Palu (ANTARA) - Ketika itu, Jumat 30 Mei 2025. Sebentar lagi berkumandang azan Jum'at di Masjidil Haram. Saya duduk bersama dengan jutaan jamaah jum'at. Ada perasaan gelisah. Gelisah karena saya mulai masuk mesjid mulai pukul tujuh pagi. Lima jam lagi khatib naik mimbar, sementara diri saya tidak jamin suci dari Hadas.
Untungnya saya dekat keran zamzam. Letaknya di sebuah pojokan mesjid haram lantai atas jika menyusuri jembatan panjang dari pelataran.
Air zamzam itulah yg menolong. Saya meng-upgrade wudhu saya dengan keran otomatis, tempat zamzam dingin menyembur yang dipompa dari sumur tua.
***
Di Tanah Suci, tak ada yang lebih melekat dalam benak jamaah selain Ka'bah dan air zamzam. Ia bukan sekadar pelepas dahaga atau oleh-oleh dari ibadah haji dan umrah. Lebih dari itu, zamzam adalah kenangan tentang seorang ibu. Tentang air mata, peluh, dan langkah-langkah yang putus asa, tapi tak menyerah.
Zamzam bukan sekadar air, ia adalah kisah cinta seorang ibu yang diabadikan Allah.
Saat puluhan ribu jamaah mengantre galon demi galon, atau sekadar mengisi botol kecil sebelum keluar dari Masjidil Haram, sesungguhnya mereka sedang meminum air sejarah. Bukan sejarah kaum bangsawan atau tokoh besar, melainkan sejarah seorang ibu bernama Hajar yang tak punya siapa-siapa selain anak kecilnya dan keyakinan kepada Allah yang Maha Melihat.
Zamzam muncul bukan dari ilmu dan teknologi, tapi dari keputusasaan yang dijawab dengan keimanan.
Kita tahu ceritanya: Hajar ditinggal Ibrahim di tengah padang tandus yang nyaris mati. Ia berlari antara Shafa dan Marwah, tujuh kali bolak-balik, demi mencari air untuk bayinya, Ismail. Ia tak tahu apakah air akan ditemukan. Tapi yang ia tahu, ia harus berbuat sesuatu. Harus bergerak.
Justru ketika ia berhenti—ketika semua usahanya habis, tiba-tiba air itu muncul. Tepat di bawah kaki bayi mungilnya. Seolah Allah berkata: “Ketika usahamu sudah mentok, di situlah Aku turun tangan,”
Air zamzam menjadi pengingat abadi bahwa dalam hidup ini, kadang mukjizat tak datang saat kita berlari, tapi saat kita pasrah setelah berlari. Bukan karena kita menyerah, tapi karena kita percaya.
Uniknya, air zamzam bukan hanya hadir sebagai penghapus dahaga tapi juga simbol arah. Ke mana pun seorang Muslim menghadap saat sholat, ia mengarah ke Ka'bah—dan tepat di samping Ka'bah itulah zamzam berada. Seolah-olah Tuhan ingin mengingatkan, bahwa spiritualitas kita tidak pernah bisa lepas dari perjuangan seorang ibu. Bahwa di balik arah sujud kita, ada sejarah air mata dan langkah kaki seorang perempuan tangguh.
Lihatlah bagaimana air ini tetap mengalir. Padahal tak pernah henti ditimba, dikuras, disedot dibawa dalam galon-galon ke seluruh pelosok dunia. Tak pernah habis. Seolah Tuhan ingin menegaskan bahwa keberkahan itu tak mengenal logika hitung manusia. Ia mengalir bukan karena volume, tapi karena kehendak.
***
Yang jarang kita sadari, air zamzam bukan hanya tentang kesuciannya atau khasiatnya, tapi juga tentang bagaimana ia mempertemukan dunia. Dari botol-botol yang dibawa pulang, air ini mengalirkan cerita ke banyak penjuru. Ia menjadi penghubung tak kasat mata antara tanah suci dan kampung halaman. Antara yang menunaikan haji dan yang belum sempat pergi. Bahkan bagi yang hanya bisa mencium aroma zamzam dari gelas kecil di rumah, mereka tetap merasa dekat dengan Ka'bah.
Air zamzam mengajarkan kita bahwa yang bernilai bukan hanya yang mewah atau mahal. Tapi yang punya kisah. Yang punya sejarah. Yang menyentuh hati. Tak ada aroma wangi khusus, tak ada kemasan mewah. Tapi semua orang tahu: inilah air dari langit, lewat kaki bayi yang haus dan langkah seorang ibu yang tak berhenti.
Dari semua yang kita bawa pulang dari Mekkah—tasbih, kurma, sajadah—air zamzam adalah yang paling cepat dibagi. Orang yg pulang haji biasanya akan bilang: “Ini ada zamzam, meski cuma sedikit.” Padahal ia bisa menyimpannya untuk diri sendiri. Tapi tidak. Zamzam selalu dibagi. Karena hakikatnya, zamzam bukan milik pribadi. Ia adalah titipan dari sejarah untuk kita semua.
Air zamzam menyatukan yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda. Di depan krannya, semua orang sama. Tidak ada barisan khusus. Tidak ada petugas yang pilih-pilih. Air ini, dari awal sejarahnya, memang dimaksudkan untuk semua.
Zamzam bukan sekadar mukjizat yang diturunkan dari langit. Ia adalah pelajaran hidup. Tentang keikhlasan. Tentang keyakinan. Tentang seorang ibu yang tak punya apa-apa, tapi punya satu hal yang mengalahkan segalanya: harapan yang tak padam.
Maka, saat kita meneguknya, jangan hanya berdoa agar diberi kesehatan atau rezeki. Berdoalah pula agar diberi hati seperti Hajar. Yang tak diam dalam keputusasaan. Yang tak bertanya kapan pertolongan datang, tapi terus melangkah—hingga Allah berkenan mengalirkan zamzam di bawah kaki mungil seorang bayi yang kelak menjadi simbol kesabaran dan kepasrahan.
*Salihudin M. Awal merupakan Jamaah Haji Kota Palu, Sulawesi Tengah.