Restorasi gambut yang mendatangkan manfaat bagi masyarakat
Jakarta (ANTARA) - Program restorasi gambut untuk mencegah kebakaran hutan gambut, sudah saatnya dirancang agar juga dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat.
Pemerintah selama ini sudah berupaya mengajak masyarakat agar terlibat aktif melindungi gambut namun belum terlampau optimal hasilnya karena boleh jadi salah satunya, masyarakat belum sepenuhnya melihat ada manfaat ekonomi yang didapatkan dari program yang disosialisasikan.
Faktanya, harus diakui masih ada kasus kebakaran hutan yang terjadi akibat “human error” dengan sejumlah temuan bahwa sumber kebakaran utama gambut sebagian besar disebabkan karena ulah manusia.
Hasil kajian lapangan, simulasi kebakaran, dan berbagai diskusi dengan para pakar menyimpulkan tidak mungkin api timbul dengan sendirinya pada lahan.
Kebakaran yang terjadi di lahan berasal dari manusia yang membakar dengan berbagai motif meskipun pembuktiannya sulit karena tidak ada kamera tersembunyi di lahan gambut. Berdasarkan simulasi gesekan serasah, gesekan kayu, bahkan puntung rokok, sulit memicu kebakaran meskipun kondisi gambut sangat kering.
Lahan yang terbakar umumnya terjadi di area yang kepemilikan tidak jelas. Hal tersebut memungkinkan sehingga semua orang dapat masuk tanpa izin dan pengawasan.
Lahan terbakar juga sering terjadi di lahan terlantar atau tidak diusahakan. Kebakaran lahan gambut di kawasan Sumatera yang terjadi pada 2015 telah membakar areal seluas 832.999 hektare. Seringkali areal yang sama ternyata terulang kebakaran pada 2019 dan juga pada 2023.
Fakta tersebut membuktikan lahan yang pernah terbakar bukan berarti bebas dari kebakaran hutan di tahun-tahun berikutnya. Bahkan seringkali menjadi wilayah kebakaran berulang. Dengan demikian diperlukan upaya pemulihan kembali lahan-lahan yang terbakar.
Pemerintah sejauh ini telah memprioritaskan program restorasi gambut melalui Badan Restorasi Gambut yang sekarang menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
Tujuannya untuk mengembalikan kondisi ekosistem gambut melalui penataan kawasan untuk mengembalikan fungsi hidrologis sebagai penyimpan air jangka panjang (long storage water) agar gambut dalam keadaan basah dan sulit terbakar.
Pemerintah melalui BRGM telah membangun model penerapan restorasi di lapangan dengan dua kegiatan utama yaitu pembasahan (rewetting) dan penanaman (revegetasi).
Upaya pembasahan dengan membangun sekat kanal bertujuan agar muka air tanah meningkat mendekati permukaan tanah sehingga diharapkan pada musim kemarau tetap basah dan dapat mengurangi bahaya kebakaran.
Namun, model pencegahan ini bersifat jangka pendek dan sulit berlanjut. Saat ini sudah banyak sekat kanal bocor dan tidak berfungsi menahan air.
Di masa mendatang model restorasi yang dijalankan perlu memberi manfaat bagi masyarakat. Pemerintah sulit memaksa upaya menahan air di bagian hulu karena lahan di bagian hilir membutuhkan air sehingga kanal yang dibuat harus dilengkapi bangunan pelimpah air pada kedalaman tertentu.
Di sisi lain penyekatan kanal dapat memicu terjadi konflik ketika dibuat terlalu tinggi sehingga menyebabkan lahan tergenang.
Hal tersebut karena area lahan di sekitarnya sudah banyak yang dikebunkan. Area kebun tidak boleh tergenang karena membuat tanaman busuk lalu mati, sehingga yang dibutuhkan adalah sekat kanal terkendali.
Ketinggian kanal harus diatur untuk menciptakan kondisi muka air tanah di lahan antara 30-40 cm. Dengan demikian konsep pembasahan adalah drainase terkendali, bukan menahan air secara total.
Itulah sebabnya rewetting dan revegetasi yang tidak memberi manfaat pada masyarakat gagal berjalan maksimal.
