Kerja sama ASEAN-China diharapkan sasar isu pada energi bersih
Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) diharapkan menjalin relasi dan kerja sama yang menyasar pada isu iklim, khususnya penggunaan energi bersih, dengan China --sebagai salah satu mitra terbesar dan terpenting di kawasan.
Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan RI periode 2011-2014, dalam seminar virtual ASEAN-China yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) pada Senin, menyebutkan bahwa China mempunyai rangkaian upaya yang baik terkait penyelamatan bumi.
"Saya yakin bahwa cara China memperjuangkan narasi iklim mereka untuk tujuan perjanjian iklim dan juga upaya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil [...] akan mempunyai dampak positif bagi Asia Tenggara," kata Gita.
"Sementara, sejumlah negara ASEAN bahkan belum mulai memikirkan tentang bagaimana kita harus menghadapi perubahan iklim dengan cara yang bijaksana, sehingga China akan memberikan dampak positif dalam percakapan mengenai perubahan iklim di Asia Tenggara," ujar dia menambahkan.
Presiden China Xi Jinping, pada pidatonya pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, 22 September 2020, menyatakan negaranya berkomitmen pada emisi nol dengan memasang target tahun 2060.
China, yang merupakan penyumbang emisi karbon terbesar dengan sekitar 29 persen dari total gas buang di dunia, juga akan mencapai puncak emisi karbon sebelum 2030, demikian menurut laporan Reuters.
Pengumuman Xi tersebut sejalan dengan Kesepakatan Paris, sebuah perjanjian iklim global pada tahun 2015 yang disetujui oleh hampir 200 negara sebagai upaya penanganan perubahan iklim dengan menjaga kenaikan temperatur bumi agar tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius.
Menurut Gita, komitmen China untuk beralih ke energi ramah lingkungan --setelah bergantung pada batu bara selama puluhan tahun-- merupakan langkah maju dan menunjukkan negara itu juga proaktif dalam penggunaan kendaraan listrik.
Dino Patti Djalal, Wakil Menlu RI tahun 2014 serta pendiri FPCI, dalam acara diskusi yang sama juga menyoroti isu energi bersih dalam kerja sama ASEAN dengan China.
Menurut dia, kerja sama dalam energi bersih merupakan salah satu aspek terbaik pada hubungan kedua pihak yang berorientasi pada masa yang akan datang.
"Saya kira energi hijau merupakan perekonomian masa depan. ASEAN ingin mendukung energi hijau, China juga demikian. Dan bagaimana cara kita bersinergi akan menjadi sangat strategis bagi masa depan kita bersama," ujar Dino.
Dino menambahkan bahwa upaya pengurangan emisi karbon pada 2020 terbantu dengan situasi pandemi COVID-19, yang mengharuskan masyarakat lebih banyak tinggal di rumah dan tidak berpergian.
Namun, dia mengingatkan kondisi seperti itu kemungkinan tidak akan bertahan jika pandemi usai.
"Apa yang akan terjadi pada tahun-tahun ketika segala hal telah kembali normal. Saya tidak yakin bahwa kita dapat memangkas 8 persen emisi per tahun selama 10 tahun mendatang, kecuali kita benar-benar melakukan revolusi dan memangkas karbon dalam kegiatan ekonomi," katanya.
ASEAN beranggotakan 10 negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja.
Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan RI periode 2011-2014, dalam seminar virtual ASEAN-China yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) pada Senin, menyebutkan bahwa China mempunyai rangkaian upaya yang baik terkait penyelamatan bumi.
"Saya yakin bahwa cara China memperjuangkan narasi iklim mereka untuk tujuan perjanjian iklim dan juga upaya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil [...] akan mempunyai dampak positif bagi Asia Tenggara," kata Gita.
"Sementara, sejumlah negara ASEAN bahkan belum mulai memikirkan tentang bagaimana kita harus menghadapi perubahan iklim dengan cara yang bijaksana, sehingga China akan memberikan dampak positif dalam percakapan mengenai perubahan iklim di Asia Tenggara," ujar dia menambahkan.
Presiden China Xi Jinping, pada pidatonya pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, 22 September 2020, menyatakan negaranya berkomitmen pada emisi nol dengan memasang target tahun 2060.
China, yang merupakan penyumbang emisi karbon terbesar dengan sekitar 29 persen dari total gas buang di dunia, juga akan mencapai puncak emisi karbon sebelum 2030, demikian menurut laporan Reuters.
Pengumuman Xi tersebut sejalan dengan Kesepakatan Paris, sebuah perjanjian iklim global pada tahun 2015 yang disetujui oleh hampir 200 negara sebagai upaya penanganan perubahan iklim dengan menjaga kenaikan temperatur bumi agar tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius.
Menurut Gita, komitmen China untuk beralih ke energi ramah lingkungan --setelah bergantung pada batu bara selama puluhan tahun-- merupakan langkah maju dan menunjukkan negara itu juga proaktif dalam penggunaan kendaraan listrik.
Dino Patti Djalal, Wakil Menlu RI tahun 2014 serta pendiri FPCI, dalam acara diskusi yang sama juga menyoroti isu energi bersih dalam kerja sama ASEAN dengan China.
Menurut dia, kerja sama dalam energi bersih merupakan salah satu aspek terbaik pada hubungan kedua pihak yang berorientasi pada masa yang akan datang.
"Saya kira energi hijau merupakan perekonomian masa depan. ASEAN ingin mendukung energi hijau, China juga demikian. Dan bagaimana cara kita bersinergi akan menjadi sangat strategis bagi masa depan kita bersama," ujar Dino.
Dino menambahkan bahwa upaya pengurangan emisi karbon pada 2020 terbantu dengan situasi pandemi COVID-19, yang mengharuskan masyarakat lebih banyak tinggal di rumah dan tidak berpergian.
Namun, dia mengingatkan kondisi seperti itu kemungkinan tidak akan bertahan jika pandemi usai.
"Apa yang akan terjadi pada tahun-tahun ketika segala hal telah kembali normal. Saya tidak yakin bahwa kita dapat memangkas 8 persen emisi per tahun selama 10 tahun mendatang, kecuali kita benar-benar melakukan revolusi dan memangkas karbon dalam kegiatan ekonomi," katanya.
ASEAN beranggotakan 10 negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja.