Dokter: Waspada tuberkulosis laten yang bisa timbul tanpa gejala
Jakarta (ANTARA) - Dokter Spesialis Paru dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Jakarta dr Faiza Hatim SpP mengimbau masyarakat mewaspadai bahaya tuberkulosis (TB/TBC) laten yang bisa timbul tanpa gejala.
TBC laten merupakan kondisi dimana sistem pertahanan tubuh tidak mampu mengeliminasi kuman TBC secara sempurna, namun sistem pertahanan tubuh mampu mengontrol sehingga kuman yang menginfeksi seperti tidur, dan bisa bangkit kembali saat daya tahan tubuh melemah.
"Benar ya, ada yang namanya infeksi TBC laten. Infeksi TBC laten umumnya ditemukan di individu-individu yang berisiko tinggi," katanya dalam diskusi tentang TBC yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan TBC laten umumnya dialami oleh kelompok berisiko tinggi, seperti petugas kesehatan atau orang-orang di rumah yang melakukan kontak erat dengan pasien TBC serta penghuni rumah yang sama, terutama jika ada pasien yang melakukan cuci darah secara rutin, penderita diabetes, serta anak dengan usia di bawah lima tahun.
Orang-orang berisiko tersebut, kata dia, diketahui melalui investigasi kontak yang dilakukan pada saat berobat.
Untuk itu, ia mengimbau masyarakat yang memiliki kontak erat dengan pasien TBC untuk memeriksakan diri ke puskesmas terdekat, guna menjalani pemeriksaan tuberkulin, untuk mengetahui adanya TBC laten dalam tubuh, agar penanganan penyakit tersebut bisa dengan segera.
Tes tuberkulin, katanya, merupakan tes yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat ke bagian bawah kulit, sampai membentuk benjolan yang kemudian dianalisis oleh dokter 48 jam kemudian.
"Nanti akan dilihat apakah ukurannya lebih dari 5 cm atau lebih dari 10 cm, itu nanti interpretasinya juga berbeda pada kelompok orang tertentu. Kalau misalnya memang orang yang ada kontak erat (dengan pasien TBC), dia dengan ukuran yang 5 cm benjolannya sudah bisa kita nyatakan ada TB laten," katanya.
Hal yang harus ditekankan, katanya, TB laten itu tidak bergejala.
"Jadi kalau misalnya memang pasien ada gejala, kita tidak boleh melakukan tes tuberkulin," katanya.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan Indonesia berkomitmen meningkatkan sistem deteksi dini TBC hingga mencapai 900 ribu pada 2024 dari angka perkiraan kasus TBC di Indonesia sekitar satu juta kasus, agar seluruh pasien dapat mengakses perawatan lebih optimal.
Ia menilai eliminasi TBC akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Untuk itu, Kemenkes berkolaborasi dengan masyarakat dan kader kesehatan menyaring 2,2 juta populasi berisiko tinggi TBC.
"Kami melibatkan masyarakat untuk membentuk TBC Army, sebuah komunitas terlatih bagi para penyintas TBC yang membantu mendeteksi dan mengawasi pasien multidrug-resistant tuberculosis," ujarnya.
TBC laten merupakan kondisi dimana sistem pertahanan tubuh tidak mampu mengeliminasi kuman TBC secara sempurna, namun sistem pertahanan tubuh mampu mengontrol sehingga kuman yang menginfeksi seperti tidur, dan bisa bangkit kembali saat daya tahan tubuh melemah.
"Benar ya, ada yang namanya infeksi TBC laten. Infeksi TBC laten umumnya ditemukan di individu-individu yang berisiko tinggi," katanya dalam diskusi tentang TBC yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan TBC laten umumnya dialami oleh kelompok berisiko tinggi, seperti petugas kesehatan atau orang-orang di rumah yang melakukan kontak erat dengan pasien TBC serta penghuni rumah yang sama, terutama jika ada pasien yang melakukan cuci darah secara rutin, penderita diabetes, serta anak dengan usia di bawah lima tahun.
Orang-orang berisiko tersebut, kata dia, diketahui melalui investigasi kontak yang dilakukan pada saat berobat.
Untuk itu, ia mengimbau masyarakat yang memiliki kontak erat dengan pasien TBC untuk memeriksakan diri ke puskesmas terdekat, guna menjalani pemeriksaan tuberkulin, untuk mengetahui adanya TBC laten dalam tubuh, agar penanganan penyakit tersebut bisa dengan segera.
Tes tuberkulin, katanya, merupakan tes yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat ke bagian bawah kulit, sampai membentuk benjolan yang kemudian dianalisis oleh dokter 48 jam kemudian.
"Nanti akan dilihat apakah ukurannya lebih dari 5 cm atau lebih dari 10 cm, itu nanti interpretasinya juga berbeda pada kelompok orang tertentu. Kalau misalnya memang orang yang ada kontak erat (dengan pasien TBC), dia dengan ukuran yang 5 cm benjolannya sudah bisa kita nyatakan ada TB laten," katanya.
Hal yang harus ditekankan, katanya, TB laten itu tidak bergejala.
"Jadi kalau misalnya memang pasien ada gejala, kita tidak boleh melakukan tes tuberkulin," katanya.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan Indonesia berkomitmen meningkatkan sistem deteksi dini TBC hingga mencapai 900 ribu pada 2024 dari angka perkiraan kasus TBC di Indonesia sekitar satu juta kasus, agar seluruh pasien dapat mengakses perawatan lebih optimal.
Ia menilai eliminasi TBC akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Untuk itu, Kemenkes berkolaborasi dengan masyarakat dan kader kesehatan menyaring 2,2 juta populasi berisiko tinggi TBC.
"Kami melibatkan masyarakat untuk membentuk TBC Army, sebuah komunitas terlatih bagi para penyintas TBC yang membantu mendeteksi dan mengawasi pasien multidrug-resistant tuberculosis," ujarnya.