Penelitian dari Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya dengan membuat bangunan pengendali air di saluran pada lahan sawit dan lahan semak pada lahan gambut membuktikan bahwa muka air tanah di musim kemarau tetap turun pada kedalaman 50-60 cm.
Namun, pada periode musim hujan sampai menjelang musim kemarau sekitar 8 bulan air dapat dijaga pada kedalaman 30-40 cm. Pada saat air turun melebihi angka 40 cm maka zona akar mulai kering.
Terbukti pada tahun 2023 muka air turun sampai -70 cm sehingga daerah gambut di Desa Sepucuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, mulai terjadi kebakaran. Padahal, sampai Juli muka air tanah masih berada di atas 40 cm sehingga lahan belum terjadi kebakaran.
Berikutnya kebakaran lahan gambut di daerah Sepucuk, Ogan Komering ilir (OKI), sudah terlihat mulai 15 September 2023. Kebakaran berhubungan dengan kondisi muka air tanah yang menunjukkan -70 cm di bawah permukaan tanah. Ini berarti lapisan zona akar (permukaan) sudah kering dan mudah terbakar.
Di masa depan program fisik (sekat kanal) merupakan solusi jangka pendek. Berikutnya program restorasi gambut harus memperhatikan asas manfaat bagi masyarakat sekitar.
Bagi lahan-lahan bekas kebakaran yang berada di sekitar kawasan perkebunan, hutan konservasi, atau konsesi yang sudah terlanjur ditanam masyarakat dengan tanaman karet perlu dilakukan penyelesaian yang tidak merugikan kedua belah pihak.
Intinya ternyata ada hubungan antara kebakaran dan juga kemiskinan. Keduanya ibarat dua sisi mata uang. Penduduk sekitar kawasan umumnya miskin.
Lahan mereka sudah berubah menjadi hutan tanaman industri atau perkebunan, sementara kebutuhan sehari-hari sulit dipenuhi sehingga banyak di antara mereka juga menjadi buruh kasar di perusahaan tersebut.
Padahal mereka semua juga punya mimpi ingin hidup sejahtera, menyekolahkan anak, serta punya rumah layak. Bagi mereka tidak ada jalan lain untuk mencoba peruntungan dengan membuka kebun sedikit sedikit pada lahan yang terbakar.
Agro Forestry
Alternatif agro forestry dapat dikembangkan sebagai solusi. Hal ini tentu dengan diawali diskusi dan musyawarah dengan penduduk lokal di setiap desa yang rawan terjadi kebakaran.
Semua pihak harus mendengar kesulitan hidup mereka sehingga dapat membantu memberi solusi untuk mereka mendapatkan pemasukan tambahan. Mereka harus dapat mencari tambahan (income) harian, mingguan, bulanan dan tahunan. Pola-pola kemitraan dan pendampingan harus dikembangkan di daerah yang tiap tahun terjadi kebakaran.
Restorasi juga harus membuka peluang usaha masyarakat dan kemitraan dengan pihak swasta (perkebunan atau HTI). Pola agroforestry seperti tumpang sari antara karet dan nenas sangat diminati oleh masyarakat.
Untuk kawasan yang berbatasan dengan masyarakat, mitra dapat lebih akomodatif memilih komoditi. Karet selama ini sudah beralih menjadi tanaman HTI sehingga komoditas ini bisa dibudidayakan.
Sementara untuk kebutuhan sehari-hari petani dapat melalukan tumpangsari dengan bertanam sayuran, nenas, dan jahe merah. Di kiri-kanan petakan lahan bisa ditanam pinang untuk menciptakan pendapatan tahunan.
Ekonomi masyarakat meningkat bila diciptakan peluang memperoleh pendapatan harian, mingguan, bulanan dan tahunan. Jika tidak maka sulit mencegah terjadi kebakaran lahan karena pada area tertentu hidup masyarakat masih sangat tergantung dengan alam.
Segenap bangsa harus tetap mendukung program restorasi meskipun dalam pelaksanaan memerlukan konteks di lapangan. Harus diantisipasi potensi munculnya keresahan sosial yang mungkin timbul akibat program tidak memperhatikan kondisi sosial dan lingkungan. Semua berharap restorasi gambut yang berbasis masyarakat dapat terwujud.
