Jakarta (ANTARA) - Dalam beberapa tahun terakhir, dunia menyaksikan perubahan drastis dalam pola perdagangan internasional.
Fenomena unilateralisme dan proteksionisme kembali mencuat, mengubah lanskap global yang sebelumnya mengutamakan keterbukaan pasar.
Dalam situasi ini, Indonesia perlu mengambil langkah optimistis dan solutif untuk mengintegrasikan kebijakan industrinya dengan dinamika perdagangan internasional, guna membangun ekonomi nasional yang mandiri dan berdaya saing global.
Unilateralisme adalah tindakan sepihak suatu negara dalam kebijakan perdagangan yang sering kali mengganggu stabilitas hubungan antarnegara.
Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump, misalnya, memberlakukan tarif tinggi terhadap baja dan aluminium tanpa berkoordinasi melalui mekanisme Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Ini memicu retaliasi dari negara lain dan menciptakan ketidakpastian global.
Di sisi lain, proteksionisme, yakni upaya melindungi industri domestik melalui hambatan perdagangan, juga meningkat. Kebijakan ini, jika tidak dikelola dengan hati-hati, dapat berujung pada penurunan daya saing industri nasional.
Indonesia sebagai negara berkembang dengan struktur industri yang masih bertumbuh, tidak bisa menutup mata terhadap realitas ini. Proteksi terhadap sektor-sektor strategis seperti baja, farmasi, dan komponen elektronik memang diperlukan, namun harus diimbangi dengan deregulasi yang mendorong efisiensi dan inovasi.
Beberapa kebijakan yang perlu dideregulasi antara lain adalah penyederhanaan prosedur impor bahan baku industri, revisi aturan yang menghambat investasi teknologi, serta reformasi insentif fiskal untuk sektor riset dan pengembangan.
Dalam konteks hukum nasional, terdapat beberapa regulasi yang perlu ditinjau ulang dan diperbarui agar lebih adaptif terhadap perubahan global, antara lain Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, khususnya dalam hal fasilitasi pengembangan industri berbasis inovasi dan teknologi tinggi.
Regulasi lain adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, yang perlu diperbarui untuk memperkuat ketahanan perdagangan nasional di tengah praktik unilateralisme dan proteksionisme global.
Kemudian, Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional (KIN) yang harus disesuaikan dengan dinamika digitalisasi dan ekonomi hijau, serta Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 yang perlu optimalisasi implementasi khususnya dalam penyederhanaan perizinan industri dan perdagangan.
Kasus proteksi beras Indonesia pada era 2000-an menjadi pelajaran penting. Ketika itu, pembatasan impor bertujuan melindungi petani lokal. Tetapi, kurangnya kebijakan pendukung seperti peningkatan produktivitas dan efisiensi pertanian menyebabkan harga beras domestik melonjak dan membebani konsumen. Peristiwa tersebut membuktikan bahwa proteksi tanpa penguatan kapasitas dalam negeri hanya akan menciptakan distorsi pasar.
Dalam jangka panjang, unilateralisme dan proteksionisme yang berlebihan dapat berdampak negatif terhadap industri nasional. Ketidakpastian perdagangan internasional menghambat investasi, membatasi akses pasar ekspor, dan melemahkan inovasi domestik. Jika industri dalam negeri terlena dalam proteksi tanpa meningkatkan daya saing, maka industri nasional berisiko stagnan dan kalah dalam kompetisi global.
Untuk itu, integrasi kebijakan industri nasional dengan dinamika perdagangan internasional harus dilakukan secara komprehensif. Pertama, Indonesia perlu menerapkan perlindungan selektif dan bertahap. Kebijakan tarif atau kuota harus bersifat temporer, dengan target waktu yang jelas dan dievaluasi berkala. Perlindungan ini harus difokuskan pada sektor industri yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi dan keterkaitan luas dengan sektor lain.
Kedua, pemerintah harus memperkuat industri hulu dan rantai pasok dalam negeri. Ketergantungan pada bahan baku impor harus dikurangi melalui insentif investasi di sektor ekstraktif dan manufaktur dasar. Selain itu, perlu ada deregulasi untuk mempercepat pengembangan ekosistem industri berbasis digital dan teknologi tinggi.
Ketiga, integrasi kebijakan perdagangan dan industri harus diperkuat. Diplomasi ekonomi harus diarahkan untuk membuka akses pasar baru, memperjuangkan kepentingan nasional dalam perjanjian perdagangan, serta memastikan transfer teknologi dari mitra dagang. Indonesia harus aktif dalam forum internasional seperti WTO dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), sambil membangun aliansi regional yang menguntungkan.
Keempat, pengembangan sumber daya manusia dan teknologi menjadi kunci keberhasilan. Pendidikan vokasional, pelatihan industri, dan inkubasi startup teknologi perlu diperluas dan disinkronkan dengan kebutuhan industri masa depan. Program Making Indonesia 4.0 harus dipercepat implementasinya dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.
Kelima, diversifikasi ekspor harus menjadi prioritas. Produk ekspor Indonesia perlu bergeser dari komoditas primer menuju produk manufaktur bernilai tambah tinggi seperti elektronik, farmasi, dan industri kreatif. Untuk mendukung ini, deregulasi ekspor produk baru dan insentif bagi perusahaan berorientasi ekspor perlu diprioritaskan.
Dalam mengintegrasikan kebijakan industri nasional dengan dinamika perdagangan internasional, Indonesia harus memilih strategi yang cerdas yaitu melindungi sektor kritikal secara selektif, namun tetap terhubung erat dengan ekosistem perdagangan global. Dengan visi yang optimistis, kebijakan yang solutif, dan keberanian untuk beradaptasi, Indonesia tidak hanya akan bertahan, tetapi juga mampu memimpin dalam era ekonomi baru.
Inilah saatnya Indonesia menjadikan perubahan global bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk melompat lebih tinggi. Dengan sinergi antara perlindungan industri yang bijaksana, deregulasi yang pro-inovasi, serta diplomasi perdagangan yang agresif, masa depan industri nasional akan semakin cerah dan berdaya saing global.
*) Rioberto Sidauruk adalah Pemerhati Hukum Ekonomi Politik dan Peneliti Industri Strategis, Tenaga Ahli di Komisi VII DPR RI yang membidangi Industri, UMKM, Ekonomi Kreatif, dan Penyiaran Publik.