Jakarta (ANTARA) - Setiap hari, ada risiko yang menghantui kita. Semenjak pandemi COVID-19 mereda, bahkan seakan menjadi memori masa lampau, masih ada hal-hal lain yang luput dari benak masyarakat, yakni Tuberkulosis.
Nenek moyang bakteri ini, Mycobacterium, dipercaya sudah berumur 150 juta tahun, bertahan kokoh ketika gempuran evolusi menjaring spesies lainnya. Menurut News Medical, varian Mycobacterium tuberculosis muncul sekitar tiga juta tahun yang lalu.
Berbagai bukti dari peradaban kuno menunjukkan bahwa bakteri itu, yang kini menjadi penyakit infeksius yang membunuh paling banyak orang, ternyata sama dengan bakteri yang membunuh orang-orang pada 15 hingga 20 ribu tahun yang lalu.
Meski sejumlah mumi menunjukkan kecacatan akibat tuberkulosis, pada zaman Mesir Kuno, tidak ada bukti tentang penyakit tersebut di lembaran-lembaran papirus mereka. Akan tetapi, setelah beberapa abad berlalu, di India dan China muncullah deskripsi tentang penyakit itu.
Dokumentasi serupa muncul di antara literatur tua dari negara-negara dekat Gunung Andes, Yunani, serta Roma.
Seiring perkembangan zaman dan kecanggihan dalam diagnosis, pencegahan, serta pengobatan, contohnya streptomycin yang ditemukan pada 1943 oleh Selman Waksman, Elizabeth Bugie, dan Albert Schatz, rasanya tuberkulosis dapat dikendalikan lebih mudah.
Belum lagi dengan adanya antibiotik, seperti isoniazid (1951), pyrazinamide (1952), ethambutol (1961), dan rifampin (1966).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, meskipun tuberkulosis adalah penyakit yang dapat dicegah dan disembuhkan, kenyataannya masih saja ada yang meninggal akibat penyakit paru-paru itu. Bagaimana tidak, setiap tahunnya saja, 10 juta orang terkena penyakit ini dan menelan nyawa 1,5 juta orang.
Penyakit ini menggerogoti dunia, terutama negara-negara dengan penghasilan menengah dan rendah. Delapan negara di mana TB banyak ditemukan adalah Bangladesh, China, India, Indonesia, Nigeria, Pakistan, Filipina, dan Afrika Selatan.
Tak heran, eliminasi tuberkulosis menjadi sebuah target global yang ingin dicapai pada 2030.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengatakan untuk mencapai target tersebut, Indonesia menggalakkan sejumlah upaya yang dibagi dalam tiga kategori, yaitu pencegahan, deteksi, serta pengobatan.
Dalam upaya preventif, ada pemberian Imunisasi BCG bagi bayi usia 0-11 bulan, pemberian terapi pencegahan TBC (TPT) bagi orang yang tinggal bersama atau erat dengan pasien TBC, orang dengan HIV (ODHIV) dan populasi berisiko, serta pengembangan vaksin TBC.
Selain itu, pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) TBC bagi tenaga kesehatan, mempromosikan pola hidup bersih dan sehat, serta edukasi bagi masyarakat tentang gejala dan pencegahan TBC melalui berbagai platform dan media.
Edukasi tersebut juga upaya untuk mengeliminasi stigma TB yang masih beredar di masyarakat, sehingga, untuk edukasi, perlu adanya kolaborasi dengan mitra dan komunitas.
Deteksi juga tak kalah penting, karena, menurutnya, dengan deteksi akan lebih banyak penderita yang dapat segera ditangani, sehingga penyebaran penyakit tidak semakin parah.
Dia menyebutkan bahwa pada 2023, sekitar 820 ribu kasus TB terdeteksi, dari estimasi 1.060.000 penderita di Tanah Air. Pemerintah menargetkan pada 2024, lebih banyak penderita TB lagi yang dapat dideteksi.
Indonesia mengumpulkan, mengolah, menganalisis, dan menyebarkan data TBC secara akurat guna perencanaan, monitoring, dan evaluasi program. Terlebih, juga meningkatkan kapasitas fasilitas pelayanan TBC, baik dari segi sumber daya manusia, logistik, serta sistem informasi untuk mencatat dan melaporkan TB. Selain itu, skrining juga turut didorong di semua fasilitas kesehatan pemerintah dan luar pemerintah.
Deteksi juga dilakukan secara aktif dan masif di tempat-tempat berisiko tinggi penularan TBC, misalnya rumah tahanan, pondok pesantren, shelter penampungan, perusahaan padat karya, dan lainnya. Selain itu, investigasi kontak juga digencarkan untuk menjaring lebih banyak penderita.
