BEM Universitas Indonesia kritisi persoalan polusi udara di DKI Jakarta

id Polusi Udara DKI Jakarta,BEM UI,Situs AQI,Udara jakarta,AQI,WHO,PLTSa,HUT DKI,HUT Jakarta

BEM Universitas Indonesia kritisi persoalan polusi udara di DKI Jakarta

Kendaraan melintas dengan latar belakang gedung bertingkat yang terlihat berkabut di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (22/6/2022). Menurut data dari laman lembaga kualitas udara IQAir, pada Rabu 22 Juni 2022 hingga pada pukul 11.00 WIB indeks pencemaran udara di Ibu Kota berada di angka 160 dan masuk dalam kategori tidak sehat. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/hp.

Jakarta (ANTARA) - Departemen Lingkungan Hidup Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia mengkritisi persoalan polusi udara di Ibu Kota di HUT ke-495 DKI Jakarta.

"Ada tiga penyebab utama permasalahan udara di Ibu Kota," kata salah satu Tim Kajian dan Advokasi Lingkungan Departemen Lingkungan Hidup Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (DLH BEM UI) Panji Raharjo melalui keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.

Tiga penyebab itu, yakni kemacetan lalu lintas, penggunaan energi tidak terbarukan yang dominan dan persampahan yang tak kunjung usai sehingga kian menimbulkan persoalan bagi lingkungan maupun kesehatan masyarakat.

Guna mengatasi itu, DLH BEM UI merekomendasikan kebijakan strategis dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatasi tiga akar penyebab tersebut.

Pertama, permasalahan kemacetan Ibu Kota yang dapat ditangani dengan mempertegas peraturan mengenai pembatasan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil, meningkatkan kualitas layanan umum untuk menerapkan sistem "pull and push" dan mendorong elektrifikasi kendaraan bermotor sebagai mode transportasi yang lebih ramah lingkungan.

Kedua, penggunaan energi tidak terbarukan yang dominan dapat ditangani dengan mengakselerasi penyusunan peraturan pelaksanaan yang mendukung pengembangan energi baru terbarukan (EBT) melalui Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi DKI Jakarta.

Kegiatan tersebut, menurut Panji, dapat melibatkan masyarakat dalam pengembangan dan penerapan EBT serta mengintensifkan riset dan pengembangan yang dapat mendukung progres lokalisasi EBT.

Ketiga, permasalahan sampah yang tak kunjung usai yang dapat ditangani dengan menerapkan konsep "circular economy" untuk mengurangi timbulan sampah dan meningkatkan tingkat daur ulang serta meningkatkan kapasitas penyediaan Unit Pengelolaan Sampah (UPS) yang lebih merata.

Kemudian mengkaji potensi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) serta meningkatkan edukasi terhadap masyarakat sekitar mengenai pemilahan sampah dan "food waste".

Koordinator Bidang Sosial Lingkungan BEM UI Amira Widya Damayanti menyatakan, pihaknya berkomitmen mengawal permasalahan polusi udara di DKI Jakarta.

Amira menilai UI sebagai kampus yang berada di sekitar Ibu Kota memiliki kewajiban untuk turut berperan menanggulangi permasalahan yang melanda DKI Jakarta.

BEM UI pun merupakan bagian dari civitas UI bertanggung jawab secara moral untuk menaruh perhatian terhadap permasalahan polusi udara Jakarta yang kian hari semakin mengkhawatirkan.

Amira berharap Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI mempertimbangkan rekomendasi DLH BEM UI menjadi bagian dari rumusan kebijakan pada masa mendatang.

"Diharapkan dapat menjadi pertimbangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam perumusan kebijakan ke depannya," kata Amira.

Pada kesempatan itu, DLH BEM UI merilis infografis berjudul “Di Balik Hajatan Warga Ibu Kota: Terdapat Permasalahan Udara yang Belum Pantas Untuk Disyukuri” bertepatan dengan peringatan HUT ke-495 DKI Jakarta pada Rabu.

DKI Jakarta sempat menduduki peringkat sebagai Ibu Kota dengan kualitas udara terburuk di dunia oleh situs AQI (Air Quality Index) pada Rabu (15/6).

Bahkan, konsentrasi partikel pengotor udara mencapai 23.6 kali dari panduan kualitas udara yang diizinkan oleh WHO. Fenomena kabut tebal yang juga menyelimuti perkotaan menjadi indikator buruk terhadap sistem pengelolaan polusi udara yang belum ditangani dengan baik.

Sementara itu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan, Koalisi Ibu Kota meminta pemerintah melakukan pengendalian polusi udara di ibu kota dan wilayah sekitarnya demi hidup yang lebih baik.

"Polusi udara di Jakarta masuk kategori tidak sehat dalam beberapa hari ini," ujar Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu dalam jumpa pers daring menjelang HUT ke-495 DKI Jakarta di Jakarta, Selasa.

Ia menilai cuaca menjadi salah satu penyebabnya, tetapi penyebab utama lainnya adalah masih adanya sumber pencemar udara (bergerak dan tidak bergerak) yang belum bisa dikendalikan oleh pemerintah.

Ia mengemukakan data lQAir pada Senin (20/6) pukul 06.00 WIB, kadar polusi Jakarta mencapai 205 US AQI yang masuk ke level sangat tidak sehat (very unhealthy).

Data Selasa pagi (21/6), pukul 06.33 WIB, Jakarta masih berada di urutan tinggi dengan udara paling berpolusi dengan 154 US AQI, di bawah Beijing (176 US AQI) dan Kuwait (154 US AQI).

"Data-data ini mengacu pada data resmi yang dimiliki pemerintah, yaitu KLHK dan DLH DKI Jakarta," tuturnya.

Ia mengatakan partikel polusi udara dari PM2.5 terjadi peningkatan ketika dini hari hingga pagi hari, hal ini terjadi karena tingginya kelembapan udara, sehingga menyebabkan peningkatan proses adsorpsi atau perubahan wujud dari gas menjadi partikel atau dikenal dengan istilah secondary air pollutants.

Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup ICEL, Fajri Fadhillah menambahkan polusi udara yang terjadi di Jakarta adalah permasalahan lintas batas.

Menurutnya, sumber-sumber pencemar udara datang dari luar Jakarta, terutama dari industri dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, cukup signifikan berkontribusi terhadap memburuknya kualitas udara Jakarta.

Sebelumnya, Pelaksana tugas Deputi Bidang Klimatologi BMKG Urip Haryoko mengatakan konsentrasi PM2.5 di Jakarta dipengaruhi oleh berbagai sumber emisi, baik yang berasal dari sumber lokal, seperti transportasi dan residensial, maupun dari sumber regional dari kawasan industri dekat dengan Jakarta.

"Emisi ini dalam kondisi tertentu yang dipengaruhi oleh parameter meteorologi dapat terakumulasi dan menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi yang terukur pada alat monitoring pengukuran konsentrasi PM2.5," ujar Urip.