Pekalongan (ANTARA) - Senin pagi, 12 Mei 2025. Matahari belum tinggi, namun semangat sudah membuncah di dada. Hari itu, saya memulai perjalanan lintas pulau dari Kota Palu, Sulawesi Tengah, menuju tanah yang dikenal sebagai surga batik, Pekalongan, Jawa Tengah.
Tak sekadar melancong, ini adalah ziarah budaya. Sebuah upaya untuk melihat langsung denyut tradisi di balik selembar kain batik yang sering kita pakai tanpa tahu siapa pembuatnya, dan bagaimana ia dilahirkan.
Rencana awalnya, pesawat dari Bandara Mutiara SIS Al-Jufri Palu akan mengantar saya langsung ke Bandara Soekarno-Hatta. Tapi rencana, seperti hidup, kadang punya jalan lain.
Pesawat dibatalkan, dan saya harus memutar via Surabaya. Super Air Jet nomor penerbangan IU 567 pun menjadi kendaraan sementara, membawa saya menembus awan biru di atas Teluk Palu yang seolah melambaikan selamat jalan.
Sesampainya di Bandara Juanda, Surabaya, saya hanya sempat menghela napas sejenak sebelum kembali terbang menuju Jakarta.
Bandara Soekarno-Hatta menyambut saya pada pukul 14.00 WITA. Jakarta seperti biasa, ramai, riuh, dan sibuk seakan tidak pernah tidur. Gedung pencakar langit menjulang bagai raksasa dari beton dan kaca, mengawasi manusia-manusia kecil yang berlari demi sesuap nasi dan seteguk mimpi.
Di hotel, saya bertemu dengan rekan-rekan peserta lain dari seluruh penjuru Indonesia—dari Papua, NTT, hingga Sumatera.
Pagi harinya, kami meluncur dari Stasiun Gambir menuju Pekalongan menggunakan kereta api. Di Stasiun Pekalongan, teman-teman dari berbagai media telah menanti.
Kami semua adalah bagian dari perjalanan budaya yang diinisiasi oleh GWPP dan TBIG. Dua pihak yang tak hanya menjadi sponsor, tapi juga jembatan antara masa lalu dan masa depan batik Indonesia.
Tour dimulai. Rumah Batik TBIG menjadi titik awal petualangan kami. Hawa panas, bercampur dengan lilin panas dan warna-warna alami, menyambut kami dengan hangat.
Sentra-sentra produksi batik di kota dan kabupaten Pekalongan kami kunjungi satu per satu, seperti menelusuri museum hidup yang tak berhenti berkarya.
Di sana, batik bukan sekadar produk. Ia adalah bahasa dan sejarah yang dilukis dengan tangan-tangan penuh cinta.
Hampir setiap sudut kota ini bicara tentang batik.
Tiga hari di kota ini terasa seperti sekejap. Namun jejaknya tertinggal dalam hati. Kami pulang membawa cerita, ilmu, dan kenangan.
Tapi lebih dari itu, kami pulang membawa kesadaran: bahwa batik bukan sekadar warisan, ia adalah identitas.
Dan tentu saja, perjalanan ini tak akan lengkap tanpa menyebut sosok-sosok luar biasa yang mewarnai momen ini. Meskipun dengan waktu tiga hari rasanya singkat untuk menilai orang.
Ada Mbak Vita yang selalu ceria dan lincah, Mas Bakti pria Jawa yang tutur katanya halus (Selain jadi peserta, dia juga merangkap jadi penunjuk jalan Pekalongan), Alinda yang kalem dan misterius, Novia yang selalu bergaya kasual tapi penuh perhatian, dan Eva Rianti yang bisa mengubah bus menjadi panggung karaoke saat berjalan meskipun bukan dia sih yang menginsiatif untuk karaoke.
(Oh ia ada waktu busnya sampai keliling Kota Pekalongan, untuk sekadar hiburan karaoke peserta)
Ada juga Mbak Marni dan Mbak Milna yang aura "emaknya" bikin kami merasa seperti di rumah.
Sevrin dari NTT yang tak pernah kehabisan rasa ingin tahu, Lauren yang kocak dengan kisah tentang daerahnta di Kaimana Papua, Muti yang ternyata punya suara seindah batik pekalongan dan Aya perempuan asal Batam yang sedikit pendiam dan harus difoto dari sisi kiri.
Ada Naren yang pamer akun instagramnya karena sudah centang biru (pantas, selalu dokumentasi terus aktivitasnya). Aisyah yang terbilang sedikit pendiam dan Eleanora, mahasiswi Atma Jaya Yogyakarta dengan gaya identiknya.
Tak lupa, Mbak Amel sang pendamping yang kalau bicara bisa membuat suasana langsung adem, seperti angin sore di bawah pohon waru. Oh ia, dia bawa teman namanya Mikyal, sih super sibuk di kegiatan ini.
Para mentor juga tak kalah berkesan, Pak Nurcholis, Pak Jamal dan Pak Frans yang selalu menuntun dengan ketenangan, yang sabar membimbing kami dalam setiap sesi.
Serta Pak Fahmi dari TBIG, gitaris handal yang diam-diam kayaknya bisa mengalahkan Dewa Budjana (coba saja cari akun YouTube-nya!).
Perjalanan ini bukan sekadar trip. Ia adalah pengingat bahwa di balik setiap lembar batik, ada peluh dan harapan yang ditenun dengan sabar.
Dan kami, para peserta dari penjuru negeri, menjadi saksi bisu bahwa warisan itu masih hidup dan harus terus dijaga.
Terima kasih, Pekalongan. Terima kasih GWPP dan TBIG. Terima kasih untuk semua rekan perjalanan. Sampai jumpa di cerita berikutnya di kota lain, motif lain, tapi semangat yang sama.
Dari langit Palu ke tanah batik, tiga hari menyelami Pekalongan

Peserta pelatihan Jurnalistik GWPP bersama TBIG di Pekalongan, Jawa Tengah. Foto : ANTARA/HO (Isti)