Pekalongan (ANTARA) - Matahari merangkak naik saat langkah kaki ini membawa saya menuju sebuah bangunan tua di sudut Kota Pekalongan, Jawa Tengah.
Dindingnya yang mulai kusam, atapnya dipenuhi lumut, dan sawang (sarang laba-laba) yang menggantung di langit-langit menjadi tanda bahwa tempat ini bukan bangunan biasa. Inilah sentra batik milik Mahfur, salah satu pengusaha batik yang telah mendedikasikan hidupnya. Menjaga denyut batik tetap hidup di tengah zaman yang terus berubah.
Bangunan dua lantai ini menyimpan tradisi. Lantai atasnya hanya dipapah oleh bambu tua yang sedikit melengkung, digunakan untuk menjemur kain-kain batik yang baru selesai dicap.
Sementara di lantai bawah, sejumlah pekerja tampak fokus pada tugas mereka masing-masing. Menyulap kain putih polos menjadi karya seni yang tak ternilai.
Di antara mereka, satu sosok mencuri perhatian, seorang lelaki berusia lanjut dengan tangan yang tak pernah diam. Ia berdiri, wajahnya tenang, dan matanya tajam menatap setiap pola di atas kain.
Dialah Pak Muslim, salah satu pembatik senior di tempat ini.
“Saya mulai membatik sejak umur 21 tahun, Mas. Sekarang saya sudah 69. Tapi tangan ini belum berhenti, selama masih kuat, saya akan tetap membatik,” ujarnya.
Sambil tersenyum kecil, menahan napas panjang yang tampak mengandung beban masa lalu. Tangannya bergerak lincah, mengecap canting cap ke atas kain.
Di sebelahnya, sebuah gelas tua berisi kopi dan dua buah pisang rebus menjadi teman setia.
“Itu saja sarapan saya, sudah cukup buat mengisi tenaga. Bukan soal makanannya, Mas, tapi semangatnya. Kalau sudah cinta sama batik, perut kadang enggak protes,” katanya sambil terkekeh.
Namun, tawa itu tak sepenuhnya menutupi kenyataan pahit yang ia jalani. Saat ditanya apakah pernah punya mimpi untuk membuka usaha batik sendiri, senyumnya perlahan hilang.
“Ah, pengin banget, Mas... Tapi modalnya enggak ada. Selama ini cuma jadi pekerja. Pindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Saya kerja serabutan, asal bisa tetap pegang canting,” tuturnya,
matanya tampak berkaca-kaca. “Kadang suka iri sama yang bisa buka usaha. Tapi ya..ini jalan saya," ucapnya.
Ayah dari enam anak perempuan itu menerima upah sangat sederhana. Untuk satu kain batik, ia dibayar antara Rp1.000 hingga Rp2.500, tergantung tingkat kesulitan motifnya. Jumlah yang nyaris tak masuk akal untuk sebuah karya seni bernilai tinggi.
“Hasilnya cukup buat makan. Tapi ya... saya tetap bersyukur. Yang penting bisa hidup jujur,” ucapnya dengan pasrah, tapi penuh ketegaran.
Di sisi lain ruangan, Mahfur sang pemilik sentra batik, menyambut kami dengan ramah.
Pria ini adalah generasi kedua dari keluarga pembatik. Ia mewarisi usaha ini dari orang tuanya sejak awal tahun 2000-an.
“Awalnya saya belajar dari orang tua. Dulu tempat ini rame banget. Produksi bisa sampai puluhan kain per hari. Sekarang agak sepi, apalagi setelah pandemi. Tapi kita tetap jalan,” katanya sambil melihat ke arah tumpukan kain.
Mahfur juga menjelaskan bahwa batik yang diproduksi di tempatnya memiliki banyak variasi, tergantung permintaan. Ada yang memakai katun super, ada pula kain tipis yang lebih murah.
“Biasanya pesanan datang dari teman-teman di Pekalongan. Mereka beli dari sini terus dijual lagi. Ada juga dari sekolah di luar kota, seperti dari Tangerang. Setiap tahun pasti pesan buat seragam batik,” jelasnya.
Terkait motif, Mahfur memberi kebebasan kepada pembeli untuk memilih atau bahkan mendesain sendiri.
Di antara bau malam, bunyi canting cap, dan hangat kopi hitam, cerita Pak Muslim dan Mahfur menyatu dalam satu benang merah yaitu Kesetiaan pada tradisi. Mereka adalah bagian dari denyut kecil yang menjaga batik tetap hidup, meski terkadang harus melawan arus zaman dan kenyataan pahit.
Pak Muslim bukan sekadar pekerja batik. Ia adalah penjaga nyala, lilin kecil yang terus menyala meski diterpa angin dari segala arah.
Satu canting di tangannya mungkin tak mampu mengubah dunia, tapi cukup untuk mengingatkan kita bahwa di setiap motif batik, ada cinta, ada luka, dan ada harapan.