*) Prof. Dr. Momon Sodik Imanudin, SP, M.Si (pengajar di Universitas Sriwijaya) dan Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc (Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional).
Pemerintah selama ini sudah berupaya mengajak masyarakat agar terlibat aktif melindungi gambut namun belum terlampau optimal hasilnya karena boleh jadi salah satunya, masyarakat belum sepenuhnya melihat ada manfaat ekonomi yang didapatkan dari program yang disosialisasikan.
Faktanya, harus diakui masih ada kasus kebakaran hutan yang terjadi akibat “human error” dengan sejumlah temuan bahwa sumber kebakaran utama gambut sebagian besar disebabkan karena ulah manusia.
Hasil kajian lapangan, simulasi kebakaran, dan berbagai diskusi dengan para pakar menyimpulkan tidak mungkin api timbul dengan sendirinya pada lahan.
Kebakaran yang terjadi di lahan berasal dari manusia yang membakar dengan berbagai motif meskipun pembuktiannya sulit karena tidak ada kamera tersembunyi di lahan gambut. Berdasarkan simulasi gesekan serasah, gesekan kayu, bahkan puntung rokok, sulit memicu kebakaran meskipun kondisi gambut sangat kering.
Lahan yang terbakar umumnya terjadi di area yang kepemilikan tidak jelas. Hal tersebut memungkinkan sehingga semua orang dapat masuk tanpa izin dan pengawasan.
Lahan terbakar juga sering terjadi di lahan terlantar atau tidak diusahakan. Kebakaran lahan gambut di kawasan Sumatera yang terjadi pada 2015 telah membakar areal seluas 832.999 hektare. Seringkali areal yang sama ternyata terulang kebakaran pada 2019 dan juga pada 2023.
Fakta tersebut membuktikan lahan yang pernah terbakar bukan berarti bebas dari kebakaran hutan di tahun-tahun berikutnya. Bahkan seringkali menjadi wilayah kebakaran berulang. Dengan demikian diperlukan upaya pemulihan kembali lahan-lahan yang terbakar.
Pemerintah sejauh ini telah memprioritaskan program restorasi gambut melalui Badan Restorasi Gambut yang sekarang menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
Tujuannya untuk mengembalikan kondisi ekosistem gambut melalui penataan kawasan untuk mengembalikan fungsi hidrologis sebagai penyimpan air jangka panjang (long storage water) agar gambut dalam keadaan basah dan sulit terbakar.
Pemerintah melalui BRGM telah membangun model penerapan restorasi di lapangan dengan dua kegiatan utama yaitu pembasahan (rewetting) dan penanaman (revegetasi).
Upaya pembasahan dengan membangun sekat kanal bertujuan agar muka air tanah meningkat mendekati permukaan tanah sehingga diharapkan pada musim kemarau tetap basah dan dapat mengurangi bahaya kebakaran.
Namun, model pencegahan ini bersifat jangka pendek dan sulit berlanjut. Saat ini sudah banyak sekat kanal bocor dan tidak berfungsi menahan air.
Di masa mendatang model restorasi yang dijalankan perlu memberi manfaat bagi masyarakat. Pemerintah sulit memaksa upaya menahan air di bagian hulu karena lahan di bagian hilir membutuhkan air sehingga kanal yang dibuat harus dilengkapi bangunan pelimpah air pada kedalaman tertentu.
Di sisi lain penyekatan kanal dapat memicu terjadi konflik ketika dibuat terlalu tinggi sehingga menyebabkan lahan tergenang.
Hal tersebut karena area lahan di sekitarnya sudah banyak yang dikebunkan. Area kebun tidak boleh tergenang karena membuat tanaman busuk lalu mati, sehingga yang dibutuhkan adalah sekat kanal terkendali.
Ketinggian kanal harus diatur untuk menciptakan kondisi muka air tanah di lahan antara 30-40 cm. Dengan demikian konsep pembasahan adalah drainase terkendali, bukan menahan air secara total.
Itulah sebabnya rewetting dan revegetasi yang tidak memberi manfaat pada masyarakat gagal berjalan maksimal.
Penelitian dari Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya dengan membuat bangunan pengendali air di saluran pada lahan sawit dan lahan semak pada lahan gambut membuktikan bahwa muka air tanah di musim kemarau tetap turun pada kedalaman 50-60 cm.