Menurutnya, perlu adanya penguatan komitmen pemerintah pusat dan daerah, mulai dari provinsi, kabupaten dan kota hingga desa, melalui rapat secara berkala untuk memantau pencapaian penanganan TB di masing-masing daerah.
Tak luput, Indonesia juga menjalankan saran WHO untuk mengintegrasikan penemuan kasus secara aktif dan TPT, karena penemuan kasus TBC secara aktif dapat menyingkirkan diagnosis TBC pada populasi berisiko yang menjadi sasaran, sehingga membuka peluang untuk memberikan pencegahan kepada mereka yang terbukti bukan pasien TBC.
Menurut studi WHO di empat negara, yakni Brazil, Georgia, Kenya, dan Afrika Selatan, integrasi tersebut juga dapat mengurangi insiden sebesar 18-44 persen, sehingga dapat menyelamatkan banyak orang dari kematian, juga mengurangi beban sosio-ekonomi.
Return of investment yang diberikan pun cukup besar, dapat mencapai hingga 39 kali lipat daripada jumlah uang yang diinvestasikan untuk kegiatan skrining dan prevensi.
Salah satu contoh kegiatan integrasi itu, dilakukan pada 2023, di mana penemuan kasus secara aktif diimplementasikan di 376 lapas/rutan di 294 kota. Sebagian besar lapas dan rutan tersebut sudah memulai melakukan pemberian TPT bagi warganya yang memenuhi kriteria untuk diberikan TPT.
Pengobatan tak luput dari strategi pemerintah, contohnya dengan promosi Gerakan Temukan dan Obati Sampai Sembuh (TOSS TBC), mengajak sektor-sektor lain, seperti bisnis dan organisasi masyarakat, untuk berperan serta dalam pendampingan dan dukungan ekonomi bagi pasien.
Meski manusia bisa berencana, namun terkadang hasil tidak sejalan. Ada banyak sekali tantangan yang menjegal semua langkah, seperti cakupan TPT yang masih di bawah target 58 persen, yaitu 2,6 persen, kurangnya pemahaman tenaga kesehatan tentang TPT, serta minimnya dukungan, terutama dari sektor non-kesehatan.
Belum lagi permasalahan tuberkulosis sensitif obat (TBSO) dan tuberkulosis resisten obat (TBRO).
Saat ini, belum semua orang yang sudah terkonfirmasi positif TBSO/RO telah memulai pengobatan. Menurut data tahun 2023, secara nasional, 88 persen pasien TBSO dan 73 persen pasien memulai pengobatan, sehingga terdapat risiko pasien TB yang belum diobati menularkan ke orang di sekitar.
Berdasarkan resistansi atau kekebalan bakteri terhadap obat anti TBC, TBSO cenderung memiliki dampak yang lebih ringan dan masih bisa disembuhkan dengan meminum obat potensial TB, lain halnya dengan TBRO.
Kejadian TBRO pada seseorang dapat terjadi karena 2 kemungkinan. Pertama, jika seseorang tertular bakteri dari pasien TBRO, maka orang yang tertular tersebut dapat mengalami TBRO. Selain itu, jika seorang memiliki riwayat pengobatan TBC tetapi tidak tepat waktu, tepat dosis, dan tepat cara sehingga terjadi kegagalan pengobatan, maka berisiko tinggi juga dapat terjadi TBC RO di kemudian hari.
Selamat Hari Tuberkulosis Sedunia. Indonesia belum bisa bernafas lega apabila TB masih mengintai, akan tetapi optimisme, baik secara nasional maupun global, dapat menjadi bekal untuk menambah tuberkulosis dalam daftar penyakit yang punah.
Berita Terkait
Harga emas stabil empat hari beruntun di angka Rp1,539 juta per gram
Selasa, 5 November 2024 9:16 Wib
KPU Sigi: Target sortir lipat surat suara selesai empat hari
Senin, 4 November 2024 19:03 Wib
KRI WSH-991 sandar di Fiji 3 hari dalam rangkaian muhibah di Pasifik
Minggu, 3 November 2024 13:24 Wib
Unair adakan "Wayang Kiai" sambut dies natalis dan Hari Santri 2024
Minggu, 3 November 2024 9:13 Wib
Sedia payung, BMKG prakirakan potensi hujan di mayoritas kota hari ini
Sabtu, 2 November 2024 7:48 Wib
Pemkab Sigi imbau masyarakat jaga kamtibmas khususnya di malam hari
Jumat, 1 November 2024 13:09 Wib
BMKG prakirakan hujan guyur mayoritas kota besar Indonesia pada Jumat
Jumat, 1 November 2024 9:01 Wib
Pemkab-Sigi ajak masyarakat peduli kesehatan sejak usia dini
Kamis, 31 Oktober 2024 22:46 Wib