Jakarta (ANTARA) - The Constitutional Democracy Initiative (CONSID) meminta KPU RI tidak menghapus sanksi diskualifikasi bagi pasangan calon (paslon) pada pemilihan kepala daerah (pilkada) yang tidak menyampaikan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
“Sebaliknya, KPU seharusnya mengembangkan peraturan dana kampanye agar kualitas informasi yang disajikan oleh paslon lebih transparan, akuntabel, komprehensif, mudah diakses, dan lebih bermanfaat bagi publik,” ucap Ketua CONSID Kholil Pasaribu dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, rancangan Peraturan KPU tentang Dana Kampanye Peserta Pilkada 2024 yang menghapus sanksi pembatalan bagi paslon yang terlambat melaporkan LPPDK merupakan langkah mundur bagi penyelenggaraan pilkada yang bersih dari dana politik kotor.
“Pembatalan tersebut bertentangan dengan norma hukum, karena sanksi itu dianggap melebihi batas kewenangan yang diberikan undang-undang,” ujarnya.
Sebagai gantinya, KPU mengusulkan sanksi bagi paslon yang tidak menyampaikan LPPDK yakni tidak dapat mengikuti kampanye dan tidak ditetapkan sebagai paslon terpilih sampai paslon yang bersangkutan menyampaikan LPPDK.
Kholil menilai, KPU tidak konsisten dengan cara pandang dan sikap hukum yang dilakukan. Di satu sisi, kata dia, KPU tidak bisa menerapkan sanksi yang melebihi batas yang diberikan undang-undang, tetapi di saat yang sama KPU mengatur sanksi yang tidak jelas batas ukurnya.
“Jika dinyatakan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tidak mengatur sanksi bagi paslon yang tidak menyerahkan LPPDK, seharusnya tidak perlu ada sanksi sama sekali yang diberikan. Tetapi, KPU nyatanya tetap mengatur sanksi, yang jika dinilai, tidak maksimal dan jauh dari prinsip transparansi dan akuntabilitas,” kata dia.
Selain itu, CONSID menilai, penghapusan sanksi pembatalan seolah-olah memberi ruang bagi paslon untuk melakukan korupsi dan beredarnya dana ilegal. KPU juga dinilai terlalu ramah dan mengakomodir kemauan peserta pilkada.
“Penghapusan tersebut juga semakin memperkuat penilaian masyarakat bahwa lembaga ini tidak mandiri dalam membuat regulasi dan/atau menjalankan semua tahapan pilkada, inkonsisten, serta minim komitmen pada pilkada bersih dan antikorupsi,” sambung Kholil.
Lebih lanjut, Kholil mengatakan, KPU sebagai regulator teknis pilkada semestinya berwenang mengatur sanksi bagi pasangan calon yang tidak mematuhi kewajiban pelaporan dana kampanye, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pilkada.
Di samping itu, sambung dia, KPU sebagai penyelenggara pilkada berkewajiban untuk memastikan asas dan prinsip pilkada yang jujur dan adil diimplementasikan menyeluruh dalam penyelenggaraan pilkada.
“Sudah semestinya KPU tetap menerapkan pengaturan progresif yang sudah sejak lama dipraktikkan dalam penyelenggaraan pilkada serentak di Indonesia,” ucap Kholil.
Sebelumnya, KPU RI akan menghapus sanksi diskualifikasi calon kepala daerah (cakada) yang tidak menyampaikan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) dalam Pilkada Serentak 2024.
Anggota KPU RI Idham Holik di Jakarta, Jumat (2/8), menjelaskan, aturan sanksi diskualifikasi karena tak melapor LPPDK tidak diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Oleh karena itu, KPU tidak bisa membuat aturan teknis yang bertentangan dengan aturan di atasnya.
“Sebaliknya, KPU seharusnya mengembangkan peraturan dana kampanye agar kualitas informasi yang disajikan oleh paslon lebih transparan, akuntabel, komprehensif, mudah diakses, dan lebih bermanfaat bagi publik,” ucap Ketua CONSID Kholil Pasaribu dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, rancangan Peraturan KPU tentang Dana Kampanye Peserta Pilkada 2024 yang menghapus sanksi pembatalan bagi paslon yang terlambat melaporkan LPPDK merupakan langkah mundur bagi penyelenggaraan pilkada yang bersih dari dana politik kotor.
“Pembatalan tersebut bertentangan dengan norma hukum, karena sanksi itu dianggap melebihi batas kewenangan yang diberikan undang-undang,” ujarnya.
Sebagai gantinya, KPU mengusulkan sanksi bagi paslon yang tidak menyampaikan LPPDK yakni tidak dapat mengikuti kampanye dan tidak ditetapkan sebagai paslon terpilih sampai paslon yang bersangkutan menyampaikan LPPDK.
Kholil menilai, KPU tidak konsisten dengan cara pandang dan sikap hukum yang dilakukan. Di satu sisi, kata dia, KPU tidak bisa menerapkan sanksi yang melebihi batas yang diberikan undang-undang, tetapi di saat yang sama KPU mengatur sanksi yang tidak jelas batas ukurnya.
“Jika dinyatakan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tidak mengatur sanksi bagi paslon yang tidak menyerahkan LPPDK, seharusnya tidak perlu ada sanksi sama sekali yang diberikan. Tetapi, KPU nyatanya tetap mengatur sanksi, yang jika dinilai, tidak maksimal dan jauh dari prinsip transparansi dan akuntabilitas,” kata dia.
Selain itu, CONSID menilai, penghapusan sanksi pembatalan seolah-olah memberi ruang bagi paslon untuk melakukan korupsi dan beredarnya dana ilegal. KPU juga dinilai terlalu ramah dan mengakomodir kemauan peserta pilkada.
“Penghapusan tersebut juga semakin memperkuat penilaian masyarakat bahwa lembaga ini tidak mandiri dalam membuat regulasi dan/atau menjalankan semua tahapan pilkada, inkonsisten, serta minim komitmen pada pilkada bersih dan antikorupsi,” sambung Kholil.
Lebih lanjut, Kholil mengatakan, KPU sebagai regulator teknis pilkada semestinya berwenang mengatur sanksi bagi pasangan calon yang tidak mematuhi kewajiban pelaporan dana kampanye, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pilkada.
Di samping itu, sambung dia, KPU sebagai penyelenggara pilkada berkewajiban untuk memastikan asas dan prinsip pilkada yang jujur dan adil diimplementasikan menyeluruh dalam penyelenggaraan pilkada.
“Sudah semestinya KPU tetap menerapkan pengaturan progresif yang sudah sejak lama dipraktikkan dalam penyelenggaraan pilkada serentak di Indonesia,” ucap Kholil.
Sebelumnya, KPU RI akan menghapus sanksi diskualifikasi calon kepala daerah (cakada) yang tidak menyampaikan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) dalam Pilkada Serentak 2024.
Anggota KPU RI Idham Holik di Jakarta, Jumat (2/8), menjelaskan, aturan sanksi diskualifikasi karena tak melapor LPPDK tidak diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Oleh karena itu, KPU tidak bisa membuat aturan teknis yang bertentangan dengan aturan di atasnya.