Palu (Antaranews Sulteng) - Dataran Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, memilik potensi wisata yang tak kalah menarik dibanding daerah wisata budaya yang lebih maju, namun hingga kini potensi tersebut belum dikelola secara baik oleh pemerintah daerah setempat.
"Kami akui anggaran pemerintah sangat terbatas sehingga pengembangan potensi wisata disini belum tersentuh secara maksimal," kata Camat Kulawi Rolly Bagalatu saat dihubungi dari Palu, Selasa.
Dataran Kulawi, katanya, sangat cocok dikembangkan sebagai objek wisata budaya, karena masyarakat di daerah itu masih menjaga keutuhan nilai-nilai leluhurnya meskipun diperhadapkan era modern saat ini.
Daerah itu memiliki tradisi yang unik, di antaranya dalam jamuan makan adat jika menerima tamu penting.
Jamuan makan adat ini digelar di tempat-tempat tertentu yang menghadirkan seluruh tetua adat setempat dan aturan makanya pun unik, misalnya, jika ketua adat setempat belum selesai makan, maka tamu belum boleh mencuci tangan.
"Makna dari tradisi ini adalah bagamana kita menghormati orang yang lebih tua dan mengajarkan kita disiplin saat makan. Hal-hal semacam ini saja sudah diatur dalam adat, belum lagi hal-hal penting lainnya dalam tata krama bermasyarakat dan keluarga," tutur Rolly.
Peserta SMN asal Provinsi Bangka Belitung diajar membuat kain dai kulit kayu di Desa Mataue, Kecamatan Kulawi, Minggu (12/8). Pembuatan kain ini sudah ada sejak masa kerajaan Kulawi dan hingga kini masih terjaga. (Foto:Antara/Moh Ridwan) (Foto:Antara/Moh Ridwan/)
Baca juga: Siswa Babel diajar membuat pakaian adat Kulawi (vidio)
Selain potensi budaya, Kulawi juga memiliki situs cagar budaya prasejara yang terletak di Desa Bolapapu, dimana terdapat rumah Raja Kulawi yang masih utuh dan sejumlah batu zaman prasejarah yang masih tertata rapi.
Kepala Desa Mataue, Kecamatan Kulawi, Fiser Rimala mengatakan di desa itu kearifan lokal yang masih terjaga hingga saat ini salah satunya membuat kain dari kulit kayu yang umumnya diolakukan ibu-ibu rumah tangga.
Proses pembuatan kain itu cukup sulit dan memakan waktu karena kulit kayu harus dipisahkan dari batang lalu dibersihkan, setelah itu direbus dengan air secukupnya, kemudian diperam selama tiga hari tiga malam untuk menghasilkan kain yang kualitasnya bagus.
"Bahan dasarnya adalah kulit pohon nunu atau pohon beringin, dan proses pengolahannya ramah lingkungan tidak menggunakan bahan-bahan kimia, semua bahan alami," tutur Fiser.
Ia bertekad mendorong kain khas Kulawi itu menjadi salah satu daya tarik wisata domestik dan mancanegara selain dibuat khusus untuk pakaian adat.
"Kain kulit kayu ini sangat diminati wisatawan mancanegara, tak jarang ketika berkunjung mereka membeli lebih dari satu, dan kain yang sudah diolah menjadi baju adat dijual dengan harga Rp1,5 juta," ucapnya.
Batu dakon, peninggalan zaman prasejarah di Kulawi (Antaranews Sulteng/Moh Ridwan)
"Kami akui anggaran pemerintah sangat terbatas sehingga pengembangan potensi wisata disini belum tersentuh secara maksimal," kata Camat Kulawi Rolly Bagalatu saat dihubungi dari Palu, Selasa.
Dataran Kulawi, katanya, sangat cocok dikembangkan sebagai objek wisata budaya, karena masyarakat di daerah itu masih menjaga keutuhan nilai-nilai leluhurnya meskipun diperhadapkan era modern saat ini.
Daerah itu memiliki tradisi yang unik, di antaranya dalam jamuan makan adat jika menerima tamu penting.
Jamuan makan adat ini digelar di tempat-tempat tertentu yang menghadirkan seluruh tetua adat setempat dan aturan makanya pun unik, misalnya, jika ketua adat setempat belum selesai makan, maka tamu belum boleh mencuci tangan.
"Makna dari tradisi ini adalah bagamana kita menghormati orang yang lebih tua dan mengajarkan kita disiplin saat makan. Hal-hal semacam ini saja sudah diatur dalam adat, belum lagi hal-hal penting lainnya dalam tata krama bermasyarakat dan keluarga," tutur Rolly.
Baca juga: Siswa Babel diajar membuat pakaian adat Kulawi (vidio)
Selain potensi budaya, Kulawi juga memiliki situs cagar budaya prasejara yang terletak di Desa Bolapapu, dimana terdapat rumah Raja Kulawi yang masih utuh dan sejumlah batu zaman prasejarah yang masih tertata rapi.
Kepala Desa Mataue, Kecamatan Kulawi, Fiser Rimala mengatakan di desa itu kearifan lokal yang masih terjaga hingga saat ini salah satunya membuat kain dari kulit kayu yang umumnya diolakukan ibu-ibu rumah tangga.
Proses pembuatan kain itu cukup sulit dan memakan waktu karena kulit kayu harus dipisahkan dari batang lalu dibersihkan, setelah itu direbus dengan air secukupnya, kemudian diperam selama tiga hari tiga malam untuk menghasilkan kain yang kualitasnya bagus.
"Bahan dasarnya adalah kulit pohon nunu atau pohon beringin, dan proses pengolahannya ramah lingkungan tidak menggunakan bahan-bahan kimia, semua bahan alami," tutur Fiser.
Ia bertekad mendorong kain khas Kulawi itu menjadi salah satu daya tarik wisata domestik dan mancanegara selain dibuat khusus untuk pakaian adat.
"Kain kulit kayu ini sangat diminati wisatawan mancanegara, tak jarang ketika berkunjung mereka membeli lebih dari satu, dan kain yang sudah diolah menjadi baju adat dijual dengan harga Rp1,5 juta," ucapnya.