Makassar (ANTARA) - Direktur Eksekutif Junal Celebes Mustam Arif yang juga aktivis lingkungan mengatakan dari perspektif lingkungan banjir bandang di Masamba Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan adalah bencana ekologis akibat degradasi lingkungan.
Menanggapi bencana banjir bandang yang menenggelamkan enam kecamatan di Lutra, Mustam di Makasar Rabu (15/7) mengatakan bencana banjir bandang di Masamba ini terjadi hampir sama di semua wilayah di Indonesia yang rentan, akibat perencanaan pembangunan tidak serius memperhitungkan daya dukung lingkungan.
Curah hujan yang tinggi itu adalah pemicu, lanjut dia, risiko alamiah dari perubahan iklim lantaran pemanasan global juga karena kerusakan lingkungan.
Curah hujan tinggi yang merupakan dampak anomali iklim ini memicu terjadi banjir bandang, karena hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Rongkong dengan berapa sungai di sub DAS Luwu Utara, terutama di Masamba dan sekitarnya tak mampu lagi menahan beban hidrologis di tanah yang tutupan hutannya yang sudah kritis.
Secara topografis, Luwu Utara, Luwu Timur, sebagian Toraja sampai ke wilayah Sulawesi Tengah merupakan perpaduan geologis wilayah dataran tinggi Verbeek dengan dataran-dataran rendah yang memiliki tanah subur. Karakteristik tanah subur adalah tanah yang umumnya gembur mestinya tetap direkat oleh tubuhan atau pepohonan.
Tetapi ketika hutan dibuka untuk perkebunan/pertanian dan industri ekstraktif berupa tambang, akan merusak daya dukung ekologis kawasan tanah-tanah yang subur itu.
Menurut pimpinan lembaga yang fokus pada isu lingkungan ini, kondisi ini menciptakan kerentanan tinggi di wilayah-wilayah dataran rendah seperti di Masamba.
Masamba itu boleh dikata dikepung sungai. Di bagian selatan ada Sungai Rongkong yang besar, sementara tengah Kota Masamba sendiri berada di dataran rendah, serta kecamatan sekitarnya yang juga dilintasi beberapa sungai.
Kondisi ini membuat Masamba dan sekitarnya tergolong berada di areal yang rentan bencana banjir. Secara topografis, Masamba dan sekitarnya berada di titik terendah yang akan menjadi limpahan air ketika curah hujan melebihi batas ideal.
Saat wilayah ketinggian tidak mampu lagi menyimpan dan menahan air karena rusaknya daya dukung lingkungan, otomatis wilayah rendah akan menerima risiko. Itulah yang memicu banjir bandang di Lutra pada Senin (13/7) lalu.
Di wilayah hulu DAS Rongkong tampak kritis ketika dipantau dari satelit, akibat pembukaan lahan perkebunan dan pertanian. Ketika ini terus berlangung, ke depan ancaman bencana seperti ini, tidak tertutup kemungkinan akan kembali terjadi.
Kejadian di Masamba ini merupakan pembelajaran bagi wilayah-wilayah lain, khususnya di gugusan dataran tinggi dan dataran rendah di Luwu Raya bagian utara. Karena berada di satu wilayah, mempunyai karakterisik alam yang sama, dan potensi bencana yang sama.
"Kita masih ingat di tahun 2017 bencana longsor di Maliwowo, Kecamatan Angkona Luwu Timur. Perisitiwanya sama, curah hujan tinggi lalu tanah rentan di bukit tidak mampu menahan beban lalu terjadi longsor menimpa rumah warga satu dusun sepanjang jalan trans Sulawesi," kata Mustam.
Karena itu, lanjut dia, pasca bencana Masamba, pemerintan Luwu Utara maupun Luwu Timur dan wilayan sekitar, mestinya kembali mereview tata ruang wilayah untuk memulihkan degradasi lingkungan dan kembali merevisi perencanaan pembangunan yang mengakomodasi perbaikan dan keberlanjutan daya dukung lingkungan dan mitigasi bencana.
Masyarakat yang berada di wilayah rentan, mestinya mempunyai daya adaptasi secara sosilogis dan rencana kedaruratan (kontigensi) agar bisa meminimalisasi dampak ketika ada bencana.
"Ini harus serius, karena salah satu kekurangan kita sering menyadari ketika ada bencana. Tetapi kemudian akan mengabaikan lagi, setelah bencana berlalu," tandasnya.