Namun, pada periode musim hujan sampai menjelang musim kemarau sekitar 8 bulan air dapat dijaga pada kedalaman 30-40 cm. Pada saat air turun melebihi angka 40 cm maka zona akar mulai kering.
Terbukti pada tahun 2023 muka air turun sampai -70 cm sehingga daerah gambut di Desa Sepucuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, mulai terjadi kebakaran. Padahal, sampai Juli muka air tanah masih berada di atas 40 cm sehingga lahan belum terjadi kebakaran.
Berikutnya kebakaran lahan gambut di daerah Sepucuk, Ogan Komering ilir (OKI), sudah terlihat mulai 15 September 2023. Kebakaran berhubungan dengan kondisi muka air tanah yang menunjukkan -70 cm di bawah permukaan tanah. Ini berarti lapisan zona akar (permukaan) sudah kering dan mudah terbakar.
Di masa depan program fisik (sekat kanal) merupakan solusi jangka pendek. Berikutnya program restorasi gambut harus memperhatikan asas manfaat bagi masyarakat sekitar.
Bagi lahan-lahan bekas kebakaran yang berada di sekitar kawasan perkebunan, hutan konservasi, atau konsesi yang sudah terlanjur ditanam masyarakat dengan tanaman karet perlu dilakukan penyelesaian yang tidak merugikan kedua belah pihak.
Intinya ternyata ada hubungan antara kebakaran dan juga kemiskinan. Keduanya ibarat dua sisi mata uang. Penduduk sekitar kawasan umumnya miskin.
Lahan mereka sudah berubah menjadi hutan tanaman industri atau perkebunan, sementara kebutuhan sehari-hari sulit dipenuhi sehingga banyak di antara mereka juga menjadi buruh kasar di perusahaan tersebut.
Padahal mereka semua juga punya mimpi ingin hidup sejahtera, menyekolahkan anak, serta punya rumah layak. Bagi mereka tidak ada jalan lain untuk mencoba peruntungan dengan membuka kebun sedikit sedikit pada lahan yang terbakar.
Agro Forestry
Alternatif agro forestry dapat dikembangkan sebagai solusi. Hal ini tentu dengan diawali diskusi dan musyawarah dengan penduduk lokal di setiap desa yang rawan terjadi kebakaran.
Semua pihak harus mendengar kesulitan hidup mereka sehingga dapat membantu memberi solusi untuk mereka mendapatkan pemasukan tambahan. Mereka harus dapat mencari tambahan (income) harian, mingguan, bulanan dan tahunan. Pola-pola kemitraan dan pendampingan harus dikembangkan di daerah yang tiap tahun terjadi kebakaran.
Restorasi juga harus membuka peluang usaha masyarakat dan kemitraan dengan pihak swasta (perkebunan atau HTI). Pola agroforestry seperti tumpang sari antara karet dan nenas sangat diminati oleh masyarakat.
Untuk kawasan yang berbatasan dengan masyarakat, mitra dapat lebih akomodatif memilih komoditi. Karet selama ini sudah beralih menjadi tanaman HTI sehingga komoditas ini bisa dibudidayakan.
Sementara untuk kebutuhan sehari-hari petani dapat melalukan tumpangsari dengan bertanam sayuran, nenas, dan jahe merah. Di kiri-kanan petakan lahan bisa ditanam pinang untuk menciptakan pendapatan tahunan.
Ekonomi masyarakat meningkat bila diciptakan peluang memperoleh pendapatan harian, mingguan, bulanan dan tahunan. Jika tidak maka sulit mencegah terjadi kebakaran lahan karena pada area tertentu hidup masyarakat masih sangat tergantung dengan alam.
Segenap bangsa harus tetap mendukung program restorasi meskipun dalam pelaksanaan memerlukan konteks di lapangan. Harus diantisipasi potensi munculnya keresahan sosial yang mungkin timbul akibat program tidak memperhatikan kondisi sosial dan lingkungan. Semua berharap restorasi gambut yang berbasis masyarakat dapat terwujud.
*) Prof. Dr. Momon Sodik Imanudin, SP, M.Si (pengajar di Universitas Sriwijaya) dan Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc (Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional).