangat karena mendapat respon yang sangat positif bahkan memiliki komitmen yang sama untuk mencegah kepunahan bahasa Mori," ujar Asrif lagi.
Akibatnya, arus urbanisasi ke daerah berpenduduk sekira 125.000 jiwa ini guna mencari pekerjaan dan peluang bisnis di sektor tambang dan jasa-jasa, tak dapat dibendung.
Arus urbanisasi ini menimbulkan dampak kebudayaan terhadap kebudayaan asli masyarakat setempat, yang salah satunya mengancam kepunahan bahasa Mori, sebagai penduduk asli dan terbesar di kabupaten otonom yang terpisah dari Morowali pada 2013 ini.
Kepala Balai Bahasa Sulawesi Tengah Dr Asrif dalam perbincangan dengan MCDD di Palu baru-baru ini mengemukakan kekhawatirannya terhadap bahasa Mori yang terancam punah oleh kehadiran industri pertambangan, bila tidak segera dilakukan revitalisasi untuk penyelamatan.
"Alhamdulillah, tahun 2024 ini, Bahasa Mori sudah kami masukkan sebagai salah satu prioritas dalam program revitalisasi bahasa daerah di Sulteng oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bersama bahasa Kaili, Pamona, Banggai dan Saluan.
Mengapa bahasa Mori masuk program revitaliasi yang akan diseriusi Kemendikbus untuk penyelamatan? ada beberapa alasan yakni:
1. Bahasa Mori adalah bahasa minoritas, penuturnya tidak banyak.
2. Bahasa ini berada di kawasan tempat kehadiran bayak bahasa lain yang secara budaya akan mengganggu bahasa minoritas. Kondisi minoritas ini akan makin melemahkan bahasa Mori di tengah pendatang yang begitu banyak dengan membawa bahasa dan budayanya sendiri.
3. Bahasa Morit tidak memiliki pertahanan diri. Misalnya, belum ada regulasi berupa peraturan daerah atau peraturan bupati tentang perlindungan bahasa Mori yang secara hukum memaksa penggunaan bahasa ini.
"Ini yang membuat bahasa Mori rentan punah karena tidak memiliki infrastruktur untuk menjaganya. Titambah lagi dengan tidak baiknya sikap positif penutur muda dalam penggunaan bahasa ini," ujar Asrif.
Sikap positif yang dimaksud adalah minimnya militansi generasi muda Mori menggunakan bahasa daerahnya dalam interaksi sesama orang Mori setiap hari, baik di rumah, sekolah, pasar, tempat ibadah, dan tempat-tempat pertemuan lainnya.
"Sikao militansi ini akan memperkuat sebuah bahasa itu lestari. Lihat saja orang Bugis, Jawa, Bali atau Batak. Dimana saja mereka bertemu, mereka akan menggunakan bahasa daerahnya untuk berkomunikasi," kata Asrif lagi.
Di bahasa Mori, ada indikasi bahwa penutur muda malah malu menggunakan bahasa daerahnya dalam pergaulan sehari-hari, bahkan di rumah sendiri.
"Ini akan menjadi racun dalam melestarikan bahasa mori ini," ujarnya prihatin.
Latih 50 guru inti bahasa Mori
Untuk melestarikan dan merevitalisasi bahasa Mori ini, maka Balai Bahasa Kemendikbud dan Pemkab Morut sudah membangun komitmen bersama untuk menyusun program revitalisasi bahasa Mori selama 2024.
"Kami akan menyusun bahan ajar revitalisasi untuk siapa saja, khususnya anak-anak sekolah yang mau belajar bahasa daerah ini. Revitalisasi bisa di rumah, sanggar, sekolah, rumah ibadah. Anak-anak akan diberikan rambu-rambu. Kalau mau kelas nyanyi atau kelas komedi, ayo masuk, pakai bahasa mori," katanya.
Balai bahasa akan melatih 50 orang guru inti yang selanjutnya akan melatih guru-guru lainnya di sekolah masing-masing atau sekolah lain yang belum ada guru intinya.
Kata Asrif, di sini kami perlu bantuan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Morut untuk mengarahkan para kepala sekolah, agar kegiatan guru inti ini nantinya tidak terhambat karena tidak didukung kepala sekolah, seperti yang kami temui tahun 2023 saat merevitalisasi bahasa Kaili, Pamona, Banggai dan Saluan," ujar Asrif lagi.
"Saya kira, ini adalah perjuangan suci untuk menyelamatkan bahasa Mori. Kami dari Balai Bahasa Kemendikbud sangat bersemangat karena mendapat respon yang sangat positif bahkan memiliki komitmen yang sama untuk mencegah kepunahan bahasa Mori," ujar Asrif lagi.