Palu (ANTARA) - 28 September 2019, genap setahun gempa dahsyat 7,4 SR mengguncang Sulawesi Tengah. Bertepatan dengan itu Pasigala Centre bersama Sikola Mombine menyelenggarakan ngopi bareng dan diskusi kebencanaan. Kegiatan yang dilakukan di Refans Kafe ini bertujuan sebagai refleksi dan evaluasi penanganan dan penanggulangan bencana Sulteng selama setahun.
Dalam kegiatan ini dihadirkan tiga orang narasumber yakni: Abdullah (dosen dan pengamat kebencanaan), Muhammad Marzuki (akademisi dan antropolog Universitas Tadulako) dan Risnawati (Direktur Sikola Mombine). Sementara pemantik diskusi ialah Khadafi Badjerey yang tidak lain merupakan Sekjend Pasigala Centre.
Sebagai momentum refleksi, Abdullah menjelaskan soal sejarah kebencaan yang pernah terjadi di Sulawesi Tengah.
Menurut penjelasannya Sulteng merupakan daerah dengan potensi bencana yang cukup tinggi namun persoalannya masyarakat Sulawesi Tengah cendrung menjadi masyarakat pelupa sehingga ketika terjadi bencana berikutnya banyak masyarakat yang tidak siap menghadapinya, termasuk juga pemerintah.
Selaku antropolog, Marzuki menjelaskan persoalan tersebut diakibatkan masyarakat asli Sulawesi Tengah tidak memiliki budaya tulis, melainkan budaya tutur. Ditambah Sulteng merupakan daerah transmigrasi tertinggi ke-7 di Indonesia. Sehingga sejarah kegempaan yang sebelumnya hanya diwariskan secara tutur kemudian terlupakan oleh generasi berikutnya dan juga masyarakat pendatang.
Baca juga: Suliman, perempuan nelayan tangguh di Teluk Palu
Baca juga: Opini - Sikola Mombine dan kegiatan kemanusiaan pascabencana Sulteng (2)
Hal lain yang disorot ialah penanganan bencana di Sulteng ditangani dengan pendekatan model barak yang bertentangan dengan sistem model kultur daerah. Hal ini akan berpotensi untuk menimbulkan konflik sosial.
Potensi konflik ini kemudian diperjelas oleh ibu Risna selaku Direktur Sikola Mombine yang telah bekerja mendampingi masyarakat penyintas sejak masa emergency hingga masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Salah satunya ialah model pembangunan huntara dan huntap yang tidak berperspektif gender. Yang kemudian meningkatkan kasus kekerasan terhadap perempuan berupa pelecehan, pengintipan pemerkosaan, dll
Persoalan-persoalan lain terkait penanganan bencana selama satu tahun ini dipaparkan oleh pak Khadafi yang banyak melakukan kerja advokasi forum-forum korban bencana di wilayah Kabupaten Sigi, Donggala dan kota Palu. Hal yang paling di tekankan oleh pak Khadafi ialah soal keefektivitasan kerja Satgas bentukan pemerintah pusat yang kemudian menghambat kerja-kerja penanggulangan pemerintah di daerah. Oleh karenanya pak Khadafi mendorong untuk dibubarkannya satgas tersebut.
Kegiatan ini ditutup dengan pembacaan resolusi penanganan bencana. Beberapa resolusi itu diantaranya ialah, pembubaran satgas bentukan pemerintah pusat, bangun pusat informasi dan aduan bencana, libatkan masyarakat dalam pengumpulan data, penuhi seluruh kebutuhan dasar korban, dan perioritaskan penanggulangan bencana berbasis hak. (Rilis Sikola Mombine)
Ilustrasi (Antara/HO-Sikola Mombine)
Dalam kegiatan ini dihadirkan tiga orang narasumber yakni: Abdullah (dosen dan pengamat kebencanaan), Muhammad Marzuki (akademisi dan antropolog Universitas Tadulako) dan Risnawati (Direktur Sikola Mombine). Sementara pemantik diskusi ialah Khadafi Badjerey yang tidak lain merupakan Sekjend Pasigala Centre.
Sebagai momentum refleksi, Abdullah menjelaskan soal sejarah kebencaan yang pernah terjadi di Sulawesi Tengah.
Menurut penjelasannya Sulteng merupakan daerah dengan potensi bencana yang cukup tinggi namun persoalannya masyarakat Sulawesi Tengah cendrung menjadi masyarakat pelupa sehingga ketika terjadi bencana berikutnya banyak masyarakat yang tidak siap menghadapinya, termasuk juga pemerintah.
Selaku antropolog, Marzuki menjelaskan persoalan tersebut diakibatkan masyarakat asli Sulawesi Tengah tidak memiliki budaya tulis, melainkan budaya tutur. Ditambah Sulteng merupakan daerah transmigrasi tertinggi ke-7 di Indonesia. Sehingga sejarah kegempaan yang sebelumnya hanya diwariskan secara tutur kemudian terlupakan oleh generasi berikutnya dan juga masyarakat pendatang.
Baca juga: Suliman, perempuan nelayan tangguh di Teluk Palu
Baca juga: Opini - Sikola Mombine dan kegiatan kemanusiaan pascabencana Sulteng (2)
Hal lain yang disorot ialah penanganan bencana di Sulteng ditangani dengan pendekatan model barak yang bertentangan dengan sistem model kultur daerah. Hal ini akan berpotensi untuk menimbulkan konflik sosial.
Potensi konflik ini kemudian diperjelas oleh ibu Risna selaku Direktur Sikola Mombine yang telah bekerja mendampingi masyarakat penyintas sejak masa emergency hingga masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Salah satunya ialah model pembangunan huntara dan huntap yang tidak berperspektif gender. Yang kemudian meningkatkan kasus kekerasan terhadap perempuan berupa pelecehan, pengintipan pemerkosaan, dll
Persoalan-persoalan lain terkait penanganan bencana selama satu tahun ini dipaparkan oleh pak Khadafi yang banyak melakukan kerja advokasi forum-forum korban bencana di wilayah Kabupaten Sigi, Donggala dan kota Palu. Hal yang paling di tekankan oleh pak Khadafi ialah soal keefektivitasan kerja Satgas bentukan pemerintah pusat yang kemudian menghambat kerja-kerja penanggulangan pemerintah di daerah. Oleh karenanya pak Khadafi mendorong untuk dibubarkannya satgas tersebut.
Kegiatan ini ditutup dengan pembacaan resolusi penanganan bencana. Beberapa resolusi itu diantaranya ialah, pembubaran satgas bentukan pemerintah pusat, bangun pusat informasi dan aduan bencana, libatkan masyarakat dalam pengumpulan data, penuhi seluruh kebutuhan dasar korban, dan perioritaskan penanggulangan bencana berbasis hak. (Rilis Sikola Mombine)